Friday, December 21, 2007

Merry Christmas and Happy New Year!


Selamat Natal dan Bahagia Tahun Baru!
Tabê Natal ma Mlilê Ton Feü!
Bosfesta Natál no Tinan Foun Kmanek!
Salamat Natal dan Bahagia Taon Baru!
Sugeng Natal lan Sugeng Warsa Enggal!
Merry Christmas and Happy New Year!
Joyeux Noël et bonne année!
¡Feliz Navidad y próspero año nuevo!
Feliz Natal e Feliz Ano Novo!
Buon Natale e felice anno nuovo!
Fröhliche Weihnachten und ein gutes neues Jahr!
Natale hilare et annum faustum!
Bonan Kristnaskon kaj feliĉan novan jaron!
.
Yogyakarta, 22-12-2007

Sunday, December 16, 2007

Picture in Memory

Image: www.freenaturepictures.com


By: Yohanes Manhitu

In this garden I walk among roses
With a picture of face in my memory
And I wish to ask the world
Why your shadow lives in me.

Not all of a sudden I declare the truth to you;
I clearly say it without delay.
Yes, I used to love you with all my heart.
Now I do ask you: please leave me!

Leave me in peace, o shadow!
Look, in the garden my sense of smell
Is taking me to the rose of all hopes.
Before her, my spirit dances.

Yogyakarta, December 2007

Friday, December 14, 2007

Dans l'ombre elle se promene

Par: Yohanes Manhitu

J’aime vraiment une déesse
Et je l’aime de tout mon cœur
Mais dans l’ombre elle se promene.
Mes yeux ne peuvent point
Attraper la flamme d’amour.

C’est triste attendre toute la nuit
Sans lune, sans étoiles.
Car elle est toujours dans l’ombre,
Je veux lui montrer le chemin
À la ville de lumière.

Yogyakarta, décembre 2007

Di sini Kita Bermain

Oleh: Yohanes Manhitu

Ya, di sini kita bermain bersama
menurut aturan yang lumrah.
Namun sering kali, bagai bajak laut,
kejayaan kita rampas dengan pedang.

Tak mudah bermain tanpa rintangan dan gangguan
di medan luas yang tak bersahabat ini.
Tapi tiada medan yang terlalu buruk
untuk ditumbuhi bunga-bunga.


Yogyakarta, Desember 2007

Wednesday, December 12, 2007

Texto de Álvaro Cunqueiro: Dawan, Tetum, and Kupang-Malay Versions


Texto de Álvaro Cunqueiro

Eu quixen e quero que a fala galega durase e continuase, porque a duración da fala é a única posibilidade de que nós duremos como pobo. Eu quixen que Galicia continuase e, ao lado da patria terrenal, da patria que son a terra e os mortos, haxa estoutra patria que é a fala nosa. Se de min algún día, despois de morto, se quixese facer un eloxio, e eu estivese dando herba na terra nosa, podería dicir a miña lápida: "aquí xace alguén que coa súa obra fixo que Galicia durase mil primaveras máis".
===============================================

Traduccións ó dawan (uab meto/baikenu)

Au nâko unû ‘loim ma fê ‘loim he uab Galisia nabala ma nmoin piuta, fun hit uab in monit abalbalat es lalan mesleko neu kit he tmoin tabala on to(b). Nâko unû au ‘loim piuta he Pah Galisia nmoin nabala ma, nabua nok hit pah-mahonit, pah-mahonit abít pah-pinan ma amaetsin sini, musti nmuî pah-mahonit bian, eslê hit molok. Kalu nbi neno mesê, oras au ‘maet ulail, atoin-amfaut he npules kau, oras au umliab hun a-nbi hit pah, au niutnatê nabè' matuï nak: “Nbi bale i nabelkon tuafes lê natuin in mepu, nmoê Pah Galisia nmoin nabala talantea tabu haunasuin haef niufnes a-ntèn”.

*****

Traduccións ó tetun

Ha’u hakarak beibeik no sei hakarak atu lia-galegu tahan no kontinua moris, tanba ita-nia lian nia moris rohan-laek maka dalan ida de’it ba ita hodi tahan nu’udar povu. Ha’u sempre hakarak atu rai-Galiza kontinua moris no, hamutuk ho ita-nia pátria, pátria ba raiklaran no ba mate-na’in sira, tenke iha pátria seluk, ne’e maka ita-nia lian. Se loron ida, depois ha’u-nia mate, povu hakarak hahi’i ha’u, bainhira ha’u sei haburas hela du’ut iha ita-nia rai, bele hakerek iha ha’u-nia fatuk-rate katak: “Iha-ne’e toba ema ida ne’ebé tanba ninia knaar, halo rai-Galiza tahan to’o primavera rihun ida tan”.

*****

Traduccións ó malaiu-kupang (bahasa kupang)

Beta dari dolu su mau dan tetap mau ko bahasa Galisia tahan dan idop tarús, karna katóng-pung bahasa pung idop tarús, itu sá yang bisa buat katóng tetap tahan jadi bangsa. Beta selalu mau ko Tana Galisia idop tarús dan, sama-sama deng katóng-pung tana-aer, tana-aer di bumi dan dong yang Tuhan su pangge pung, musti ada tana-aer laen, itu yang katóng-pung bahasa. Kalu satu hari nanti, beta su mati, dan orang dong mau angka be-pung nama, waktu beta ada bekin subur katóng-pung tana, be-pung batu kuburan bisa ditulis bagini: “Di sini tidor satu orang yang karna dia-pung kerja, bekin Tana Galisia tahan idop sampe musim semi saribu taon lebe”.

*****  
Translations into Dawan, Tetum, and Kupang-Malay are made by Yohanes Manhitu

Friday, November 30, 2007

Mawar Sebuah Epilog

Foto: https://www.pinterest.com

Sebuah Cerpen oleh Yohanes Manhitu*


“Non in commotione, non in commotione Dominus1.”
(William Baskerville, The Name of the Rose, karya Umberto Eco)


TEMPAT itu belum terlalu banyak berubah setelah sekian bulan berselang. Yang tampak berbeda hanya bagian depannya: kafe dengan atap, dinding, meja-kursi bercat baru dan ditata lebih rapi; wajah beberapa pengunjung yang baru; dan jumlah karyawati yang lebih banyak dan ramah. Syukurlah, dua orang karyawati lama tidak tereliminasi dalam kompetisi politik per-kafe-an. Tarif makanan dan minuman pun berubah – meningkat, tapi belum mencekik leher. Secara keseluruhan, masih banyak hal yang sama. Waktu selalu menyodorkan perubahan-perubahan. Di tempat itu pun ia tunjukkan kuasanya walau belum secara total. Ia pula yang mengatur siklus sekuntum mawar, yang merekah dibalut embun pagi, mekar dan semerbak mengundang serangga sehari, perlahan pudar di bawah terik mentari, dan akhirnya gugur diterbangkan angin yang berembus. Itulah pengamatan Joshua terhadap suatu perubahan di tempat yang sudut-sudutnya cukup ia kenal. Maklum, ia pernah berguru bahasa “planet” asing di sana.
.
Hari itu, di medio April, bangsanya mengenang kuntum “Mawar Emansipasi” yang telah gugur namun tak kunjung layu. Dan pada sore harinya, sesuai dengan janji, ia bakal kembali menjumpai kekasihnya, Rafika, seorang gadis Sunda blasteran (Arab-Sunda pesisir), setelah sekian bulan berpisah. Untuk tidak membuat jantung hatinya bingung mencari bila tiba nanti, ia memutuskan untuk duduk di tangga masuk, di depan ruang bertelevisi. Di sanalah ia mengawali sebuah penantian penuh harap.
.
“Ah, paling nanti datangnya juga telat sejam. Tadi ‘kan ngomongnya jam empat-an. Wajar kalau belum nongol juga. ‘Kan kebanyakan orang di negeri ini seperti itu. Pantas ibu pertiwi nggak maju-maju. Malah cenderung mundur.” Demikianlah autokritik spontan pemuda itu terhadap kebiasaan buruk terlambat yang ada di mana-mana.
.
Sambil menunggu, ia mengeluarkan novel The Name of the Rose (versi Indonesia) karya Umberto Eco – yang tersohor itu – dari tas kulitnya dan mulai membaca sebuah bab lanjutan untuk sekadar mengisi waktu. Sayang kalau waktu terbuang sia-sia. Sebentar-sebentar ia berhenti membaca dan melirik cewek-cewek cantik dengan wajah bertaburkan senyum yang lalu-lalang di samping kirinya. Ada yang berambut terurai ala rambut bintang iklan Sun Silk, ada juga yang berjilbab, yang tak kalah manisnya dengan gadis-gadis Iran dan Irak yang kebetulan ia pernah jumpai di kantor imigrasi.
.
“Ya, inilah salah satu kelebihan institusi ini. Selalu saja ada banyak kuntum mawar mekar yang mengundang lirikan dan membuat lembaran-lembaran buku yang tadinya menarik kehilangan pesona,” batinnya menyadari betapa selera bacanya terancam pudar disapu manis senyum sekelompok cewek yang berlalu tepat di depannya.
.
“Dasar godaan, selalu ada di mana-mana. Kok semakin sulit ya menepis godaan di zaman edan ini. Dasar kuntum-kuntum mawar! Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus2,” umpatnya dalam hati dengan mengutip salah satu kalimat Latin terkenal dari novel yang dibacanya, lalu terus berbicara dalam hati, “Mendingan aku bermetamorfosis jadi kumbang saja. ‘Kan lebih asyik. Bisa hinggap di mana-mana suka, di kelopak kembang fajar manapun kupilih.” “Edan kau! Mana bisa! Ini ‘kan bertentangan dengan teori Darwin yang tidak pernah menyebutkan bahwa manusia, termasuk Homo floresiensis3, bisa bermetamorfosis menjadi binatang bersayap,” sanggah suara hatinya.
.
“Memang asyik sekali kalau lagi berada di sini. Selalu ada yang baru untuk dilihat, dikagumi; lalu, kalau bisa, dimiliki,” pikirnya sambil melemparkan pandangan, menyapu seluruh sudut tempat itu, hingga ke pucuk-pucuk cemara menjulang yang seakan pasrah menyambut bibir tabir senja yang menghampiri.
.
Di tempat itu selalu saja ada peluang untuk bertemu wajah-wajah baru. Tak peduli apakah dia itu Jawa perantauan, Batak Toba, Sunda asli, Papua blasteran, Dayak pribumi, atau Manado tulen; apakah dia itu Islam, Kristiani, Hindu, Budha, agnostik, atau bahkan atheis paling taat sekalipun. Juga tak peduli apakah dia itu dosen, peserta didik, pengunjung kafe, wisman, atau hanya “orang luar” yang sekadar ingin berbaur di sana.
.
Menurut Joshua, muka-muka lama masih sering tampak di sana, muka-muka yang mungkin sudah telanjur jatuh hati pada batang pohon besar dengan akar-akar yang bergelantungan manja. Tiada alasan yang pasti. Siapa tahu mereka malah sudah menjadi aficionado4 bahasa asing itu, atau penggemar berat salah satu menu di kafe penuh warna itu. Atau barangkali mereka kutu buku giat di perpusatakaan. Belum alasan pasti.
.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 16.30. Sambil melemparkan pandangan ke salah satu sudut kafe itu, Joshua tiba-tiba teringat pada masa-masa awal ia belajar di sudut kota itu. Ketika itu, jam-jam lepas belajar selalu kaya canda dan lelucon. Dahulu ada Lukas, Sri, Ratih, Linda dan juga Imut, yang imut. Banyak cerita lucu terlontar begitu saja dan ditanggapi dengan senyum sampai tawa terpingkal-pingkal. Yang tidak kalah lucunya adalah percakapan bahasa asing dengan bunyi lokal. Kosakata bahasa asing dengan lafal Indonesia membuat orang lain merasa geli menahan tawa. Maklum lidah masih terlalu kaku untuk menirukan bunyi-bunyi bahasa asing, yang memang sulit. Hasilnya berkeranjang kesalahah menumpuk.
.
Kemudian, Joshua melihat ke sudut dekat jalan masuk. Masih segar dalam ingatannya bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Rafika di sana suatu siang.
.
“Ah, Rafika. Siapa yang pernah menyangka kita bakal berjumpa di sudut sana? Siapa pula yang mengira sejak saat, itu benih-benih kekaguman di antara kita mulai tumbuh? Aku sebenarnya tidak begitu antusias, karena kutahu engkau dikawal bodyguard5mu yang kemudian belajar Sastra Jawa di Leiden itu. Aku masih ingat ketika temanmu, Ririn, memperkenalkan kita,” kenangnya.
.
“Joshua,” kataku sambil menjabat tanganmu dengan seutas senyum polos.
“Rafika,” balasmu dengan senyum manismu yang menggoda.
“Senang bertemu!” ucapku. “Belajar di sini juga?”
“Senang sekali bisa bertemu dengan Anda,” katamu. “Ya, tapi di level bawah”.
.
Joshua masih tenggelam dalam lamunannya. Ia ingat, sejak saat itu mereka sering bertemu, bercengkrama dalam tawa dan canda ria seakan hari-hari hanya berhiaskan prosa dan syair indah. Dan dari pertemuan beruntun itu, keakraban pun mulai terjalin, perlahan namun pasti. Tetapi masih dalam batas-batas kewajaran. Tak disangka-sangka kemudian mereka menjadi dua kekasih dalam bingkai ketakpastian. Apalagi setelah ia harus pulang ke Saparua – suatu pelosok bumi yang sungguh asing di telinga Rafika – untuk merayakan Natal bersama keluarga besarnya. Firasat-firasat mencemaskan yang dibawa deru dan angin samudera membuatnya segera meninggalkan pulau bersejarah itu dan kembali menjumpai si darah blasteran di kota ini. Apapun yang terjadi, biarlah sederet firasat itu teruji kini. Ia telah siap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun.
.
Jam lima kurang lima belas menit. Dari arah kiri muncul seorang cewek berwajah oval, elok, berambut hitam berkilau sebahu, melangkah cepat seperti sedang mengejar kereta pagi yang nyaris tinggalkan stasiun. Keterlambatan membuat wajahnya tampak agak tegang. Ia berhenti sebentar untuk menyapa beberapa orang kenalan yang sedang berdiskusi kusir di bawah pohon raksasa sambil meneguk kopi panas.
.
Setelah itu, ia melemparkan pandangan ke kanan. Dan tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menemukan Joshua yang duduk dengan karya Umberto Eco masih di tangannya, masih terbuka. Tapi kemudian segera ditutup.
.
“Selamat sore!” ucapnya tiba-tiba dengan maksud mengejutkan Joshua.
Cewek itu lalu menyodorkan tangan kuning langsat dengan senyum khasnya, senyum yang telah lama dirindukan pemuda seasal Elyas Pical dan Patimura itu.
.
“Aha…selamat sore juga, Fika! Bagaimana kabarmu?” sambut Joshua seakan tak sabar menantikan kalimat demi kalimat jawaban dari sang kekasih.
Andaikan mereka tak sedang berada tepat di tangga depan ketika itu, pasti basa-basi yang membosankan itu absen dari agenda temu-kangen para kekasih yang cukup lama berpisah.
.
“Alhamdulillah, baik! Kamu juga, ‘kan?” “Kamu perginya lama banget. Aku rindu banget sama kamu. Aku juga khawatir buangeeet dengan keadaanmu. Kenapa kamu pergi begitu lama? Kamu sudah lupa aku ya?” kata Rafika setengah berbisik.
.
“Ya, aku tahu Fika. Aku juga sangat rindu dan mengkhawatirkanmu. Tapi aku memang harus pergi. ‘Kan aku sudah bilang ke kamu sebelumnya, dan kamu setuju ‘kan?” balas Joshua berharap agar apa yang barusan ia dengar bukan sandiwara belaka. Ia berusaha untuk tidak melahirkan prasangka apapun.
.
Tiba-tiba Rafika berkata:
“Kukira nggak asyik kalau ngobrol di sini. Coba lihat tu, banyak orang lalu-lalang. Di sini dinding pun bisa berkuping loh. Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih aman saja biar ada privasi. Tapi di mana ya?” kata Rafika agak bingung.
.
“Aku ada ide,” kata Joshua. “Kita ke lantai atas saja. Di sana ada bangku kayu lebar. Dan kujamin sepi, karena anak-anak yang kursus sudah hampir pulang semuanya,” usul Joshua seakan ide itu telah disimpannya sejak tadi dan siap pakai.
.
“O.K. kalau begitu naik yok!” ajak Rafika sambil memperbaiki letak kaus kaki sebelah kirinya yang agak melorot karena kendor.
.
Ketika menaiki anak-anak tangga, Joshua menyodorkan tangan untuk menggandeng manja tangan Rafika. Tangannya disambut juga, namun ada keanehan - ada rasa dingin - yang seakan memancar deras dari permukaan kulit mulus itu. Joshua berharap itu hanya semacam reaksi penyesuaian kembali setelah lama tak bersua. Dengan sedikit membelok, akhirnya mereka tiba juga di tempat yang diusulkan Joshua.
.
Lantai atas itu tempat yang tidak begitu ramai. Pada malam hari, ketika tidak ada kelas malam, keadaan sunyi-senyap. Di sana, ada tiga ruang kelas berpintu tinggi, satu musholah dan dua kamar mandi dan WC. Pada saat itu memang masih ada satu kelas kursus yang belum usai. Tetapi mereka di dalam kelas tertutup sehingga hanya terdengar suara amat perlahan dari dalam. Bila seseorang berada di sudut dengan bangku panjang dan memandang ke bawah, ke arah kafe, akan tampak beberapa kursi besi yang dahulu bercat putih mengelilingi meja besi yang berwarna putih pula. Dahulu ada dahan-dahan pohon yang lebat menaungi sudut itu. Tapi kini dahan-dahan itu sudah dipangkas. Mungkin orang khawatir kalau-kalau ada ulat daun yang jatuh ke dalam gelas-gelas kopi, teh, jus, ataupun sepiring makanan. Dari situ pula terlihat Novotel yang menjulang tinggi. Bukan hanya itu, jalan-jalan dan gang-gang sempit tampak lebih jelas. Sudut itu menjadi sebuah gardu pandang tersembunyi yang mengasyikkan.
.
Sejoli itu berpelukan mesrah dan melepas rindu sesaat, lalu menempati bangku kayu. Setelah melepaskan alas kaki masing-masing, mereka duduk berhadap-hadapan, lebih rapat untuk menghalau dingin. Dengan kaki terlipat, ala lesehan, warung tenda tepi jalan. Untung bangku itu memang lebar.
.
Lama keduanya bertatapan dalam hening senja. Joshua menatap wajah Rafika dalam-dalam, dan dari gerak dan mimiknya, ia yakin Rafika ingin mengatakan sesuatu yang serius. Ia amat penasaran untuk mengetahuinya. Namun gadis itu seperti amat berat untuk berbicara. Akhirnya pemuda itulah yang membelah keheningan dengan kata-kata.
.
“Fika, ada apa sih? Kok kamu kelihatan serius banget, pucat, dan bingung? Kamu mau ngomong sesuatu ya?” Ngomong aja. “’Kan dari dulu kita sudah sepakat untuk saling terbuka dan jujur. Aku bersedia menyimak segala omonganmu,” lanjut Joshua.
.
Dengan agak ragu-ragu dan suara terbata-bata, Rafika mengumpulkan kekuatan untuk mengutarakan apa yang tersimpan rapi dalam benaknya. Ia kelihatan sangat khawatir, jangan-jangan ketika mendengar omongannya nanti, Joshua jengkel, marah, atau bahkan menamparnya, lalu pergi meninggalkannya sendiri di tempat yang sunyi itu.
.
Karena malam turun begitu cepat dan sebentar lagi ia harus segera tiba di rumahnya, Rafika berpikir sebaiknya ia tak perlu mengulur-ulur waktu. Che sera, sera6! Semuanya harus terungkap saat itu juga. Mumpung lebih dini dan ada kesempatan emas.
.
“Anu…anu…Jos, kamu harus janji nggak bakalan marah sama aku.” pinta cewek itu, lanjutnya, “aku ta…ta…kut kamu memarahi aku habis-habisan. Kamu janji ‘kan?”
.
“Oke, aku janji, tapi kamu juga harus janji untuk mengatakan yang sesungguhnya. Aku yakin kamu jujur,” kata Joshua berjanji sambil memperhatikan bibir Rafika yang kaku, tapi perlahan terbuka semakin lebar membiarkan suara dari kerongkongannya meluncur keluar dengan getaran yang nyata.
.
Joshua seperti sudah tak sabar menunggu kata-kata yang bakal terucap dari bibir gadis itu. Tapi ia berusaha sabar menunggu.
“Aku rasa…hubungan kita… akan menemui… jalan buntu.”
“Apa? Jalan buntu?! Apa maksudmu? Kenapa?” Joshua memberondong Rafika dengan sederet kata tanya. “Ayo, jangan diam!”
“Anu…Kedua orang tuaku nggak merestuinya. Mereka keberatan sekali, Jos.”
“Keberatan sekali? Apa maksudmu? Apa pula alasan mereka?”
“Anu…me…mereka bilang keyakinan kita berbeda. Akan sia-sia saja. Akan sulit bagi masa depan kita. Nggak bakal ada lembaga yang bersedia menikahkan kita di negeri ini. Aku harap kamu bisa mengerti. Tolonglah mengerti ya, Jos!”
.
“Oke. Kalau perbedaan itu, aku kira dari dulu sudah kita sadari bersama. Dan kita saling menghormati, ‘kan? Tapi penolakan itu pendirian orang tuamu. Kamu sendiri bagaimana? Apa pendapatmu? Kamu pasti punya pendapat, ‘kan?”
.
“Maaf…Jos, jangan marah ya!”
“Tapi kenapa aku harus marah?” tanya Joshua.
.
“Aku terpaksa… sependapat dengan mereka. Aku kira hubungan kita sampai di sini saja,” pinta Rafika. Ia menunduk sebentar, dan sesaat kemudian, mengangkat kepalanya, menatap Joshua dan berkata:
“Sebaiknya kita berteman saja tapi mesrah.”
“Berteman tapi mesrah? Apa mungkin itu? Kamu sudah nggak mencintai aku?”
“Kalau cinta, ya tetap cinta. Tapi aku harus bagaimana dong? Sekarang posisiku terjepit banget gitu loh!” katanya dengan wajah muram, memohon pengertian.
“Lalu bagaimana dengan hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama? Kamu anggap apa hari-hari itu? Apakah semuanya harus terkubur zaman?” tanya Joshua.
“Nggak juga, biarlah semuanya tetap dikenang saja,” balas gadis itu, lalu lanjut berkata “orang tuaku telah merestui seseorang, Jos.”
“Seseorang, katamu? Seseorang?”
“Ya, seseorang. Seorang laki-laki!”
.
“Tentu saja ia seorang laki-laki, Fika?” balas Jos. “Jadi kalian satu keyakinan, begitu?” ia bertanya menyelidik. “Kalau demikian aku paham,” katanya sambil berharap semoga pria yang ia maksud seagama dengan si gadis. Bukankah itu yang dikehendaki?
.
Nggak! Agamanya beda kok. Tapi kedua orang tuaku telah merestuinya. Mereka senang menerimanya di rumah kami sejak hari pertama ia datang.”
.
Joshua tiba-tiba diliputi keheranan. Yang ia herankan adalah hubungan asmaranya dengan Rafika akan berakhir karena alasan perbedaan keyakinan. Lalu mengapa orang tua Fika merestui seorang lelaki lain yang ternyata berbeda keyakinan? Tidak ada bedanya dengan dirinya yang kebetulan berlainan keyakinan. Dalam hati kecilnya ia yakin ada suatu ketidakberesan dalam penolakan terhadap dirinya. Pasti ada alasan lain yang mungkin non-agama sifatnya. Entah apa itu. Ia masih menduga-duga.
.
“Fika, aku heran banget dengan omonganmu, juga sikapmu dan kedua ortumu. Tadi kamu bilang mereka nggak merestui hubungan kita karena perbedaan agama: kamu agama A, dan aku agama B. Kalau itu, aku masih bisa terima. Aku paham kok! Tapi orang tuamu merestui pria lain yang kausebutkan tadi? Apa bedanya? Ada apa dibalik semua ini? Ada apa Fika? Bisa nggak kamu jujur?” pinta Joshua tak sabar.
.
Rafika bagai arca. Masih lebih hidup arca Roro Jonggrang di Candi Prambanan. Ia seperti telah terjebak oleh kata-katanya sendiri. Tambang alasan yang ia ulurkan sepanjang mungkin telah melaso dirinya sendiri. Ia tidak mempunyai alasan lain yang logis. Karena itu, ia terdiam agak lama, lalu mencoba kembali berkata:
“Anu…orang tuaku telah merestuinya. Itu saja! Aku harap kamu mengerti, Jos.”
.
“Aku mohon kamu punya pendapat sendiri, Fika. Kamu ‘kan bisa punya pendapat sendiri,” kata Joshua dengan rasa jengkel yang tertahan dan nyaris meledak.
.
Rafika kelihatan hendak menjelaskan sesuatu, tetapi Joshua yang sudah mencium ketidaklogisan kata-kata cewek yang sangat dicintainya itu, merasa tidak membutuhkan lagi pernyataan tambahan. Dan sebaiknya pertemuan malam itu diakhiri saja. Ada satu hal yang sudah jelas di benaknya: penolakan orang tua Rafika yang diamini Rafika sendiri bukan karena alasan perbedaan keyakinan. Tapi alasan apa pun itu, ia tidak tertarik lagi untuk mengetahuinya. Semoga waktu yang akan meyingkap semuanya!
.
Joshua menyesali tidak logisnya sikap kedua orang tua Rafika. Mereka jelas menolak yang berbeda untuk menerima yang berbeda. Tidak ada yang masuk akal dalam hal ini. Sangat ganjil! Tetapi ia tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya dan berusaha memaafkan Rafika. Hanya ia tak ingin hubungan yang tandus kelogisan, kejujuran dan kesetiaan dipertahankan. Kalaupun itu mungkin, atau dipaksakan, akan sama dengan memperlebar bingkai ketidapastian dalam waktu. Hari masih panjang. Carpe diem7!
.
Sepasang kekasih yang baru saja bubar itu meninggalkan sudut dengan bangku panjang dalam seribu bisu, menuruni tangga, lalu berjalan menuju ke tempat parkir. Joshua mengucapkan terima kasih, dan setelah sesaat menatap Rafika menyentuh sepeda motor Suzukinya, ia melangkah meninggalkan tempat parkir itu seketika tanpa menoleh. Ia tetap menyesali sikap Rafika dan kedua orang tuanya yang tidak logis. Dalam kepahitan, ia bersyukur karena telah bebas dari belenggu ketidaklogisan, ketidakpolosan, juga ketidaksetiaan. Ia merasa seakan ia baru meninggalkan biara terbakar pada akhir kisah dalam novel The Name of the Rose yang sempat ia lirik walau belum membaca keseluruah bab. Ia tidak ingin hari-hari hidup selanjutnya dibingkai kegelisahan, karena William Baskerville, dalam novel yang ia baca, seolah-olah telah memperingatkannya lewat ucapan Non in commotione, non in commotione Dominus.


Yogyakarta, November 2004

* Peminat bahasa dan sastra, aktif menulis puisi dan cerpen, mengikuti kegiatan sastra, serta menyusun kamus, berdomisili di Yogyakarta.

1 “Bukan dalam kegelisahan, Tuhan ada bukan dalam kegelisahan” (bahasa Latin), kutipan dari novel the Name of the Rose versi bahasa Indonesia terbitan Bentang, hlm. 654 2 “Mawar bisa berarti segala-galanya atau tidak berarti apa-apa” (bahasa Latin), kutipan dari novel the Name of the Rose versi bahasa Indonesia terbitan Bentang, hlm. ix 3 fosil manusia kerdil yang baru-baru ini ditemukan di Flores 4 penggemar/pencinta (bahasa Inggris) 5 apapun yang terjadi, biarlah terjadi (bahasa Italia) 6 pengawal (bahasa Inggris) 7 nikmatilah waktu hari ini sebanyak-banyaknya (bahasa Latin)




Mengejar Impian di Ibu kota


Untuk yang kecewa di metropolis

Ibu kota tak selamanya sinetron
dengan mimpi yang muluk-muluk.
Dan tiap panggilan metropolitan
perlu tafsiran seribu bentuk.

Sepucuk surat indah dari ibu kota
bangkitkan angan yang terkubur.
Dan oleh karena daya kata-kata
kaucoba gapai mimpi yang kabur.

Namun kautelah jadi Monas baru
yang tetap tegak diterpa badai.
Kemarin kauditatap dengan haru,
kini pengalaman membuatmu pandai.


Yogyakarta, 14 November 2007
Karya: Yohanes Manhitu

Pohon Para Pendoa

Karya: Yohanes Manhitu

Konon dewasa ini keutuhanmu
tak lagi bisa kami pulihkan
dari serbuk dan minyak
yang telah jauh dari bumi,
tempat dahulu kauberpijak.

Terlampau banyak dan dalam jejakmu
di atas lembaran kitab-kitab sejarah
sehingga dunia kehilangan wajah
apabila hanya di nomenklatur
namamu hidup, tanpa wujud.

Demi baktimu kepada Sang Pencipta,
kaurela dijadikan biji-biji yang indah
untuk untaian doa anak negeri.
Dan kauharus subur bertumbuh
agar doa kami tetap mewangi.

Yogyakarta, November 2007

Nostalgia Penyair


Karya: Yohanes Manhitu

Di sebuah kedai tua
di pinggir kota lama,
masih sering tampak
walau berpucat wajah,
seorang lelaki tua
yang melangkah tertatih.

Tiada yang lebih indah
di seluruh kota lama
selain kedai itu – yang tersisa –
tempat dahulu kata menjadi musik.
Sejak negerinya jemu bersajak,
kedai tua itu gudang nostalgia.

Yogyakarta, November 2007

Post forta impreso venis longa serĉo*

Bildo: Farita de Yohanes Manhitu

De: Yohanes Manhitu*

Antaŭ kelkaj jaroj, kiam mi estis studento de angla lingvo en la Universitato de Nusa Cendana (Undana), en Kupang, Okcidenta Timoro, en la klaso de historia komparativa lingvuistiko, krom la “naturaj” lingvoj oni lernis ankaŭ pri unuj planitaj lingvoj. Kaj la tre regula esperanta gramatiko surprizis min. Kompare kun la davana lingvo – la plej parolata indiĝena lingvo de la okcidenta parto de la “insulo de santalo” –, Esperanto estas multe pli simpla. Bedaŭrinde, en tiu tempo mi ne povis lerni ĝin, ĉar mi estis tro okupita per mia studado. Sed la semo de kuriozaĵo pri ĝi ekkreskigis malrapide sed certe en mi.

La tempo pasigis, kaj finfine venis la horo por koni pli malproksime Esperanton kiam mi ĵus ekvivis en Yogyakarta – unu el la plej kulturaj urboj de Indonezio. Unu tagon, mi rememoris Esperanton kaj mi provis trovi informojn pri ĝi en la reto, kie subite aperis al mi la retpaĝo de la retkurso de Esperanto. Mi sentis kiel mi trovis trezoron. Mi tuj presis rekte de la reto kelkajn paĝojn kaj eklernis la lingvon interrete. Mi regule sendis la resultojn al instruisto, kies nomon mi bedaŭrinde forgesas. Sed poste mi haltis la kurson, ĉar mi pensis, ke mi povus uzi la autodidaktan metodon, kiu estas sendependa.

Kiam mi jam trovis la facilecon de Esperanto per la autodidakta lernado, mi tre volis diri tion klare kaj koncize al ĉiuj en nia lando. Kaj per unu artikolo titolita Esperanto, Bahasa Dunia Masa Depan? (la indonezia, Esperanto, la Estonta Mondlingvo?) kiu aperis en la tablojdo Intisari, mi komencis disvastigi informon pri la internacia lingvo. Poste, kelkaj samlandanoj kiuj jam legis la artikolon kaj estis kuriozaj pri ĝi min kontaktis per retletero por diskuti pri la lingvo. La forta deziro por pli disvastigi Esperanton en nia lando motivigis min fari retliston en Yahoo!Groups. Nun la membroj de tiu ĉi listo plejparte estas internaciaj esperantistoj. Unuflanke, la partopreno de ĉi tiuj multilingvaj samideanoj tre fortigas la uzon de Esperanto kiel sola komunikilo de la listo. Aliflanke, ĉi tiu situacio ŝajne malhelpas la partoprenon de la novaj lokaj esperantaj lernantoj en niaj diskutoj. Sed ne gravas! Ĉiuj novaj lernantoj povos partopreni kiam ili estos pretaj. Bonvenon!

Mi persone tre ŝatas (internacian) amikecon kaj la kulturon, nacian kaj de aliaj landoj, precipe mi valorigas la lingvan egalecon en la planedo. Kaj por efektivigi tiun ĉi grandan ŝatecon, mi kredas, ke Esperanto estas helpema ilo. Krome, mi ĉiam konvinkiĝas, ke lingva beleco troviĝas en la literaturo (poezio, prozo, k.c.). Tial, mi ŝatas legi esperante kaj jam ĝoje elektis Esperanton kiel unu de miaj memesprimiloj. Ĉu vi ankaŭ faros tion?

Jogjakarto, Indonezio, oktobro 2007
--------------------------------------
*) Ĉi tiu eseo troviĝas en Esperanto kaj mi: Eseoj de 180 esperantistoj el 17 aziaj landoj (Ĝunma, Japanio: Horizonto, 2007; paĝo 48-49).
**) Indonezia verkisto kaj tradukisto, loĝanta en Jogjakarto. Kelkaj el liaj verkoj estas Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia (Ĝakarto: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Kamus Portugis-Indonesia, Indonesia-Portugis (Ĝakarto: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), originala poemaro en Esperanto Sub la vasta ĉielo (Candelo, Aŭstralio: Mondeto, 2010), davana-esperanta poemaro Feotnai Mapules—Princino Laŭdata (Antverpeno: Eldonejo Libera, 2016), kaj angla-franca poemaro A Walk at Night (Une promenade de nuit) (Antverpeno: Eldonejo Libera, 2017). 

Suara Tuhan di Radio

Karya: Yohanes Manhitu

Setiap malam pada jam yang sama
kupasang telinga ke arah radio,
yang dari sudut kamar bersuara.
Kusimak litani usang kekecewaan.

“Suara rakyat adalah suara Tuhan,”
seorang penelepon angkat bicara.
“Harap kalau bicara pakai nurani,”
usul sang narasumber bijaksana.

Lalu dari barat sampai ke timur
bersahut-sahutan suara kecewa.
Dan yang merasa puas itu angin
yang mempermainkan bahtera nusa.

Setiap menit aku terus berharap
dengan kuping ke arah radio
agar dari segala penjuru negeri
lahir litani indah ketenteraman.

Yogyakarta, November 2007

Tuesday, October 30, 2007

Murak ne’ebé hetan iha livru

Hosi: Yohanes Manhitu

Matenek ida dehan: “Lee, no ó sei hatene”.
Livru ida-idak parese rai mistériu boot ida
be ema ida-idak tenke sani di’ak hodi loke.
Maibé mistériu sei hetan iha-ne’ebé loos?

Livru la’ós kaixa be ó loke kedas ho xave,
Livru la’ós armáriu be ó haluha taka mate.
Letra ba letra ó sei lee neineik to’o rohan.
Lia-dikin maka loke kortina mistériu nian.
.
Yogyakarta, 23 fulan-Jullu 2007

Sira ne’ebé moris iha estrada

Hosi: Yohanes Manhitu

Lalehan luan maka ami-nia uma-kakuluk loos,
Rai maran hori kleur sai ami-nia toba-fatin.
Estrada maka ami-nia uma didin-laek.
Loromatan no fulan, ne’e belun di’ak.

Isin furak no morin, ami buka maibé la hetan.
Hahán di’ak no midar sei do’ok hosi kabun.
Se destinu fó, ami sei han ho hamnasa.
La hatene bainhira sei husik estrada.

Moris nia sentidu, karik filózofu nia asuntu.
Bele han no hemu dadeer ida to’o ona.
Hetan bee hodi hariis, obrigadu ona.
Maibé susar ami seidauk fase hotu.


Yogyakarta, 23 fulan-Jullu 2007

Bondia tuir janela nakloke


Retratu: http://favimages.com/image/36776

Hosi: Yohanes Manhitu

Tuir janela ki’ik be nakloke ha’u lolo ulun sai.
No hiri-ibun ha’u dehan bondia ba mundu.
La iha ema ida be hatán kumprimentu.
Hosi dook loromatan mosu neineik.

Malirin kalan nian sai ona tuir janela ne’e
no troka ho loro-naroman be to’o mai.
Loromatan mós dehan tiha bondia
bainhira naroman mai kona ha’u.

Yogyakarta, 23 fulan-Jullu 2007

Sumpah Pemuda dan Martabat Bahasa Indonesia

Gambar: https://www.indovoices.com

OLEH: YOHANES MANHITU*

BULAN ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari Sumpah Pemudasalah satu peristiwa terpenting dalam sejarah perjuangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercinta ini, karena ia menjadi momentum kelahiran persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, yang pada masa itu amat membutuhkan kebulatan tekad dalam upaya melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Tanpa peristiwa yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut, kita, bangsa Indonesia, barangkali tak akan pernah dapat mewujudkan persatuan dalam bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa.

Bertepatan dengan bulan Sumpah Pemuda, seperti biasanya bangsa kita juga merayakan Bulan Bahasa, yang secara khusus menyoroti salah satu pokok penting dari Sumpah Pemuda itu sendiri, yaitu menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia. Kegiatan tahunan ini berlandaskan kenyataan sejarah bahwa secara sosiologis dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap “lahir” pada hari Sumpah Pemuda. Dan baru diakui secara yuridis pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan NKRI oleh Sukarno-Hatta (Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, 1999).

Pada bulan ini Sumpah Pemuda telah mencapai usianya yang ke-79, seusia dengan bahasa Indonesia. Jika dibandingkan dengan seorang manusia, maka bahasa persatuan kita telah menginjak usia uzur dan sudah kenyang dengan asam-garam kehidupan. Nah, pada hari ulang tahunnya yang ke-79 ini penulis ingin mengajak pembaca untuk mengamati apa yang telah dicapai bahasa pemersatu kita ini dengan menggunakan indikator-indikator martabat bahasa yang digariskan Soepomo Poedjosoedarmo dalam bukunya yang berjudul “Filsafat Bahasa” (Muhammadyah University Press, 2001), yaitu kemampuan, pemakaian dan kreativitas, peradaban bangsa, sistem tulis, pembakuan, kaya, dan jumlah penutur.

Kemampuan
Ditinjau dari segi kemampuan, kita patut “angkat topi” bahwa bahasa Indonesia yang pada mulanya hanya merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu (KBBI, 1999) kini telah mampu menopang kehidupan bangsa Indonesia dan sanggup memenuhi kebutuhan para penuturnya dalam mewujudkan cipta, rasa dan karsanya sebagai bangsa yang beradab. Bahasa Indonesia terbukti mampu menjadi sarana penyampaian pesan lisan dan tertulis dan hal-hal yang bersifat religius, literer, ilmiah, politis, dan yudikatif (Soepomo Poedjosoedarmo, 2001). Akan tetapi, kemampuannya masih perlu terus ditingkatkan guna memenuhi tuntutan zaman yang semakin besar dan mendesak.

Pemakaian dan Kreativitas
Soepomo Poedjosoedarmo berpendapat bahwa pemakaian bahasa sebetulnya berarti kreativitas. Jadi, suatu bahasa harus digunakan secara aktif sehingga dapat menimbulkan kreativitas. Hal ini telah lama dialami bahasa Indonesia dalam perjalanan panjangnya. Karena kedudukannya sebagai bahasa resmi nasional, maka pemakaian bahasa Indonesia makin meluas. Hal ini tentu mendorong kreativitas tiap penuturnya, misalnya dengan diciptakan atau dipungutnya berbagai istilah dan struktur baru dalam bahasa Indonesia. Namun, kreativitas yang tak taat asas menghambat pembinaan bahasa. Misalnya, karena “terlampau” kreatif, maka orang dapat menggunakan istilah-istilah asing tanpa mengindahkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

Peradaban Bangsa
Kita tentu ingat peribahasa “bahasa menunjukkan bangsa”. Kedengaran klasik memang, tetapi makna yang tersirat di dalamnya sangatlah dalam. Tingkat peradaban suatu bangsa dapat dideteksi dari bahasanya. Makin maju sebuah bangsa, makin tinggi pula kemampuan bahasanya. Dewasa ini bangsa yang kurang berinovasi secara teknologis hanya akan menjadi pengimpor istilah-istilah asing yang datang secara bersamaan dengan produk-produk asing (baik baru maupun rongsokan) yang dibelinya.

Sistem Tulis
Bangsa Indonesia patut berbangga karena bahasa Indonesia telah memiliki sistem tulis dengan ejaan baku yang beraksara Latin. Bahkan sebelum “kelahiran”-nya pun, bahasa Melayu yang adalah cikal-bakal bahasa Indonesia telah memiliki sejarah tulis yang panjang dan mengagumkan. Hal penting yang perlu diperhatikan dengan serius dewasa ini adalah penghapusan buta aksara dan peningkatan kemampuan baca-tulis agar masyarakat Indonesia mampu mengekspresikan dirinya secara lisan dan tertulis, dan dapat mengakses sumber-sumber informasi yang pada zaman serba siber ini banyaknya bagaikan gelombang air bah yang tak kunjung menyusut. Suatu sistem tulis yang dirancang oleh para pakar terpercaya pun tentu tidak akan banyak berarti bagi peningkatan martabat bahasa apabila kehadiran dan manfaatnya dinikmati secara luas oleh kalangan terbatas saja.

Pembakuan
Sebagai bahasa yang berwibawa, bahasa Indonesia telah mengalami pembakuan (standardisasi) pada ragam tulisnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya buku tata bahasa dan ejaan resmi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Juga telah ada sistem ucap yang dinyatakan resmi. Misalnya, dalamnya menyampaikan pokok pikiran sebuah partai politik pada sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seorang perwakilan harus menggunakan ragam bahasa resmi dan adab. Namun, sayang, hal ini kadang-kadang lolos dari perhatian para pengguna bahasa di tanah air. Tidak jarang ditemukan bahwa prinsip “asal dapat dimengerti”-lah yang ditonjolkan dan dijadikan alasan.

Kaya
Seperti manusia, bahasa pun dapat dikelompokkan ke dalam kategori kaya dan miskin. Lalu pertanyaannya, “Apakah bahasa Indonesia sudah kaya, atau masih miskin?” Jawabannya bisa bersifat relatif dan subjektif. Bahasa Indonesia boleh jadi sangat kaya atau sangat miskin, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Namun, yang pasti, selama rakyat Indonesia menemukan setiap kata, atau ungkapan, yang dibutuhkan untuk menyatakan pikirannya dengan gamblang dalam membicarakan berbagai aspek kehidupan, dari yang paling sederhana hingga yang paling rumitmisalnya untuk membicarakan teori Kuantum Fisikabahasa Indonesia sudah dapat dianggap kaya.

Jumlah Penutur
Situs Wikipedia Indonesia (http://id.wikipedia.org) mencatat bahwa jumlah penutur bahasa Indonesia adalah 176 juta orang. Data statistik mencatat bahwa terjadi peningkatan jumlah penutur bahasa Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut Soepomo Poedjosoedarmo, jumlah penutur yang banyak belum menjamin suatu bahasa menjadi terhormat walaupun jumlah penutur yang besar dapat menunjukkan adanya kreativitas yang besar dalam berbahasa. Jadi, apabila penutur bahasa Indonesia yang jumlah sangat banyak ini dapat secara kreatif menggunakan bahasa pemersatu dalam berbagai aspek kehidupan, maka martabat bahasa Indonesia akan meningkat dan jumlah orang asing (non-Indonesia) yang mempelajarinya pun bertambah banyak.

Penutup
Sebagai akhir dapat disimpulkan bahwa (1) Sumpah Pemuda yang telah melahirkan bahasa Indonesia menciptakan kebulatan tekad berbagai suku bangsa dalam upaya melepaskan diri dari belenggu penjajahan; (2) jika ditinjau dengan indikator-indikator martabat bahasa yang tertera di atas, yaitu kemampuan, pemakaian dan kreativitas, peradaban bangsa, sistem tulis, pembakuan, kaya, dan jumlah penutur, maka bahasa Indonesia adalah bahasa yang bermartabat tinggi, patut dihormati dan dibanggakan. Namun, masih diperlukan pembinaan dan pengembangan yang berlangsung secara terus-menerus dan (lebih) proaktif; (3) kelestarian, pemeliharaan martabat, dan masa depan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu dan identitas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan dalam teks Sumpah Pemuda, adalah tanggung jawab kolektif seluruh anak negeri, baik Pemerintah maupun masyarakat. 

Yogyakarta, 28 Oktober 2007
----------------------------.
*) Penulis, penerjemah, dan pengajar bahasa asing. Tinggal di Yogyakarta

Thursday, October 11, 2007

Happy Idul Fitri: Multilingual


Selamat Idul Fitri!
Happy Idul Fitri!
Tabê Idul Fitri!
Feliz Idul Fitri!
Felican Idul Fitri!
Sugeng Riyadi Idul Fitri!
¡Felices fiestas de Idul Fitri!
Bonnes fêtes d’Idul Fitri!

Idul Fitri Kmanek!
.
Yohanes

Saturday, September 29, 2007

Esperanto nane sâ? (Kio estas Esperanto?)


Esperanto nane uab-es lê mamoëk he nmânafab komunikasi antara to(b) humâ-humâ nbi pah-pinan i.

Fun mapakê praktis a-nnès nâko ton nautnes Esperanto njail uab amonit, lê nabè' natónnapoin ‘tebtebes kanan nuansa nâko mansian in tenab.

In uab internasional ma netral kun, fun in napalbon neu tuaf ok-okê ma in a-nmoê komunikasi antara tuaf ok-okê nbi pah-pinan, ‘tebtebes ka nok fa tendensi neu budaya (kultur), politik, laistoes (agama) aî hegemoni ekonomi.

Sekaumsekau es nâknoinâ kun Uab Esperanto, nmuî baelsonâ alekot he nahín sivilisasi (peradaban) humaf nua, lê a-nmatalun ma nmâmaub es nok es. Ahunte eslê hit mahonis tokan. Nane napèn pengaruh nâko hit tob in tradisi, moral ma toes, nane eslê, hit budaya lokal. Nuaë hit tapèni oras hit a-tloim kuk he tpil he tjail atuas (warga) pah-pinan natuin Uab Esperanto. Nmanua nnès nâko lê ahunut, amunit i natám nan "budaya pah-pinan" (budaya global), natuin in manifestasi (human) amanuat a-’sekê.

Sin lê a-npil "laistonegara dobel" natuin Uab Esperanto matekâ nak Esperantis. Sin nane tuaf lê ka ala fa nahín uab, me sini msâ a-npaek uab nane he nanaob komunikasi nok Esperantis abitin pah bian ma nmoê kontak nok budaya humâ-humâ, ma sin nane aktivis (ameup-amakoet) neu promosi ma panat-taus neu tenabfuaf uab internasional mesê ini.

Lekâ Uab Esperanto npoi nalail onanet, tuafin lê namót sini ‘noinâ nmulai nrasa parlút he nabuan pukan-pukan he npraktek uab nane, ma ntulun sin bian he nânoinâ kun ma nabeon sin sinmakat nane. Natuin tabu in lakat puknin nane nânaen ma bian nasitbokan ntean pah apaumaktin, te pukan feü bian a-msâ a-npoin piuta es onane munî i hit a-tmuî organisasi aktif natun-natun a-nbi pah-pinan nfunamnatéf. Nabuan nok Esperantis-sin, organisasi-sin lê i nforma (nbentuk) pah Esperanto, ma hit biasa ttek sin meupmakoet (aktivitas) tak "Neöt Esperanto" (Gerakan Esperanto).

Tânoinâ kuk Uab Esperanto, tjail Esperantis, ma trasa mlilê ahenut nâko Neöt Esperanto. Nâko Hit lakat ahunut, in lof Hiti msat!
------------------------
Pusat Studi Esperanto Indonesia: http://www.tejo.org/uea/indonezio
Milis Esperanto Indonesia:
http://groups.yahoo.com/group/esperanto_indonesia
Esperanto Course:
http://www.cursodeesperanto.com.br/
Liga Brasileira de Esperanto:
http://www.esperanto.org.br/
Universal Esperanto Association:
http://www.uea.org/
Esperanto multilingual:
http://www.esperanto.net/
Informasi ntomneu Esperanto:
http://www.esperanto.net/info/index_en.html
Esperanto Access:
http://www.webcom.com/~donh/esperanto.html

Lulbás-tuis: Yohanes Manhitu, Moderator Milis Esperantis Pah Indonesia ini.

Wednesday, September 19, 2007

Rádiu Tulun Aprende Lian Raiseluk

Retratu: dottytheresa.wordpress.com

Hakerek-na'in: Yohanes Manhitu
.
HAKEREK badak ida-ne’e la fokaliza liuliu rádiu no lian raiseluk sira-nia relasaun iha sentidu jerál. Ha’u hakarak de’it fahe esperiénsia kona-ba rádiu onda badak nia vantajen ba ha’u iha haka’as-an aprende lian raiseluk ruma durante tinan hirak ne’e. To’o ohin loron rádiu (liuliu internasionál) sai meiu di’ak nafatin ba ha’u.

Uluk, bainhira seidauk iha rádiu internet nian, opsaun ida de’it maka rádiu tradisionál onda badak be hala’o difuzaun hosi radioemisora iha fatin ida (sentru rádiu nian) no depois sira haka’as no halekar fila fali iha rejiaun ruma. Nu’udar ezemplu, RAI (Rádiu Italiana nian) be halekar hosi Roma, rai-Itália. Tanba ladún maka’as atu ema bele rona moos iha Ázia no Pasífiku, sira haka’as emisaun ne’e iha Austrália. Ne’e-duni rona-na’in sira bele rona Pavaroti nia lian moos tebes hosi rádiu. Buat hanesan ne’e la sai ba RAI de’it, maibé mós ba rádiu sira seluk tan hanesan BBC, VOA, RTP, nsst.

Ha’u rasik hori kleur sente rádiu nia tulun iha haka’as-an aprende lian raiseluk sira, porezemplu lia-inglés, lia-fransés, lia-españól, lia-italianu, lia-esperantu, nsst. Ha’u hahú sériu horikedas tinan 1995 ho BBC hodi aprende lia-inglés. Ne’e akontese bainhira ha’u foin de’it tama ba Universidade Nusa Cendana Kupang, iha Departamentu Inglés nian. Atubele obriga an uitoan ho "lian internasionál" ida-ne’e, ha’u deside an sosa rádiu ho marka-fábrika Tens ki’ikoan ida be dún kompletu ho banda 9 (FM, MW, no SW 1-7) kedas. Ho rádiu ki’ikoan ida-ne’e ha’u hahú obriga an rona loroloron notisia sira tomak iha lian ida be iha loron kotuk sira ha’u nunka tau matan ba, tanba situasaun no kondisaun la fó biban. Ema balu hamnasa haree ha’u sosa rádiu ki’ikoan ne’ebé folin aas liu, kompara ho rádiu boot sira be folin baratu liu nia. Maibé ba ha’u, ne’e la buat ida; sira la komprende rádiu oin rua ne’e sira-nia diferenza loos. Hori loron ha’u sosa tiha rádiu ida-ne’e, ha’u koko rona kada notisia be sira halekar kedas hosi Bush House iha Londres. Jesús Maria! Ha’u iha dala uluk la komprende buat ida. Ha’u rona bilán de’it hanesan beik-teen boot ida. Maibé realidade ida-ne’e la hamenus ha’u-nia hakarak. Semana ida hanesan ne’e, ha’u komesa komprende liafuan ruma be ha’u rona beibeik ona. Bainhira la komprende, ha’u sempre loke disionáriu hodi buka ninia arti loos no oinsá uza liafuan ida-idak iha komunikasaun hakerek no orál. Dala ruma sente kole duni, maibé atividade buka liafuan ne’e dada ha’u-nia interese no halo ha’u kole-laek. Afinál, relasaun metin ida mosu mai no bele tau ba prátika. Ne’e maka (liafuan hosi) rádiu -> (buka arti iha) disionáriu -> uzu prátiku (iha moris loroloron).

Atividade naktemi iha leten ne’e la’ós buat ida be lalais hetan hanesan fila liman. Buat ida-ne’e presiza tempu naruk no pasiénsia barak. Rezultadu di’ak sei mai hosi prosesu naruk. To’o ohin mós ha’u sei rona nafatin rádiu tuir oráriu no lian. Nu’udar ezemplu, iha rai-kalan ha’u rona notisia hosi Radio China International be halekar iha lia-esperantu hodi hatene saida be akontese daudaun iha mundu, nomos hasuli ha’u-nia esperantu. Sempre importante maka hetan oráriu hosi rádiu ida-idak. Ne’e bele mai hosi sentru rádiu nian se ita haruka surat. Maibé ohin loron ita bele hetan fasil de’it hosi rádiu ida-idak nia sitíu internet. Hosi internet ita mós bele baixa saugati emisaun ruma be depois bele rona iha MP3. Ida-ne’e ha’u gosta tebetebes tanba son nia kualidade di’ak liu ida-ne’ebé rádiu tradisionál soi. Nia vantajen ida tan maka ita bele rona fila fali emisaun no depois bele rai nu’udar dadus ka hamoos. Hetan fasil, soe mós fasil de’it.

Vantajen ida seluk ha’u fiar meiu sira seluk la soi maka la iha intervesaun vizuál, hanesan kuandu ema ida haree televizaun ka video. Se ita haree televizaun, porezemplu, ita bele hetan tentasaun atu lee traduzaun, be dala barak la loos ida no halo ita lakon atensaun ba ema nia ko’alia. Komprende buat sira be ema ko’alia iha rádiu --- ema barak fiar --- bele dehan katak komprende loos no moos; la iha manipulasaun. Maski nune’e, ita keta rona ko’alia iha situasaun ofisiál nian de’it, porezemplu entrevista ruma ho primeiru-ministru, ka prezidente. Presiza mós rona ema sira iha merkadu ka iha lurón sira-nia ko’alia baibain. Ne’e sei tulun ita komprende linguajen formál no laformál nian.

Atu ramata ona hekerek badak ida-ne’e, ha’u hakarak dehan katak iha meiu no dalan barak hodi aprende lian raiseluk sira. Rona rádiu ne’e dalan ida de’it hosi dalan barabarak be ita bele hili ho liberdade. Importante liuliu maka sempre prepara an hodi uza meiu ne’ebé baratu no halo ita kontente iha haka’as-an aprende lian nian. Karik obriga an uitoan la sala ida se fini di’ak maka ita hakarak kuda. Rahun-di’ak!

Yogyakarta, loron 19 fulan-Setembru 2007

Sunday, September 16, 2007

Malgranda Folio (Sehelai Daun Kecil)


De Yohanes MANHITU

Inter la multaj folioj de la arboj
kreskantaj en Via ĝardeno,
estas mi, malgranda folio,
kiun Vi gardas kun amo
kaj Vi donas al ĝi koloron
por ke ĝi havu veran formon.

Tage kaj nokte Vi gardas ĝin
kvankam ĝi estas nur folio
en Via ĝardeno tro granda.
Estas tre felice vivi ĉi tie
en la spaco nomata mondo
kiun oni konsideras paradizo.

Yogyakarta, 25/VIII/2007

Gubug-gubug sayuran hijau


Karya: Yohanes Manhitu

Sederet gubug beratapkan daun tebu
tawarkan suasana dusun di tepi sawah
dan dihiasi irama musik seribu negeri
yang dinikmati bermacam orang,
berupa-rupa warna kulit.

Tapi di sini jangan kaucoba pesan
ayam panggang atau sekerat steik.
Kau tak ‘kan temukan tetesan anggur.
Menu utama di sini sayuran hijau.
Ada air mineral bila kauhaus.

Oh ya, bila tiba-tiba musik berhenti
dan kaumasih ingin dengar sesuatu,
temukanlah keheningan di sini
dan dengarkan suara tetesan air
yang mengalir dari sebuku bambu.

Aku hampir lupa. Bila kauterlalu lelah,
berbaringlah sebentar di atas tikar
dan lupakan pedasnya sambal
sebelum kauterbangun dan membayar.
Di kasir selembar nota menantimu.
.
Restoran Milas, Jogja, 24 Mei 2007

Thursday, September 13, 2007

Bagai serdadu


Karya: Yohanes Manhitu

Sejak kutinggalkan meja bedah
aku harus belajar menggendong
tangan kiriku yang telah dibalut.
Dan tangan kanan yang sehat…
Kini lebih banyak kugiatkan.

Aku bukan seorang serdadu
yang memasuki kota dipapah
untuk sambut hari kemerdekaan.
Aku hanya seseorang yang diuji
agar tahan menjalani hidup ini.

Deritaku tak seberat derita prajurit
yang terpental diterjang peluru.
Namun, sakit tetaplah sakit
walaupun hanya tertusuk duri.
Dan kunantikan kemerdekaan.

Yogyakarta, 22 Agustus 2007

Satu hari saja

Karya: Yohanes Manhitu
.
Begitu banyak hari baik dan indah.
Tapi ingat, hari sial itu sehari saja.
Demikian pesan orang-orang tua
yang kenyang akan asam-garam
dan manis-pahit kehidupan ini.

Bagai rusa yang asyik di padang
dan tak menyangka ada pemburu,
anak manusia tak bisa menduga
ada marabahaya yang mengintip.
Dalam sekejap ia bisa terkapar.

Wahai kawan, tetaplah waspada
agar jiwa-ragamu selalu terjaga.
Bukan di jalan saja ada bahaya,
di ranjang pun ia bangun istana.
Andaikan musibah bisa diduga.

Yogyakarta, 22 Agustus 2007

Hari ini masih ada puisi

Karya: Yohanes Manhitu
.
Bagai dedaunan pepohonan di hutan
yang setia berwarna hijau muda
walaupun musim silih berganti,
puisi-puisi terus lahir tiada henti
meski saat kesembuhan kunanti.

Sebutir tablet kutelan pagi dan malam
agar sendi tangan kiri kembali kuat.
Dan bait demi bait puisi aku tulis,
supaya dahaga jiwaku terhapus
dan benakku lepas dari kelam.

Puisi-puisi masih sempat kutulis.
Dan itulah bukti aku masih bernafas.
Biarkan kata demi kata menjadi saksi
rentetan ujian yang mesti kuhadapi.
Puisi melepaskan jiwa terkurung.

Yogyakarta, 22 Agustus 2007

Bangkit lagi

Karya: Yohanes Manhitu

Bukan dari sebuah makam tua
aku kini kembali memijak bumi.
Ternyata aku masih miliki akal
setelah melewati anestesi total.

Dari jalan beraspal ke rumah sakit
tulang-tulang bergesek bagai bambu rakit.
Di meja ronsen pedih-perih itu kurasa,
disengat bius hilang segala bahasa.

Kudengar namaku terus dipanggil,
tapi kutak pernah merasa menggigil.
Kudengar orang bercakap-cakap.
Perlahan mataku terbuka lengkap.

Yogyakarta, 22 Agustus 2007

Kiam oni lernas novan lingvon

Bildo: http://aprendeesperanto.blogspot.com
 
De: Yohanes Manhitu

ĈIU havas sian propran motivadon por lerni novan lingvon. La impreso kaj spertoj de lernado estas eble diversaj. Estas personoj, kiuj lernas alian lingvon car ili volas iri eksterlande por studi, labori, aŭ simple ĉar la lingvo tre plaĉas al ili. Iu eble pensas, ke estas tre interese paroli lingvojn aparte de sia loka aŭ nacia lingvo. Kaj kun la nova scio, li povos libere komuniki kaj interŝanĝi informojn kun aliaj personoj internacie, precipe en la nuna epoko, kiam oni havas multajn komunikfaciligojn, ekzemple la interreton. Persone, mi tre ŝatas lerni lingvojn. Kaj mi estas certa, ke kiam oni lernas novan lingvon, oni malfermas novan pordon al nova popolo kun aparta kulturo kaj vidpunktoj. Konante la lingvon, oni povos malrapide konstrui reciprokan komprenon dum oni gardas bonan komunikadon. Sajnas tre ideale, sed ne estas sendefie provi tion. Laŭ mi, ne eblas koni multamplekse popolon sen havi bonan konon de ĝia lingvo—ĝia propra kultura identeco. Ekzemple, ĝi estas nekonvinka kompreni la davanan popolon (davane: atoin-Metô) de Okcidenta Timoro sen la konado de davana—la lingvo plej parolata de la okcidenta parto de la "insulo de sandalo".


La lernado de nova lingvo, precipe de unu tre forta, ne estas senriska. Kiam la nivelo de scio plialtiĝas kaj la situacio permesas, oni devas provi uzi la lernatan lingvon. Unuflanke, ĝi estas helpema por plibonigi la jam lernitan lingvon. Se la laboro postulas, oni devas akcepti por plenumi tion, kiun oni devas gajni. Aliflanke, la daŭra uzo de unu tre forta lingvo kun tro granda fiereco eble malfortigos la fierecon de sia propra lingvo, kaj indiĝena kaj nacia.

La afero, kiun oni devas eviti en la lernado de nova lingvo estus lingva distingado. Tio volas diri, ke por gardi ĉiun lernitan lingvon, oni devas trakti ĝin laŭ ĝia rolo en la ĉiutaga vivo. Ĝis nun, mi konsideras kaj la davanan kaj la tetuman kiel la lingvoj, kiuj donas al mi timoran identecon. La indonezia estas mia nacia lingvo, per kiu mi komunikas kun samlandanoj. La angla, konsiderata kiel la plej vaste uzata internacia lingvo, helpas min gardi kontaktan kun personoj en aliaj landoj. Krome, mi uzas ankaŭ aliajn lingvojn, ekzemple la francan, la hispanan, la portugalan, la italan, kaj Esperanton por la sama kialo. Ĉar nuntempe mi loĝas en javanparolanta urbo, mi lernas ankaŭ la javanan. Do, kiam oni lernas novan lingvon, oni jam havis la kialon—kial oni lernas ĝin. Unu lernita lingvo devas esti utila por la lernanto. La rezultato de la lernado, certe, dependas de la maniero de lernado mem. Certe ekzistas multaj manieroj, sed mi esperas, ke jene estas utilaj:
  • Prononcu lautvoĉe kaj korekte ĉiun vorton;
  • Lernu multajn vortojn kaj provu scii la bonan uzon;
  • Provu kompreni kiel formi frazojn;
  • Estu preta por uzi voĉe la lingvon. Ne gravas fari erorojn! Neniu estas perfekta!
  • Aŭskultu radioelsendojn por kutimiĝi kun la normala rapideco de la parolado kaj por plibonigi vian prononcon;
  • Rigardu la televidon kaj filmojn. Ĝi estas helpema por via lernado.
Konklude, mi volas diri, ke la lernado de nova lingvo ne estas sen malfacileco. Sed se oni estas persista, oni venkas. Ni memoru, ke "voli estas povi". Ne estas lingvo tro malfacila lerni sub la malfermita ĉielo kiam volo estas kion ni havas. Onidire, estas tempo por ĉio.

Yogyakarta (Jogjakarto), la 25an de aŭgusto 2007

Pancasila (The Five Basic Principles of the Republic of Indonesia) in 10 Languages*

Image: www.goodnewsfromindonesia.id


Pancasila (Bahasa Indonesia/Indonesian Language)
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
The Five Basic Principles (English)
  1. The belief in one Supreme God
  2. Humanity that is just and civilized
  3. The unity of Indonesia
  4. Democracy guided by the wisdom of representative deliberation
  5. Social justice for all Indonesians
Les Cinq Principes (Français)
  1. Un Dieu Unique
  2. Une Humanité Juste et Courtoise
  3. L’Unité de l’Indonésie
  4. Une Democratie dirigée par la Sagesse dans la Consultation/la Représentation
  5. Une Justice Sociale pour Tout le Peuple Indonésien
Los Cinco Principios (Español)
  1. Un Dios Único
  2. Una Humanidad Justa y Civilizada
  3. Unidad de Indonesia
  4. Una Democracia dirigida por la Sabiduría en la Consultación/la Representación
  5. Una Justicia Social por Toda la Gente Indonesia
Os Cinco Princípios (Português)
  1. Um Deus Supremo
  2. Uma Humanidade Justa e Civilizada
  3. Unidade de Indonesia
  4. Uma Democracia dirigida pela Sabedoria na Consultacão/na Representacão
  5. Justiça Social para Toda a Gente de Indonésia
I Cinque Principii (Italiano)
  1. La fede in un Supremo Dio
  2. Umanità che è giusta e civilizzata
  3. La unità d’Indonesia
  4. Democrazia guidata dalla saggezza di rappresentativa deliberazione
  5. Giustizia sociale per tutti i indonesiani
La Kvin Principoj (Esperanto)
  1. La kredo je unu Ĉiopova Dio
  2. Justa kaj civilizita homaro
  3. La unueco de Indonezio
  4. Demokratio gvidata de la saĝeco de reprezenta konsidereco
  5. Socia justeco por ĉiuj indonezianoj
Dasar Ním (Dawan/Uab Meto/Baikenu)
  1. Toes neu Uisneno Mesê Anèsit
  2. Mansian-amonit natuin lais'adil ma lais'adab
  3. Pah Indonesia in nekaf-mesê
  4. Demokrasi maätur nèk hine-amaneot natuin laistolas
  5. Lais'adil sosial neu to(b) Indonesia ok-okê
Prinsípiu Báziku Lima (Lia-tetun Timór Lorosa’e nian)
  1. Fiar Maromak Mesak Ida-de’it
  2. Umanidade be loos no sivilizada
  3. Unidade Indonézia nian
  4. Demokrasia be dirije hosi fohok deliberasaun nian
  5. Justisa sosiál ba povu Indonézia tomak
Pancasila/Lima Dasar (Bahasa Melayu-Kupang)
  1. Parcaya Tuhan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Indonesia pung persatuan
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam perwakilan
  5. Keadilan sosial untuk orang Indonesia samua
* The translations were prepared by Yohanes Manhitu