Wednesday, August 1, 2012

Agar kau dan aku senapas




Oleh: Yohanes Manhitu

Aku bertekad menulis di bubungan awan
agar surga bisa susuri bukit dan ngarai sajakku
dengan sinar mentari pagi sebagai lenteranya.

Di sana, setiap bait sajakku yang menari-nari
dilumuri madu rimba perawan berahmat
dan diperciki wewangian padma eden
yang di matanya asing kelayuan.

Dan kemudian butir-butir kataku
‘kan kurangkai serupa kuntum melati dini
dan kukalungkan di lehermu, wahai kekasih,
yang telah serahim dengan pualam bumiku
agar kau dan aku senapas hirup udara firdaus.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 21 Agustus 2004

Nilai sehelai kehangatan



Oleh: Yohanes Manhitu

“Dingin...” bisik tubuhku yang diterpa dingin malam.
“Kubutuh kehangatan...” pinta kulitku yang menggigil.
Tapi kehangatan tak kunjung tiba hingga datang fajar.

Wahai dingin, mengapa kau siksa tubuh tak bersalah?
O kehangatan, kenapa kau enggan merangkul manja?
Mengapa pula kau biarkan malam lepas tak berbekas?

“Berapa harga sekilo kehangatan di toko antidingin?”
Tanya seorang pria kesal yang tersiksa dingin malam.
“Sekilo seharga satu ton cinta,” kata seorang pelayan.

Sang pria tutup seonggok dompet tak berisikan cinta.
Lalu pergi tinggalkan toko penuh sejuta kata kecewa.
“Kenapa kehangatan sangat mahal?” gerutu sang pria.

Wahai sang kehangatan, penebus sejati di kala dingin,
Jangan pernah kau biarkan tubuh kurus ini membeku!
Liputilah ragaku tanpa berhitung dolar ataupun rupiah!

Baciro-Yogyakarta, 25 Agustus 2003