Oleh Yohanes Manhitu *
BELAKANGAN ini istilah "kearifan lokal" (local wisdom) mengemuka dan cukup akrab di telinga masyarakat Indonesia. Bukan hanya di layar televisi, radio, melainkan juga dalam pidato dan bahkan dalam debat kusir di warung kopi kita mendengar istilah ini digunakan dengan bergairah, terlepas dari fakta apakah si pengguna benar-benar memahami makna di balik istilah keren tersebut. Tak dapat dipungkiri bahwa kadang-kadang muncul begitu banyak istilah ‘mutakhir’ yang digunakan dengan bangga tanpa peduli akan ketepatan maknanya, sesuai dengan konteks. Misalnya istilah "deportasi" dan "ekstradisi" yang seringkali digunakan secara serampangan. Tak kurang bijak bila acap kali, guna memastikan ketepatan arti kata yang digunakan dalam berkomunikasi, kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia yang telah dihasilkan dengan susah payah.
Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Pikiran Rakyat, 4 Oktober 2004). Misalnya ungkapan alon-alon waton kelakon (biar lambat asal tujuan tercapai) dalam budaya Jawa. Atau semboyan marsiadap ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak.
Kembali ke alam
Kearifan lokal boleh jadi merupakan salah satu wujud nyata slogan "kembali ke alam" (back to nature) yang sering didengungkan di mana-mana. Mengamati istilah ini secara lebih saksama, secara kritis kita juga boleh berasumsi bahwa jika ada ‘kearifan lokal’, maka mungkin juga ada ‘kearifan nasional’ dan ‘kearifan internasional’. Dan orang boleh dengan ironis bertanya mengapa justru di era globalisasi di mana dunia seakan-akan telah menjadi dusun global (global village) orang justru beramai-ramai kembali memperbincangkan hal-hal yang bercitra lokal. Apakah hal ini bukan suatu langkah mundur di era siber yang serba canggih ini? Apakah kaum cerdik pandai sudah jemu mengutak-atik konsep-konsep agung yang berlevel mondial? Atau apakah konsep-konsep tersebut sudah tidak sanggup lagi mengobati berbagai penyakit sosial zaman ini? Agaknya masih ada sebaris panjang pertanyaan yang dapat kita ajukan sehubungan dengan munculnya "kampanye" kearifan lokal yang cukup gencar akhir-akhir ini.
Sebagai masyarakat yang beradab tentu kita tahu bahwa kita memiliki kekayaan budaya, terlepas dari perbedaan istilah yang digunakan untuk menyebutnya. Mutiara-mutiara budaya itu berserakan dan tersebar luas dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dan terutama ditemukan dalam kosakata bahasa daerah/ibu. Setiap kelompok masyarakat memiliki cara yang khas dalam mengungkapkan kandungan kearifan lokalnya, yang mencerminkan cara pandangnya tentang dunia. Dalam kaitannya dengan hal ini, George Steiner, pakar sastra komparatif kampiun, menyatakan, "Chaque langue humaine constitue une expérience, une perception, une construction intégrales du monde" (terjemahan bebas dari bahasa Prancis, Setiap bahasa manusia merupakan suatu pengalaman, persepsi, dan konstruksi integral tentang dunia; Le Magazine littéraire, Juni 2006: 41).
Dalam bahasa Dawan (Uab Meto), untuk tidak menyebut seluruhnya, dikenal ungkapan tmeup onlê ate, tah onlê usif (bekerjalah kita seperti budak supaya makan seperti raja) yang penuh dengan ajakan tegas. Ungkapan yang senada mungkin juga dapat ditemukan dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia dan benua lain. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal peribahasa berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian yang kurang lebih sepadan dengan ungkapan bahasa Dawan di atas. Ungkapan-ungkapan yang pendek dan sederhana, karena bersifat lokal, sangat menyentuh bagi masyarakat penutur bahasa tersebut. Kita boleh berharap banyak bahwa dengan diangkatnya kembali bentuk-bentuk kearifan lokal yang demikian kita mulai bercermin pada realitas di lingkungan hidup kita selama ini dan terdorong untuk melakukan perubahan-perubahan yang konstruktif guna menghadapi tantangan global yang makin besar dan beragam.
Dengan berpegang teguh pada pesan ungkapan pendek di atas, misalnya, kita akan senantiasa sadar untuk tidak berperilaku instan dan harap gampang dalam mencapai sesuatu, baik kecil maupun besar. Ini berarti kita hanya layak memperoleh sesuatu bila kita sungguh-sungguh bekerja keras dan benar-benar pantas mendapatkannya. Tindak korupsi dan cara-cara tak jujur yang lain untuk memperoleh kekayaan instan seolah-olah hanya dengan berucap bim-sala-bim tentu saja tidak mencerminkan semangat ungkapan di atas. Dan dengan bekerja keras dan cerdas (bdk. dengan semangat kerja keras bangsa Jepang) kita dapat bersaing dan berjaya di era globalisasi yang penuh tuntutan mencemaskan.
Bersikap selektif dalam menerima nilai-nilai baru
Dewasa ini, dengan adanya arus informasi global yang sangat deras, terlalu banyak tawaran nilai yang datang dari segala penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Dan membangkitkan kembali kearifan lokal di setiap daerah di tanah air boleh jadi diartikan secara keliru sebagai gerakan membangun benteng yang tangguh guna menangkis serangan nilai-nilai asing yang merupakan produk globalisasi. Hal ini dapat menimbulkan sikap dan pendirian a priori yang mendorong kita untuk serta merta menolak segala bentuk pengaruh global, termasuk yang baik dan berguna bagi kemaslahatan bangsa dan negara kita. Sebagai solusi, kita perlu bersikap kompromistis, yaitu memandang promosi kearifan lokal dewasa ini sebagai upaya menciptakan saringan yang bagus bagi nilai-nilai asing tersebut. Dengan demikian, kita semua dituntut untuk bersikap semakin selektif dalam menanggapi kehadiran nilai-nilai impor dan bersama-sama terus-menerus memupuk kesadaran akan betapa pentingnya pelestarian dan kelestarian lingkungan hidup, tradisi setempat, dan berbagai kekayaan budaya yang tak boleh sampai ditelan arus deras globalisasi.
Disadari ataupun tidak, bersama-sama dengan berlaksa manusia di planet ini kita sedang berada dalam gerbong kereta waktu yang terasa berjalan makin cepat. Kita memang perlu berubah, namun jangan sampai atas nama perubahan itu sendiri kita menjadi subjek yang buta bagi wujud perubahan yang memudarkan jati diri kita. Yang kiranya layak untuk direnungkan bersama adalah mencari format yang adaptif bagi pelestarian kearifan lokal yang kita miliki sebagai kekayaan budaya. Dalam arti, kearifan lokal, bersama-sama dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut, harus bisa turut melandasi perubahan (yang positif) itu sendiri. Dengan kata lain, kearifan lokal turut menjadi landasan perubahan global, paling kurang di lingkungan kita sendiri. ‘Perkawinan’ unsur-unsur inilah yang akan memungkinkan kita untuk terus maju tanpa merasa berdosa secara budaya.
Mewaspadai paham-paham pada era globalisasi
Menurut hemat penulis ─ dalam kaitannya dengan kearifan lokal ─, kapitalisme, materialisme, dan individualisme adalah isme-isme yang paling gencar menyerang kehidupan manusia di era globalisasi (bukan gombalisasi!) ini. Kapitalisme melebarkan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Akibatnya, yang kaya makin kaya; yang miskin tambah miskin. Dan suatu bangsa besar yang berdaulat secara politis pun dapat bertekuk lutut kepada para pemodal raksasa tanpa mengindahkan nilai-nilai luhur bangsanya dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Materialisme pada gilirannya menyebabkan manusia terpacu untuk terus-menerus mengumpulkan materi dan menempatkannya di peringkat teratas dalam pencapaiannya dengan mengesampingkan nilai-nilai yang baik dalam masyarakat, misalnya kebiasaan hidup sederhana. Dan individualisme, yang sudah lama dikenal dan diterapkan di negara-negara Barat, pada era sekarang pengaruhnya sudah sangat terasa di negara kita, terutama di daerah perkotaan.
Pengaruh individualisme tersebut di atas masih jarang ditemukan di daerah-daerah yang masih menjunjung tinggi semangat berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Di Yogyakarta, misalnya, terbukti bahwa semangat gotong-royong ini masih cukup kuat karena setelah terjadinya musibah letusan Gunung Merapi dan gempa bumi, kehidupan masyarakat dapat kembali normal berkat kearifan lokal yang masih terpelihara. Kita berharap agar hal yang terpuji ini dapat ditemukan juga di seluruh persada nusantara.
Manifestasi berwajah baru
Munculnya isu kearifan lokal yang seiring dengan bergulirnya otonomi daerah (otoda) tentu tidak diharapkan untuk mengobarkan spirit sukuisme. Justru sebaliknya patut dipandang sebagai manifestasi berwajah baru dari kebinekaan kita. Tak dapat dipungkiri bahwa kita memiliki ketunggalikaan yang kokoh di samping kebinekaan yang kaya.
Di era otoda ini, ketika banyak pihak tengah sibuk mencari model pembangunan daerah yang representatif dan mengharapkan pemerintah lokal yang sanggup merangkul segala lapisan masyarakat dan bersama-sama memelihara kekayaan budaya dan sumberdaya alam, kearifan lokal dapat berfungsi sebagai salah satu sumber nilai-nilai yang luhur bagi maksud tersebut. Dengan kata lain, kearifan lokal bisa menjadi sumur yang tak kunjung kering di musim kemarau panjang nilai-nilai kebijaksanaan bagi perwujudan cita-cita pembangunan daerah yang seimbang, baik secara lahiriah maupun batiniah.
Penangkal konflik-konflik intern
Di samping berfungsi sebagai penyaring bagi nilai-nilai berasal dari luar, kearifan lokal dapat juga digunakan untuk meredam gejolak-gejolak yang bersifat intern. Misalnya konflik masyarakat yang sesuku atau antarsuku. Upaya promosi nilai-nilai luhur dalam kebudayaan tertentu secara formal akan menimbulkan apresiasi dan rasa bangga terhadap nilai-nilai tersebut. Dengan demikian akan timbul semangat yang kuat untuk menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semangat maun-alin (kakak-adik, bersaudara) yang cukup kental dalam masyarakat berbahasa Tetun, misalnya, bisa menjadi penangkal konflik intern (karena adanya rasa persaudaraan) hanya jika hal ini diarahkan untuk maksud positif dan tak ditunggangi kepentingan sepihak. Masih banyak ungkapan lain yang diharapkan dapat berfungsi efektif dalam mengantisipasi segala kemungkinan konflik intern. Ungkapan seperti nekaf mesê, ansaof mesê (sehati sejiwa) yang umum dikenal masyarakat penutur bahasa Dawan akan turut memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta terpeliharanya semangat gotong-royong jika jiwa barisan kata-kata indah ini dapat diejawantahkan dengan tepat dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesimpulannya, kearifan lokal yang digali, dipoles, dikemas dan dipelihara dengan baik bisa berfungsi sebagai alternatif pedoman hidup manusia Indonesia dewasa ini dan dapat digunakan untuk menyaring nilai-nilai baru/asing agar tidak bertentangan dengan kepribadian bangsa dan menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Sang Khalik, alam sekitar, dan sesamanya (tripita cipta karana). Dan sebagai bangsa yang besar pemilik dan pewaris sah kebudayaan yang adiluhung pula, bercermin pada kaca benggala kearifan para leluhur dapat menolong kita menemukan posisi yang kokoh di arena global ini.
.
* Penulis, alumnus Undana, tinggal di Yogyakarta
terima kasih, tulisannya sangat membantu, selanjutnya saya harap ada pembahasan lebih rinci mengenai kearifan lokal, atau jika Anda berkenan..mohon berikan rujukan/referensi mengenai kearifan lokal..
ReplyDeleteSukses selalu.
Tulisan yang menarik
ReplyDeleteMantap bung John...Terima kasih utk tulisannya.
ReplyDelete