Thursday, November 20, 2014

Keindahan Berdasarkan Karya Terjemahan


Ketika seseorang mengatakan bahwa puisi-puisi Khalil Gibran itu sangat indah setelah ia membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka penilaiannya semata-mata berdasarkan terjemahan ke bahasa Indonesia. Sebagai pembaca, terkadang kita tidak tahu karya itu diterjemahkan dari bahasa asli atau dari terjemahan lain. Tak perlu berprasangka buruk tentang kualitas terjemahannya. Kita apresiasi saja secara kritis. Seorang penerjemah yang sanggup dan berhasil membaca versi asli sebuah karya (dalam bahasa yang digunakan si penulis untuk menghasilkan karya tersebut) akan lebih terbantu. Cara lain yang tidak kalah baiknya adalah membandingkan terjemahan yang sudah dihasilkan itu dengan beberapa versi dalam bahasa-bahasa lain--bukan terjemahan orang lain dalam bahasa Indonesia--yang telah dibuat penerjemah lain langsung dari bahasa asli karya tersebut. (Yohanes Manhitu, Yogyakarta, 20 November 2014)

Monday, November 17, 2014

Di Balik Nama Polano Safarie Nagari, M.A., M.Pd.


Tersebutlah Polan, seorang perantau di luar negeri. Setelah sekian lama tinggal di sana, ia pun kembali ke tanah air. Dahulu, ketika berangkat, namanya Polan Safari dan cuma tamat SMP. Tetapi begitu kembali dari luar negeri, namanya cukup berubah dan ada embel-embel di belakang namanya itu, sehingga terbaca: Polano Safarie Nagari, M.A., M.Pd. 

Yang menjadi isu bin gosip di seantero desa dan bahkan hingga desa tetangga adalah ketika berada di luar negeri, si Polan melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi dan berhasil menyandang dua gelar magister sekaligus. Sungguh membanggakan! Warga dan aparat desa semakin penasaran tentang hal ini, apalagi setelah si Polan menuliskan namanya secara lengkap pada papan nama yang ditempelkan di bagian atas pintu rumah besar peninggalan orang tuanya. Hal ini cukup membingungkan petugas sensus kependudukan. Nah, pada suatu pertemuan bulanan di desa, kepala desa, atas nama warga desa, menanyakan hal itu secara langsung kepada si Polan. Setelah berbasa-basi, ia pun menjelaskan dengan santai bahwa ketika merantau di mancanegara, ia pernah ikut wajib militer dan juga bakti mengajar di sebuah daerah pelosok negeri itu. Karena telah berhenti, dia menganggap dirinya pensiunan. Dan untuk mengenang semua pengalaman berharga itu, status mantan peserta wamil disingkatnya menjadi M.A. (Mantan Angkatan [Perang]) dan status mantan pengajar sukarela disingkatnya menjadi M.Pd. (Mantan Pendidik). Lalu ada seorang sesepuh yang bertanya tentang perubahan namanya itu (dari Polan Safari ke Polano Safarie Nagari), ia menjawab secara singkat juga bahwa nama barunya itu menujukkan jiwa petualang tinggi serta lebih layak jual di era persaingan global ini. 

Akhirnya, misteri nama Polano Safarie Nagari, M.A., M.Pd. terjawab sudah.

Catatan: Kisah ini semata-mata karangan Yohanes Manhitu di Yogyakarta pada tanggal 13 November 2014...hahaha

Lembut bagaikan kelopak bunga


Dalam (bahasa) sastra, dari yang tua sekalipun, manusia melambangkan tubuhnya dengan meminjam isi alam sekitarnya. Pohon, bunga, bukit, ngarai, lembah, mayang, dan lain-lain digunakan untuk melambangkan berbagai sisi tubuh insani, terutama tubuh wanita. Di samping supaya menjadi indah secara sastrawi, tentu agar mudah dipahami, karena referensinya jelas. Walaupun ini bukan isu baru, tidak dapat disangkal bahwa ungkapan-ungkapan ini masih menjadi magnet. Terkadang rasanya lucu, karena walaupun belum pernah merasakan manisnya kelopak bunga (awas bunga yang beracun!), kepada wanita, seorang pria mungkin tidak ragu mengatakan atau menulis dalam sajaknya, "Bibirmu terasa lembut bagaikan kelopak bunga." (Yohanes Manhitu, 13 November 2014)

Jembatan komunikasi antargenerasi


Sedikit bicara tentang "bahasa arwah". Jangan merasa ngeri ya...hahaha. Sekalipun roh-roh di alam baka mungkin bisa berbahasa apa saja (mungkin semuanya hiperpoliglot), sampai saat ini, saya tetap merasa lebih nyaman menggunakan bahasa leluhur saya, bahasa Dawan (Uab Metô), ketika berdoa di makam. Dengan bahasa itulah saya bercakap-cakap dengan kakek-nenek ketika mereka masih hadir secara fisik. Bahasa daerah adalah jembatan komunikasi antargenerasi dahulu dan sekarang, dan semoga masih bisa menjadi penghubung pikiran dengan generasi yang akan datang. (Yohanes Manhitu, Yogyakarta, 13 November 2014)

Kaya akan kemiskinan


Ada orang yang kelihatan sangat miskin, tetapi sebenarnya kaya: kaya akan kemiskinan. Apakah kemiskinan harus disikapi sebagai kekayaan? Saya belum tahu dan tidak berharap saya miskin--cukup sampai taraf bersahaja. Apakah ini tidak lebih baik daripada kelihatan kaya raya, tetapi sebenarnya amat miskin, karena seluruh kekayaannya dari korupsi? Maaf, saya tidak sedang menghakimi, cuma berpikir tentang isu kaya-miskin. Yang pasti, orang-orang yang kaya secara jujur itu diberkati Sang Mahakaya. (Yohanes Manhitu, Yogyakarta, 13 November 2014)

Mau sampai kapan?


Sebuah pekerjaan walaupun tampak enteng, kalau tidak dikerjakan dengan tekun, teliti, dan penuh kesabaran, tidak akan pernah selesai, apalagi dengan hasil yang bagus. Terkadang orang menjadi eskapis dengan mencari-cari urusan yang mudah untuk menghindari pekerjaan yang terasa berat itu. Tetapi sekalipun berusaha menghindar, mau sampai kapan? Pekerjaan itu tetap setia menanti kok. Dan hanya pribadi itu saja yang bisa merampungkannya. (Yohanes Manhitu, 13 November 2014)

Jari dong tendes lancar, ma inga ko jaga badan

Foto: https://www.storyblocks.com

Baca ais di internet ni, beta rasa ke bulu badan badiri é. Sakarang ni kalo katóng pake Facebook sonde hati-hati te, sonde lama lai katóng pi sese diri di bui ko nasib son jadi doi. Yang pasti, katóng sonde bisa kasi sala ini barang. Di mana-mana sa, alat teknologi sonde sala--katóng manusia sa yang sonde jaga jari dong yang tendes kasi masok ini kata dong. Andia, kalo mau tulis, na pikir bae-bae dolu. Nanti repot kalo sonde kontrol emosi ko taro-taro sa. Ini yang orang biasa bilang, "Jari dong tendes lancar, ma inga ko jaga badan." (Yohanes Manhitu, Yogyakarta, 3 November 2014)

Wednesday, November 12, 2014

AU PARADIS DES RICHES

Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Amanjiwo_Borobudur_Resort

Par Yohanes Manhitu

Je ne savais pas quoi dire, ma bouche ne savait pas nombrer…..…
(Pablo Neruda, « La poesía »)
 

C’était presque après-midi lorsque notre l’autobus s’est arreté près d’un grand bâtiment rond, blanc et très beau. Ce bâtiment se trouve dans une grande jungle, presque encerclé par des collines vertes, comme des forts naturels protégant un vieux château. C’est un lieu de villégiature qui s’appelle Amanjiwo. Ce nom signifie l’âme en sécurité, pleine de tranquillité et de bonheur.

À vrai dire, j’y suis arrivé par hasard, je n’avais pas de plan pour y aller. C’est mon amie, Nusya, qui m’a invité. Par chance elle y accompagnait des touristes japonais, des femmes pour la plupart. Moi, j’étais là pour accompagner un professeur japonais de l’Univesité de Ryukoku, à Tokyo, Monsieur Siga Renzo, qui était le seul homme et le seul tourtiste qui parlait très bien l’anglais ainsi que le français pendant notre visite du Temple Borobudur et de Amanjiwo.

À propos, lorsque nous sommes descendus de l’autobus,  nous sommes allés à pied pendant 50 mètres environ, suivant une allé bordée de fleurs sur ses côtes pour arriver au bâtiment. Là-bas, exactement devant le bâtiment, nous sommes entrés en passant par un grand couloir. Les marches et les murs étaient blancs et gardés par certains réceptionnistes s’habillant en blanc. Ils nous ont acceilli en souriant. Tout à coup, j’ai entendu Monsieur Renzo a salué les réceptionnistes en italien.

«Buon giorno! Come sta?», dit-il.
«Buon giorno, Signore! Molto bene. Grazie!», dit un des réceptionnistes.
«Prego! Arrivederci!», répondit le professeur.

J’ai pensé que Monsieur Renzo était vraiment polyglotte. Il aime bien parler en mélangant des langues. Parfois, il parlait l’anglais en utilisant certains mots français, italiens, et parfois les autres. C’était amusant de lui parler.

Lorsque nous sommes entrés dans le grand restaurant de luxe, nous avons été  acceillis par six petites filles javanaises très jolies. Elles étaient en habit  traditionnel et se sont mise à genoux sur les deux côtes du couloir en nous lancant des fleurs avec de grands sourires, comme si nous étions d’une famille royale. À ce moment-là, j’ai pensé que j’était la seule personne sans un sou, mais c’était un bonheur imprévu et gratuit.

Tout le monde s’est assis autour d’une table luxueuse que je n’avais jamais vu avant, en regardant le panorama très pittoresque – le mur en marbre précieux, les sculptures magnifiques, et dehors, la nature avec sa beauté inoubliable. Nous nous sommes bien amusés. Le vent sufflait doucement et faisait bouger les roses rouges et blanches qui étaient fleuries. J’ai vu de jolies serveuses courtoises qui servaient les clients avec grand sourire.

Quand une d’entre elles est passée à côté de moi, j’ai bien utilisé le moment pour lui demander:

«Excusez-moi, Mademoiselle. Est-ce que je peux vous demander quelque chose?».
«Oui, Monsieur. S’il vous plaît», dit-elle.
«Est-ce que vous travaillez ici depuis longtemps?», demande-je.
«Oui, Monsieur. Je travaille ici depuis trois ans», répondit-elle.
«Merci. Vous avec de la chance de travailler dans ce bâtiment de luxe», félicite-je.
«Merci. J’aime bien travailler ici. Au revoir!», dit-elle en me laissant.
«Au revoir», dis-je en espérant qu’elle reviendrait.

De ce restaurant on peut voir le Temple Borobudur de loin. Il ressemble à un petit temple noir plastic qu’on peut trouver à Malioboro. Pour le voir clairement, certaines personnes ont utilisé les jumelles.

Tout de suite, un beau jeune serveur est arrivé à notre table et nous a demandé ce que nous voulions. Malheureusement, il ne parlait pas bien l’anglais. Par conséquent, Monsieur Renzo n’a pas bien compris. Alors, je les ai aidé à comprendre en traduisant l’indonésien en anglais, et vice versa. On a mis quelques minutes pour faire la réservation, parce que Monsieur Renzo a dû traduire tout ce que le serveur a dit en japonais pour les femmes japonaises. C’est-à-dire, on parlait l’indonésien, l’anglais, et le japonais.

À cause de cette difficulté, j’ai pensé à une langue mondiale que tout le monde comprend. Comme cela, il n’aurait plus de difficulté. J’espère que l’indonésien sera langue mondiale. Si c’est possible, je n’aurai plus besoin d’apprendre d’autres langues.

Je pense que c’est le plat du jour  que nous avions réservé. Nous avons mangé en bavardant et en discutant des choses. Le professeur japonais m’a reconté beaucoup de choses en rapport avec la culture japonaise, par exemple la vie éducative. Il y a eu une femme japonaise qui a essayé de parler l’indonésien avec moi. Mais, tout de suite, nous avons dû demander l’aide de Monsieur Renzo, parce que nous ne nous sommes plus compris. Elle ne parlait que le japonais.

Lorsque nous avons presque terminé de manger, mon amie, Nusya, est arrivée. J’étais sûr qu’elle était occupée finir toute les affaires en rapport avec l’excursion. Elle s’est assise et a bu quelque chose. J’ai oublié ce qu’elle a pris à ce moment-là, peut-être un jus d’orange.

Nous avons pris queques photos de nous-mêmes et aussi du panorama autour du bâtiment. C’est un serveur qui nous a aidé de prendre les photos. Après cela,
les femmes ont visité une boutique de luxe très chère dans le bâtiment. Je suis resté avec le professeur, en nous promenant devant le bâtiment où j’ai vu cinq vélo tout-terrains qui étaient gardés par un homme.

«Excusez-moi, Monsieur! Est-ce que ces vélos sont pour louer aux visiteurs?», demande-je.
«Non, Monsieur. Ce sont pour les visiteurs qui veulent faire du vélo. C’est gratuit», reponde-t-il.
«Vous pouvez essayer, si vous voulez», dit-il.
«Non, merci beaucoup. Je n’ai pas le temps», dis-je.

Lorsque les femmes sont revenues, j’ai vu qu’elles avaient acheté beaucoup de vêtements malgré le prix trés élevé. Pour moi, c’était presque incroyable et impossible d’acheter les vêtements comme cela dans une boutique aussi couteuse.

Cet après-midi-là, à deux heures environ, nous sommes sortis du «paradis des riches» en espérant que nous aurions le visité de nouveau un jour ou l’autre. Ca dépend du temps, mais, en realité, ca dépend plutôt  de l’argent.

Comme j’ai dit, ce n’est pas un endroit pour tout le monde, mais uniquement pour cuexqui sont riches. Dans l’autobus en route pour Yogya, mon amie m’a dit, en me donnant un reçu, que pour le repas chacun aurait dû payer 400 mil roupies. C’était vraiment incroyable pour moi, mais vrai. Il y a eu un femme japonaise qui avait payé le repas. J’ai eu de la chance d’avoir visité cet entroit avec les gentils riches.

Yogyakarta, le 4 avril 2002