Friday, February 13, 2009

Kembang Prancis

Karya: Yohanes Manhitu

untuk Joanne d’Arc

sekuntum kembang Prancis,
seindah kota Paris termasyur,
tinggi semampai bak Eiffel-
menara yang menjulang tinggi.

dua bola matanya begitu cerah.
pancarkan cahaya yang abadi.
tubuhnya mulus, tak akrab noda,
bagai batu pualam yang termurni.

tak kuasa kedua mataku menatap
dalam redup lampu di tepi jalan.
andai bibirku ucapkan kalimat
yang undang gerak bibir indah.

walau ia kutemui dalam bayang
yang terlintas dalam tidur malam,
biarlah ia tetap huni sanubariku.
smoga waktu ijinkan kami bersua.

Kupang-Timor, 12 Februari 2004

Karena Salah Prosedur

Karya: Yohanes Manhitu

seorang siswa lulus berkat arus kuat bawa meja
seorang guru gemar sarankan judul buku wajib
seorang petani gagal menjual setumpuk gabah
seorang mahasiswa kritis diberi lampu merah
seorang dosen inovatif dicibir bibir orde uzur
seorang tukang becak harus berhenti mengayuh
seorang bayi menderita kekurangan susu bubuk
sepasang lumba-lumba mendadak mati keracunan
sekawanan kijang malang cari suaka di rimba lain
sekelompok nuri putuskan untuk mogok mengoceh
sekonvoi truk panjang menyusuri hujan bola merah
sekelompok hutan cendana wariskan simbol tropis
sekelompok penulis sedih lihat ritual balik nama
setumpuk pundi-pundi tangisi kepergian rohnya
seorang perawan ratapi seribu keelokan berlalu
sekelompok cendawan asap hiasi dusun membara
sepasang insan belia harus pilih merdeka atau mati
seorang tabib menyatakan sembuh tanpa diagnosis
segala hal di atas terjadi karena salah prosedur.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 16 Agustus 2004

Sebuah Kaus Kaki

Karya: Yohanes Manhitu

jauh di batang kaki bagai tonggak alam,
membelit kain berbentuk kantong lentur,
setia membentengi si tonggak dari debu,
patuh pada sang telapak kaki menapak.
ia terbelenggu di lorong tak berjendela.

keringat yang membasahi, kau kenal;
aroma tak sedap, mesti kau toleransi.
terkungkung dalam gulita itu takdirmu.
apakah dikau impikan alam kemerdekaan,
laksana sebuah negeri yang rindu kebebasan?

bertakdir seperti kaus kaki tak mudah, kawan;
berusaha menikmati nestapa itu tak menawan.
memang kadang manusia mesti kenal gulita,
agar ia dapat merindukan cahaya nan abadi,
yang tuntun ke alam penuh susu dan madu.

Baciro-Jogjakarta, 18 Agustus 2003

Penghulu Kata dan Makna

Karya: Yohanes Manhitu

untuk W.J.S. Poerwadarminta*
dan para leksikograf sejagat

Sesosok insan duduk bersila, diterangi sinar dian tua.
Usianya tak dapat kutaksir sebab itu bukanlah tujuan.
Tepat di hadapannya, terhampar setumpuk kertas tua.
Ia tak sedang mendalami silsilah usang keluarganya;
ia sedang asyik senaraikan kata-kata suatu bahasa— 

harta terlupakan dari sebuah negeri terlupakan.

Kutahu, ia sedang giring raganya menuju kabut.
Kusadar, ia tengah tuntun diannya kepada badai.
Tapi kulihat, tak ia rasakan badai takutku sendiri.
Akhirnya mesti kuhormati setumpuk kertas usang
dan tertegun tatap senarai panjang kata bermakna.


Bertahun kemudian, kami berjumpa lagi tanpa agenda
di emper toko buku favoritku; wajah remaja, tersenyum.
Di tangannya, tampak sebuah kitab berparas kaya sahaja.
Kuyakin, itulah buah pedih-perih di bawah sinar dian tua.
Kini ialah penghulu kata dan makna dalam kitabnya.
Kini ingin kuwarisi gulungan topan dalam dirinya.


Tuktuk, Samosir, Sumatra Utara, 30 Mei 2003
---------------
*Bapak perkamusan Indonesia