Wednesday, December 29, 2010

Bonan Matenon Dio (Selamat Pagi Tuhan)


De: Rieke Diah Pitaloka

Mi malfermas la fenestron de la ĉambro,
Dio min demandas:
“Kion vi volas hodiaŭ?”
“Dio” mi diras, “liberigu la premegatajn animojn”.

Dio ridetas inter la rozoj.

Flarante ilian perfumon, mia papago dolĉe kantas.
Mi malfermas ĝian kaĝon,
entendigas la manon,
kaj tuŝas ĝin.
Ĝi min rigardas malkrede,
mi kapsignas.

Ĝi flugas direkte al la blua ĉielo.

Bonan matenon Dio,
kaj dankon.

Ĝakarto, la 1an de oktobro 2001

Esperantigis Yohanes Manhitu,
la 31an de aŭgusto 2007

Di Gerbong Ini

Foto: www.stocksy.com

Oleh: Yohanes Manhitu
Aku di gerbong ini
tak terikat, bebas!
Bola mataku liar
tatap roda-roda
tak kenal lelah.
Aku di gerbong ini.
Yang kulihat adalah
yang dilampaui,
yang dihadapi
tanpa diam.
Aku di gerbong ini,
harus bersujud,
mesti berpeluh.
Ada tawa,
ada tangis.
Pugeran Timur, Yogyakarta,
27 Agustus 2004

Monday, November 29, 2010

Puspa yang tak bertahan (Flor que não dura)

Foto bunga melati ini adalah karya saya sendiri.
Karya: Fernando Pessoa

Puspa yang tak bertahan

lebih lama dari bayang-bayang sesaat
Kesegaranmu
tetap bersemi di anganku.

Aku tak kehilangan kau
dalam apa adanya diriku
Hanya tak pernah lagi, oh puspa, kau kulihat
di mana bukan aku melainkan bumi dan langit.

Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 13 Januari 2004
--------------------------------

Flor que não dura


Por: Fernando Pessoa

Flor que não dura
Mais do que a sombra dum momento
Tua frescura Persiste no meu pensamento.


Não te perdi No que sou eu,
Só nunca mais, ó flor, te vi
Onde não sou senão a terra e o céu.

Tangan-Tangan Jahanam Merenggut Nyawamu


Karya: Gabriela Mistral


Tangan-tangan jahanam merenggut nyawamu sejak hari itu

tatkala, dengan satu isyarat bintang, ia tinggalkan rumpun

teratai putihnya yang bersalju. Dahulu ia tumbuh ceria.

Tangan-tangan jahanam menikamnya dengan tragis.


Dan kepada Tuhan kuberseru, “Di titan-titian maut, ia

digiring, sosok kekasih yang tak bisa mereka tuntun!

Rebutlah dia, ya Tuhan, dari tangan-tangan maut itu

atau benamlah dia dalam kantuk hebat yang Kaubuat!


“Ia tak bisa kuteriaki, tak dapat pula ia kususul!

Sampannya menantang angin keras yang menerjang.

Pulangkan dia ke pelukanku atau petiklah selagi ia berbunga”.


Sampan merah jambu hayatnya mandek bertolak…

Benarkah aku buta tentang cinta dan tak berbelas kasihan?

Kau, yang akan mengadili aku, Kaupahami itu, Tuhan!



Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu

Yogyakarta, 11 Januari 2004

-----------------------------


Malas Manos Tomaron Tu Vida


Por: Gabriela Mistral


Malas manos tomaron tu vida desde el día
en que, a una señal de astros, dejara su plantel
nevado de azucenas. En gozo florecía.
Malas manos entraron trágicamente en él.

Y yo dije al Señor: "Por las sendas mortales
le llevan, ¡sombra amada que no saben guiar!
¡Arráncalo, Señor, a esas manos fatales
o le hundes en el largo sueño que sabes dar!

"¡No le puedo gritar, no le puedo seguir!
Su barca empuja un negro viento de tempestad.
Retórnalo a mis brazos o le siegas en flor".

Se detuvo la barca rosa de su vivir...
¿Que no sé del amor, que no tuve piedad?
¡Tú, que vas a juzgarme, lo comprendes, Señor!



Sunday, October 31, 2010

Rai moris-fatin

Hosi: Yohanes Manhitu


Biar ohin ó hela ona iha rain seluk,

hakat liu tasi, liuhosi dalan naruk,

no iha rain ne’ebá moris la moruk;

hanoin moris-fatin, ó lalika baruk.


Hori tempu ó moris, sei nuranurak,

inan-aman haree ó hanesan murak

tanba ó-nia presenza halo furak.

Ba ó-nia an sira harohan barak.


Rai moris-fatin husik ó bá rain dook

no nia sai sasin nafatin maski nonook

ba loron sira ó hamlaha no hamrook

no aman husu ba inan, “Foti took!”


Maski ó hela ona iha rain dook resik,

loron ohin fatin hotu-hotu parese besik,

lembransa ba moris-fatin, ó keta husik!

Hahú iha-ne’ebá ó-nia istória rasik.


Yogyakarta, fulan-Outubru 2010

----------------------------------------

Tanah tumpah darah


Karya: Yohanes Manhitu


Biarpun kini kautelah berdiam di negeri lain,

menyeberangi laut, melewati jalan panjang,

dan di sana tiada kegetiran hidup;

mengenang tanah tumpah darah, jangan kaumalas!


Sejak kaulahir dan masih teramat muda,

kau ibarat emas-perak bagi ayah-bunda

sebab kehadiranmu menciptakan keindahan.

Bagimu banyak doa mereka panjatkan.


Tanah tumpah darah merelakanmu pergi merantau

dan ia tetap menjadi saksi dalam kebisuan

bagi hari-hari ketika kau lapar dan haus,

dan ayah meminta bunda, “Ambilah dia!”


Meski kini kautelah berdiam di negeri jauh,

dewasa ini semua tempat tampak dekat,

kenangan akan tanah kelahiran, jangan kaulupakan!

Di sanalah kisahmu sendiri berawal.


"Untuk Eropa" (Himne Eropa)

Mari bernyanyi bersama, kawan-kawan.
Mari rayakan hanya kegembiraan kita,
Tiada lagi sungai, ataupun gunung
Tiada lagi batas di antara kita.

Oh, Eropa, kampung halaman kami,
Dahulu kauterpecah-belah begitu lama,
Kini biarkan keelokanmu bersemarak,
Kami semua adalah anak-anakmu.

Panjimu menyatukan sebagai saudara
Mereka yang telah diceraikan perang,
Hukummu sekarang menyatukan
Segenap warga seia-sekata.

Di seluruh Benua Eropa
Rakyat kini telah bangkit,
Dituntun suatu perasaan terbaru
Dan kebulatan tekad untuk bersatu.

Di bawah perisai hukum
Kami ‘kan hidup rukun dan damai.
Demikianlah sumpah kami:
Satu tanah air dan senasib.

Ini teladan bagi dunia,
Ini arah, inilah jalan:
Seluruh umat manusia
Hidup dalam damai, dalam suka.

Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu,
Yogyakarta, 2010

Thursday, September 30, 2010

Naha todan resik

Hosi: Yohanes Manhitu


Hahú hosi kostume tuan,

be hala’o iha tempu ne’ebá,

bainhira karreta ita ladauk hatene,

mak atu bá fatin dook, ita sa’e kuda.


Se ita hatene kuda nia dalen karik,

ita sei komprende oinsá nia sente

bainhira naha ita hasa’e la hanoin

kuda nia kbiit atu ramata dalan.


Kostume ne’e ita kaer ba nafatin

maski tempu la'o tiha ona ba oin.

Ita toman ho naha todan resik

ba karreta no ita-nia an rasik.


Loron ba loron ita hamutuk naha

no neineik naha sai todan resik.

Atu hatún, ita sente laran-ta’uk –

ta’uk tan ita-nia naran sei lakon.


Halai-taru mosu iha fatin barak,

no ita mós hetan konvite atu tuir.

Maibé hafoin ho hamnasa ita dehan,

“Halai-taru ne’e ba sira be naran-laek.”



Yogyakarta, fulan-Setembru 2010

-----------------------------

Beban terlampau berat


Karya: Yohanes Manhitu

Berawal dari kebiasaan lama

yang berlaku di masa lampau

ketika kita belum mengenal mobil,

sehingga ‘tuk bepergian, kita menunggang kuda.


Andaikan kita tahu bahasa kuda,

kita ‘kan mengerti bagaimana perasaannya

ketika kita memuat beban tanpa memikirkan

kesanggupannya ‘tuk tuntaskan perjalanan.


Kebiasaan ini tetap kita pelihara

meski zaman telah bergerak maju.

Kita terbiasa dengan beban terlampau berat

bagi mobil dan diri kita sendiri.


Hari demi hari kita menimbun beban

dan lambat-laun beban terlampau berat.

Untuk membongkarnya, kita merasa takut –

takut akan kehilangan nama.


Balapan muncul di banyak tempat,

dan kita pun diundang untuk ambil bagian.

Namun kemudian dengan tertawa kita berkata,

“Balapan ini untuk mereka yang tak bernama.”

When Silence Is Not Golden



By YOHANES MANHITU

READING the press release entitled “Use of the Portuguese language makes it hard for a number of parliamentarians to debate the draft civil code” posted on the 31st July 2010 in the East Timor Law and Justice Bulletin, I could only imagine how hard it would be to remain silent in a prestigious forum, where one is expected to say something essential and decisive in favour of those who have entrusted him with their aspirations and expectations. In such a situation one could totally be both speechless and powerless, not because he has nothing at all to say, but rather because he has not mastered well (or feels uncomfortable with) the means of communication that should allow him to express himself with full dignity and capacity. Even a non-parliamentarian can imagine being in a small-group discussion where some participants are reluctant to ask and answer questions because the language used is almost Greek to them. In this case, silence is not golden.

I am touching on this matter simply because I am interested in both Tetum (Tetun) and Portuguese—the two languages that have been living side by side for many centuries in the eastern part of Timor Island. So this writing is not aimed at interfering with the affairs of another country or a certain foreign national body having its own policies and regulations. My opinions should, therefore, be regarded as mere concern and attention of a language aficionado residing in the nearest neighbouring country.

As far as I know, it has been clearly stated in article 13 of the East Timor’s constitution that the first official language of the country is Tetum (the second being Portuguese), implying that Tetum (lia-tetun) should be given more priority. Therefore, I think it would be a better idea to always provide Tetum translations in advance when something is going to be communicated in Portuguese only. When necessary, this method could be applied vice versa. Although helpful, it is not always easy to provide very lengthy (official) documents full of technical terms in two languages, let alone it all East Timorese national languages. But what else could be the best way to show that both official languages—Tetum and Portuguese—are valued.

In order that Tetum be properly used in all aspects of life—including that of the House of Representatives (Parlamentu Nasionál)—East Timorese people ought to promote the language and be proud to use it in their daily lives. Since members of the parliament represent the people (lori povu nia lian no naran), it is not uncommon that they should speak the language of the people and master it to a certain extent that allows them to express themselves with ease. But in spite of their adequate Tetum mastery, the legislative body should first establish its own language policy. The question one could possibly raise is: Why did they choose Portuguese, not Tetum? It is possible to suppose that they chose Portuguese for a merely practical reason: since Tetum, in the process of its development to be a fully capable means of communication, still—as some believe—lacks technical terms to be used by the parliamentarians in dealing with their duties, especially to express their opinions in parliamentary fora.

If it is the case, experts in all fields of human life in East Timor should work hand in hand to provide good dictionaries of technical terms in order to facilitate a ‘high-level’ speech in Tetum. Such dictionaries could be based on ‘international’ and national languages. Drawing words from the national languages of East Timor will not only allow the incorporation of cultural elements into ‘high-level’ practice but also enrich and foster cultural identity. In order to undertake such a valuable task, experts could take at least four measures: (1) coining new words from Tetum itself (like what the Maori people do), (2) adopting traditional Tetum terms with new meanings, (3) borrowing specific words from non-Tetum languages (East Timorese languages besides official Tetum, Tetum-Prasa and Tetum-Terik), and (4) borrowing highly technical terms from Portuguese (this has been done by adopting a large number of words).

All the aforementioned measures have their strengths and weaknesses. Firstly, coining new words from Tetum itself will be a good way of enriching the language with ‘original’ words. But at the same time it requires efforts to make people understand what they actually mean. And by doing so, it would be difficult for foreigners to learn the language, especially if the number of these newly invented words increases from time to time. Secondly, adopting traditional Tetum terms (from Tetum-Terik) with new meanings will, like the first measure, enrich the language with ‘original’ words. However, without precise definitions, people could misunderstand and misuse them (since official Tetum is based on Tetum-Praca, whose speakers are, to some extent, unfamiliar with Tetum-Terik words). Thirdly, enriching Tetum with specific words from non-Tetum languages is a decisive measure. And it is not impossible since East Timor is rich in language and culture, which are valuable resources for the development of Tetum as first official and national language. However, it would be difficult to materialise in a very short period of time. And fourthly, borrowing highly technical terms from Portuguese is a good and easy choice because Portuguese is quite rich in those terms that can borrowed forever, without thinking about returning them (it still happens). But, it is important to bear in mind that the more we borrow such terms, the more we make it difficult for people to distinguish the borrowings from the original ones. In the case of East Timor, it could create difficulties since Tetum (the borrowing language) and Portuguese (the constant lending language) are both used as official languages. Someone well-informed about this matter understands what difficulties people are facing. Therefore, it is important that experts should think about this borrowing issue and try to find a good solution. Another possible and could the best measure to enrich Tetum with new terms is integrating all the aforementioned measures by carefully considering their strengths and weaknesses.

Concluding this piece of writing, I would like to say that people usually say things better, clearer, and louder when they say them in the language they understand best. It would seem impossible to reach the other side of a river, if we try to do it by crossing a bridge, whose form we are not sure about. But sometimes, under certain circumstances, exceptions should be made. And in this case, it is normal for someone to suggest that since vox populi, vox Dei, let the parliamentarians express their opinions in Tetum (the most widely used language in the country) in favour of the people until the time they are fully ready to do it also in the other official language—Portuguese. Good luck!

Yogyakarta, 4th August 2010

Further readings:
http://easttimorlegal.blogspot.com/2010/07/jsmpuse-of-portuguese-language-makes-it.html

Monday, August 16, 2010

Mengenal Sosok Yoseph Gons Gou: Seniman NTT yang Tetap Hidup


Yoseph Gons Gou (14 Agustus 1941-16 Agustus 2008)

Oleh: YOHANES MANHITU*

BERBICARA tentang Yoseph Gons Gou tak lebih daripada merajut kata-kata polos tentang sebuah pribadi sederhana dengan gaya hidup ugahari namun penuh dengan daya magnet dan spirit berkesenian yang sangat tinggi. Magnet itu adalah kepribadiannya sendiri yang menjadi teladan dan meninggalkan kesan positif yang mendalam di sanubari setiap orang yang mengenalnya dari dekat, baik ia sebagai kerabat, guru atau pun sahabat. Sungguh ia adalah sosok yang setia dalam iman dan karya, serta sanggup memadukan dengan baik dua hal ini dalam suatu persenyawaan nyata dalam setiap gerak hidupnya sehari-hari. Walaupun kita berharap agar patah satu tumbuh seribu, sosok seperti seniman (perupa dan pematung) yang satu ini tampaknya masih langka di provinsi kepulauan kita. Spirit berkeseniannya yang begitu tinggi itu senantiasa dilandasi semboyan Latin “ora et labora” (berdoa dan bekerjalah)—kalimat yang sungguh ia terapkan dalam rutinnya. Seingat saya, berkat meditasinya yang teratur, ilham untuk karya-karya muncul begitu saja sehingga saya tidak pernah melihat dia melukis dengan sketsa apa pun di tangannya.

Menurut hemat saya, tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkan, ia adalah seniman kawakan dan andal yang pernah dimiliki NTT, yang telah tekun menghiasi bagian dalam dan tembok luar “kapela-kapela Sistina” kita di sudut-sudut Flobamora, khususnya di tiga keuskupan di Pulau Timor. Barangkali tidak banyak orang yang mengenal dia, tetapi itu tidak menjadi soal yang berarti, karena ia bukan sosok yang suka mencari-cari perhatian, apalagi pujian. Dan tulisan ini pun—yang dibuat dan dicantumkan di blog saya untuk memperingati dua tahun kepulangannya ke Rumah Bapa—sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengagung-agungkan dia, apalagi sampai mengkultuskannya. Ini semata-mata suatu bentuk penghormatan tulus dari saya atas jasa-jasanya bagi saya dan karya-karyanya sebagai seorang seniman. Cara inilah yang saya pikirkan tepat ketika mengetahui kepulangannya ke hadirat Sang Khalik. Jika ia masih hidup, saya tak yakin ia yang rendah hati itu akan serta merta mengizinkan saya menulis tentang dirinya. Apa pun tanggapan pembaca, pepatah berbunyi “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading”; karena itu, yang baik dari orang-orang yang telah mendahului kita patut dikenang dan dijadikan pelajaran yang berharga bagi kehidupan kita. Berikut ini adalah beberapa penggal kisah perjumpaan saya dengan sosok seniman kita: 

Cat yang Masih Basah di Telapak Tangan
Perjumpaan saya dengan sosok Yos Gons Gou terjadi pada suatu sore (kira-kira pada tahun 1993/1994) di dalam gereja Nossa Senhora do Rosario de Oecusse (sekarang masuk wilayah Timor-Leste) yang pada saat itu boleh dikatakan sudah rampung, kecuali lukisan Tritunggal Mahakudus di latar belakang altar, lukisan Perawan Suci dan Kanak-Kanak Yesus di bagian atas pintu masuk, patung Arnoldus Jansen (pendiri SVD) di halaman gereja, dan dua patung malaikat di sisi kiri dan kanan pintu masuk.

Beberapa orang telah bercerita tentang kehadiran pelukis dan pematung hebat yang sedang berkarya di gereja baru itu. Oleh karena itu, setelah mengambil serbuk gergaji (yang dipakai untuk memasak) di gereja pada sore itu, saya menyempatkan diri untuk masuk dan menyaksikan lukisan raksasa yang sedang dikerjakan di dekat altar gereja. Balok-balok dipasang dan disusun membentuk tangga dan panggung tempat seniman menggarap lukisan suci itu. Setelah termangu menyaksikan lukisan indah yang separo jadi itu, saya beranjak meninggalkan rungan gereja itu. Dan di salah satu sudut dekat pintu utama, tampak beberapa orang yang saya kenal sedang asyik bercerita dengan seorang tua yang tak miskin senyum. Ia laki-laki yang tinggi dengan rambut berombak yang menipis. Saya mendekati mereka dan memberi salam, lalu turut duduk bersila beralaskan selembar kardus di situ. Dalam hati, saya masih bertanya-tanya apakah benar laki-laki tua yang duduk bersila itu adalah sang seniman yang dimaksud.

Terdorong kuat oleh rasa ingin tahu, saya berusaha menemukan jawaban dengan bertanya kepada laki-laki tua itu. Tetapi dengan sabar, santun dan penuh senyum ia menjawab saya dengan sapaan ‘Pak’, bahwa ia sendiri pun ingin mengajukan pertanyaan yang sama. Saya (yang saat itu masih duduk di bangku SMA) berusaha menemukan petunjuk yang kiranya meyakinkan bahwa dialah sang seniman, pelukis karya suci itu. Untungnya saya melihat sisa cat basah di kedua belah tangannya. Menyaksikan hal tersebut, saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa ialah sang pelukis. Menanggapi kata-kata saya yang bernada kemenangan, ia secara singkat dan penuh senyum berkata, “Terima kasih, Pak sudah berusaha mencari dan telah menemukan jawaban”. Mulai saat itu hampir setiap hari kami bertemu karena saya sering menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyaksikan ia dan para asistennya bekerja. Dorongan untuk menyaksikan karya-karya lukis dan patungnya sangat kuat karena hingga di bangku kuliah saya masih melukis walaupun dengan cat air di atas kertas gambar. Dan sampai saat ini pun masih rajin menyaksikan pameran lukis. 

Bapak Rohani yang Sabar dan Akrab
Di samping talentanya sebagai seniman, Om Yos (sapaan akrab yang saya selalu untuknya) adalah seorang bapak rohani yang sabar dan akrab. Usia, asal-usul dan latar belakang agama, sosial dan pendidikan tidak pernah menjadi hambatan baginya untuk menyambut siapa pun yang datang ke penginapannya. Anak-anak, remaja dan orang tua akrab dengan dia. Orang-orang desa yang tidak pernah bersekolah pun dekat dengannya. Banyak orang desa di Lifau (desa di sebelah barat Oekusi) menghadiahinya anak anjing dan ayam karena kedekatan mereka dengannya. Ia adalah sosok seniman yang cepat menyatu dengan lingkungan hidupnya.

Bersama dengan Om Yos, topik-topik agama Katolik yang berat dan rumit bagi anak-anak dan orang desa menjadi mudah dicerna. Ia selalu menemukan cara yang sederhana untuk menjelaskan hal yang rumit. Menurut dia, tugas orang terdidik adalah membuat orang lain mengerti dengan cara yang mudah, tanpa harus mengurangi bobot pesan. Dan bukan sebaliknya, merasa senang bila orang bingung menerima pesan.

Dalam hal praktik iman, khusunya berdoa dan bekerja, ia sanggup memberi contoh nyata, bukan sekadar kata-kata tanpa realisasi. Jam-jam doa Katolik tak dilewatkannya. Pada pukul 12 siang, tepat dengan jam Angelus, ia akan segera menyimpan kuas dan palet atau alat ukir yang dipegangnya untuk berdoa. Hal yang sama diikuti para asistennya dan orang-orang yang berdiri di sekitar tempat ia bekerja. Pernah pada suatu siang yang panas, tepat pukul 12, kami bersama-sama berdoa Angelus di atas atas panggung kerja yang dibuat merapat dengan tembok gereja yang tinggi dekat altar, kira-kira hanya dua meter di bawah langit-langit gereja. Di samping itu, ia pun tidak jarang menerima kedatangan orang-orang yang meminta bantuan doanya. Mereka yang datang itu selalu diajaknya untuk berdoa dan membaca Alkitab bersama-sama di depan lilin-lilin besar dan kecil yang bernyala-nyala. Dan suatu yang selalu ditegaskannya adalah usaha harus selalu dilandasi doa. 

Membeli Gula di Ujung Jalan
Obrolan dengan Om Yos kadang penuh dengan teka-teki. Pada suatu siang, ketika saya mengunjunginya, ia meminta tolong agar saya membelikan gula. Lalu saya bertanya di mana harus membeli. Ia menjawab secara singkat dan jelas, “Di ujung jalan.” Mendengar jawaban aneh itu, saya bertanya-tanya mengapa harus di ujung jalan. Bukahkah jalan-jalan di kota itu bersambungan dan tak berujung? Saya berjalan kaki sekitar 500 meter dan membeli gula di salah satu kios di sana. Setelah saya kembali dan menyerahkan sebungkus gula pasir, Om Yos bertanya, di mana saya membeli gula itu. Dan saya menjawab, “Saya membeli gula itu di ujung jalan.” Ia hanya tersenyum sambil membuka bungkusan gula itu dan menuangkannya ke stoples, tempat gula yang lagi kosong. 

Sosok Motivator dan Ajaran Tenggang Rasa
Om Yos, sang seniman itu, adalah motivator yang hebat dan pribadi yang tenggang rasa. Ketika duduk di bangku kelas tiga SMA (1995), saya dan teman-teman saya tidak hanya dimotivasi oleh Om Yos untuk memperjuangkan cita-cita dengan rajin belajar tetapi juga didoakan dengan tulus agar kami lulus ujian Ebtanas tahun itu. Kemampuan bahasa Inggris dan Jermannya turut mendorong saya untuk kuliah di jurusan bahasa Inggris. Ia tetap pribadi yang rajin membaca walaupun sangat sibuk dengan kegiatan seni. Buku-buku bahasa Inggris dan Jerman masih menghiasi rak bukunya yang sederhana. Dialah yang pertama kali memperkenalkan doa-doa bahasa Inggris kepada saya. Saya kemudian memfotokopi buku kecilnya dan mulai dengan rajin menghapalkan doa-doa itu.

Suatu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi saya dari Om Yos tentang tenggang rasa adalah kebiasaan untuk tidak membunyikan musik atau radio keras-keras. Tentang hal ini ia pernah berkata, “Tidak semua musik yang menjadi kesukaan kita menjadi kesukaan orang lain juga. Biarlah, jika orang lain suka, maka dia akan meminta kita untuk membesarkan volumenya agar dia bisa ikut mendengarkan.” 

Penasihat Rohani bagi Seorang Mahasiswa
Selama masih duduk di bangku kuliah di Kupang, saya sering mengunjungi Om Yos di rumahnya yang sederhana di samping Kapela St. Andreas di Lasiana. Dia turut mendoakan saya untuk sukses menghadapi ujian skripsi. Tetapi kadang-kadang ia tidak berada di tempat karena mengerjakan proyek seni di tempat lain sehingga saya hanya mengobrol dengan dua orang keponakannya yang juga adalah seniman. Nasihat-nasihat Om Yos tentang tantangan hidup selalu menyegarkan pikiran saya. Jauh sebelum saya masuk kuliah, ia pernah menyatakan bahwa saya (sebagai anak sulung) adalah proyek perdana orang tua saya. Dan bila proyek perdana itu sukses maka ada kemungkinan sukses bagi proyek-proyek selanjutnya. Sungguh-sungguh sebuah tantangan bagi saya. 

Orang-Orang NTT Patut Menghargai Seniman dan Karya-Karyanya
Pada perjumpaan terakhir saya dengan Om Yos pada tahun 2006 di rumahnya, kami asyik berbicara tentang kehidupan seniman di NTT sambil menikmati kopi Flores dan makanan kecil bersama dengan keponakan-keponakannya. Karena tinggal di Yogyakarta dan sedikit tahu tentang tokoh-tokoh dan aktivitas para senimannya, saya mencoba menggunakan kehidupan para seniman (pelukis) di Yogyakarta sekadar sebagai referensi. Di ujung obrolan kami, tak ada yang dapat kami rumuskan dengan tepat selain suatu harapan. Itu saja! Om Yos sebagai seorang seniman yang karyanya tersebar luas dan menjadi monumen hidup di sejumlah tempat di Timor dengan tersenyum berharap agar setiap orang, khususnya orang NTT, menghargai seniman dan karya-karyanya. Pertemuan bersejarah itu menjadi riuh dengan suara tawa kami yang hadir di “pondok seniman” itu karena Om Yos bercerita dengan lucunya apalagi disertai dengan gerak-gerik yang sangat jenaka tentang kesalahan mengukir bagian tertentu pada tubuh wanita. Katanya, dari sudut pandang anatomis, tubuh seorang gadis tidak sama dengan tubuh seorang wanita yang telah menikah, apalagi yang telah melahirkan. Dengan cerita lucu itu, ia bermaksud untuk menegaskan betapa pentingnya pengetahuan anatomi bagi setiap pelukis dan pematung realis. Tanpa pengetahuan itu, seorang perupa ibarat tukang yang hendak membangun tanpa tahu betul bentuk dan struktur rumah yang dikerjakannya. 

Om Yos Telah Menghadap Sang Khalik
Setelah pertemuan kami di atas saya menerima telepon sekali dari Om Yos ketika saya sudah kembali ke Yogyakarta. Ia hanya ingin menanyakan kabar dan menyampaikan informasi bahwa foto yang diambil dengan kameranya pada pertemuan terakhir kami itu gagal. Sangat disayangkan! Saya baru tahu bahwa Om Yos telah tiada ketika saya berkunjung ke rumahnya di Lasiana pada medio Desember 2010. Suatu kehilangan besar tetapi apa boleh di kata, ia telah kembali dengan tenang kepada Sang Seniman Semesta—Sang Pelukis dan Pengukir Abadi.

Lalu siapakah sebenarya Yoseph Gons Gou, sang seniman NTT tersebut? 

Riwayat Hidup
Yoseph Gons Gou, seniman NTT yang sederhana namun penuh dedikasi kepada dunia seni rupa Kristen-Katolik ini, adalah anak ketiga (kembar dari enam bersaudara) dari pasangan Yoseph Doko dan Theresia To, lahir di Nanga, Flores, 14 Agustus 1941. Pendidikan dasar ditempuhnya di Wudu (1948-1955). Pada tahun 1956 ia masuk Sekolah Teknik (ST) Ndona dan tamat pada tahun 1959. Selanjutnya ia masuk biara Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah, SVD) St. Konradus Ndao dan menjadi bruder selama sebelas tahun (1960-1971). Pada akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari komunitas religius tersebut pada tahun 1971 dan melanjutkan ke STM di Surabaya.

Setelah menuntut ilmu di Pulau Jawa selama tiga tahun (1971-1974), ia pulang ke kampung halamannya di Nusa Nipa, Flores, dan ikut mencerdaskan anak bangsa di Seminari Toda-Belu Mataloko selama tiga tahun (1975-1978). Rencana hidup manusia memang dapat saja berubah dari waktu ke waktu. Pada tahun 1979 Om Yos, berhenti dari kegiatan mengajar dan selanjutnya membuka usaha mebel. Usaha tersebut digelutinya selama empat tahun (1979-1983). Berhubung usaha itu kurang berkembang, ia beralih ke usaha ukir yang ia jalani selama empat tahun (1984-1988) di Flores.

Pengalamannya dalam dunia ukir-mengukir memberinya keyakinan yang cukup untuk meninggalkan Flores dan menuju ke Timor, tepatnya Kota Kupang. Di Oepura, suatu bilangan di kota karang ini ia mulai merintis usaha ukir patung dari kayu cendana (Santalum album) dan pembuatan tasbih (rosario/kontas). Usaha tersebut ditekuninya selama tiga tahun (1989-1992). Dari tahun 1992 hingga saat kembali ke pangkuan Sang Khalik, ia bergerak di bidang seni rohani Katolik (mengukir, mematung, dan melukis figur-figur kudus) di tiga keuskupan di seluruh Pulau Timor: Dili, Atambua, dan Kupang. Yos Gons Gou yang pernah menjabat sekretaris desa (sekdes) Kelimado selama 10 tahun ini tutup usia pada tanggal 16 Agustus 2008 di RSUD Bajawa. Ia berpulang tanpa meninggalkan istri dan/atau anak karena ia tidak pernah menikah. Seperti Michaelangelo, ia meninggalkan karya-karyanya yang akan membuat namanya terus dikenang. 

Karya-Karyanya
Berhubung terbatasnya sumber dokumentasi, maka yang ditampilkan di sini hanya beberapa contoh karya Yos Gons Gou yang saya simpan dan yang dapat diperoleh di internet.
  • Patung St. Arnoldus Janssen, lukisan Tritunggal Mahakudus, dan lukisan Perawan Suci dan Kanak-Kanak Yesus di gereja Katolik Nossa Senhora do Rosario de Oecusse.
  • Perhentian Jalan Salib di Lifau, Oecusse-Ambeno.
  • Perhentian Jalan Salib di Bitauni, TTU.
Patung St. Arnoldus Janssen dan Lukisan Perawan Suci dan Kanak-Kanak Yesus karya Yoseph Gons Gou di bagian depan gereja Katolik Nossa Senhora do Rosario de Oecusse, Timor-Leste (Foto: Repro oleh penulis)

Patung dan Salib di Puncak Bukit Lifau, Ambeno, Timor-Leste (Foto: http://members.virtualtourist.com/m/pb/842)
 
Salah satu stasi Jalan Salib di Bitauni, TTU (Foto: Semi Anunu, Sumber: http://www.panoramio.com/photo/44816230)
-------------------------
* Penulis, penikmat seni rupa, pernah mengenal seniman (rohani) NTT, Yoseph Gons Gou (yang menjadi guru dan sahabat), mengagumi kepribadian dan karya-karyanya.