Friday, February 25, 2011

Hasees kalix terus nian



Hosi: Yohanes Manhitu

Se ita soi kbiit atu bele dehan lae,
ita sei lakohi hemu hosi kalix,
be nakonu ho buat-moruk—
fafutuk mundu terus nian.

Se ita soi kbiit atu hatene nanis
buat ne’ebé hatatan moris,
ita sei prontu atu hasees
perigu no karik mate.

Maibé hanesan iha drama,
ita halimar tuir de’it senáriu
be autór prepara tiha ona.
Dala ruma ita la bele hili.

Se ema-kriatura bele si’ik
no komprende mistériu hotu
ho ninia neon be kloot tebes,
nia sei prontu atu salva moris.

Noemuti, fulan-Janeiru 2011
---------------------------------------

Menyingkirkan piala derita

Karya: Yohanes Manhitu

Andaikan kita kuasa mengatakan tidak,
kita tak ‘kan mau minum dari piala
yang penuh dengan kegetiran—
ikatan alam penderitaan.

Andaikan kita kuasa memperkirakan
hal yang mengancam kehidupan,
kita ‘kan siap ‘tuk menjauhkan
bahaya dan mungkin maut.

Tapi seperti dalam sebuah drama,
kita berperan hanya menurut skenario
yang telah disiapkan si pengarang.
Kadang kala kita tak bisa memilih.

Andaikan manusia bisa menebak
dan memahami segala misteri
dengan akalnya yang amat sempit,
ia ‘kan siap menyelamatkan hidup.

Friday, February 11, 2011

Domo de Amo (Rumah Cinta); de: Joko Pinurbo

Bildo: https://www.flickr.com

Mi venas en vi
en la alilanda domo kovrita
inter du montetoj,
kie la krepusko flagretas
en ĉielblua blirego.

Unu paro de pantalonoj flirtas
malantaŭe la fenestro:
Vidu, ni lernas esti felicaj.
Estas libro malfermita sur la tablo
kaj troviĝas tie la sekreta verso:
Esti malriĉa eble signifas katastrofon,
sed esti riĉa eble nur gracon.

Mi revenas en vi
al la halta domo ŝirmata
inter du kupoloj,
kie ŝi venas portanta vualon de luno,
netigas la malnetan korpon,
kaj diras: Por ke via dormo estu pli simpla.

Esperantigita de Yohanes Manhitu el 
la poemo titolita Rumah Cinta (2003)
Yogyakarta, la 8an de septembro 2007

IA PUN MENJADI MONUMEN



Por: Yohanes Manhitu

Di pegunungan dan di kolong langit
di mana kesunyian tak lagi asing,
masih ada peninggalan yang hidup
dan kita mengenang hari-hari silam.

Batu karang bisu dan tembok-tembok,
selama bulan dan tahun-tahun panjang,
mengabdi tanpa ragu sebagai saksi
untuk sebuah bukti seribu impian.

Baiklah, dahulu ia juga pemakaman
namun sekarang menjadi monumen
yang menandai sebuah jejak putra-putri
menuju ke suatu masa dengan seribu hasrat.

Apa yang bakal kita buat dengan kenangan
yang kita warisi dari orang-orang mati?
Apa artinya sekarang tempat-tempat
yang dahulu pun jadi pemakaman?

Di pegunungan dan di kolong langit
di mana udara masih memiliki ruang,
masih terdapat sisa-sisa peninggalan
dan terkenang hari-hari yang silam.

Yogyakarta, Indonesia, Mei 2010

--------------------------------------


TAMBIÉN ES MONUMENTO

Por: Yohanes Manhitu

En las serranías y bajo del cielo
donde el silencio no es extraño,
aún se encuentran restos vivos
y recordamos los días pasados.

Las rocas mudas y los muros,
durante meses y años largos,
sirven sin duda como testigos
de una prueba de mil sueños.   

Vale, también fue cementerio
pero hoy en día es monumento
que marca un paso de los hijos
hacia una época con mil deseos.

¿Qué haremos con los recuerdos
que nos quedaron los muertos?
¿Qué significan ahora los sitios
que fueron también cementerios?

En las serranías y bajo del cielo
donde el aire aún tiene espacio,
todavía se encuentran vestigios
y se recuerdan los días pasados.

Yogyakarta, Indonesia, mayo de 2010

--------------------------------------------
* Puisi dan terjemahannya dibuat berdasarkan lukisan José S. Carralero yang berjudul También es monumento dan terbit dalam antologi puisi 68 penyair dunia El Paisaje Prometido, diterbitkan di Salamanca, Spanyol, oleh Sociedad de Estudios Literarios y Humanisticos de Salamanca (SELIH) pada tahun 2010. ISBN: 978-84-95850-30-3.

GUERRERO, Un poema de Alfredo Pérez Alencart



GUERRERO

Por: Alfredo Pérez Alencart

Pareces
un león herido de vida
en una región
de pájaros furiosos:

sangre en la infancia
y ahora puñales
de envidia.

Te comprendo.
Tú y yo
no es que nos parezcamos;
es que somos iguales,

creyentes esperanzados
en que no resucite
la traición.

Por esa lid
esperamos el sueño.

--------------
PEJUANG

Kautampak seperti
seekor singa kehidupan yang terluka
dalam sebuah kawasan
burung-burung yang geram:

darah ketika kanak-kanak
dan kini belati-belati
keirihatian.

Kau kumengerti.
Kau dan aku
bukan lantaran kita mirip;
melainkan karena kita sama,

orang-orang percaya nan penuh harap
yang tak kenal kebangkitan
pengkhianatan.

Dengan pertempuran itu
kita mengharapkan impian.

(Noemuti, Indonesia, enero de 2011.
Traducción de Yohanes Manhitu)