untuk W.J.S. Poerwadarminta*
dan para leksikograf sejagat
dan para leksikograf sejagat
Sesosok insan duduk bersila, diterangi sinar dian tua.
Usianya tak dapat kutaksir sebab itu bukanlah tujuan.
Tepat di hadapannya, terhampar setumpuk kertas tua.
Ia tak sedang mendalami silsilah usang keluarganya;
ia sedang asyik senaraikan kata-kata suatu bahasa—
harta terlupakan dari sebuah negeri terlupakan.
Kutahu, ia sedang giring raganya menuju kabut.
Kusadar, ia tengah tuntun diannya kepada badai.
Tapi kulihat, tak ia rasakan badai takutku sendiri.
Akhirnya mesti kuhormati setumpuk kertas usang
dan tertegun tatap senarai panjang kata bermakna.
Bertahun kemudian, kami berjumpa lagi tanpa agenda
di emper toko buku favoritku; wajah remaja, tersenyum.
Di tangannya, tampak sebuah kitab berparas kaya sahaja.
Kuyakin, itulah buah pedih-perih di bawah sinar dian tua.
Kini ialah penghulu kata dan makna dalam kitabnya.
Kini ingin kuwarisi gulungan topan dalam dirinya.
Tuktuk, Samosir, Sumatra Utara, 30 Mei 2003
*Bapak perkamusan Indonesia
No comments:
Post a Comment