Tuesday, May 26, 2009

Ocean of Words

Picture: http://images.auctionworks.com

To A.A. Johanna

I have begun a long journey 
to the ocean of words, 
where from Monday to Sunday 
phrases come and go like boats.  

The sharp bends in the road 
are but a rainbow-like path 
leading to a broad-based world, 
where the mind is free from death. 

And in the ocean of words 
all languages are boats. 
If we want an easy sailing, 
never stop our boatbuilding! 

A poem by Yohanes Manhitu 
Yogyakarta, 16 May 2009

The World is Like a Rainbow

Author: Yohanes Manhitu

“Everybody speaks English!”
I don’t know whether it’s a wish
or simply a sudden guess
before a long journey by bus.
Even in a global village proclaimed,
the world is still colourful indeed.
And everyone has his tongue
giving him words to sing.
Yours is English; mine, Indonesian.
Hers is Chinese; his, Galician.
But words alone cannot prove
that we all can live with love.
Yogyakarta, 15 April 2009
----------------------------

Mundu ne’e Hanesan Baur

Autór: Yohanes Manhitu

“Ema hotu-hotu ko’alia inglés!”
Ha’u la hatene se ne’e hakarak
ka sasi’ik be sai tekitekir de’it
molok viajen naruk ho autokarru.
Maski iha kanua globál be haklaken mós,
mundu sei soi hela kór oioin tebetebes.
No ema ida-idak ho ninia lian rasik
be fó ba nia liafuan hodi hananu.
Ó-nian, inglés; ha’u-nian, indonéziu.
Feto ne’ebá nian, xinés; mane nian, gallegu.
Maibé liafuan sira mesak la bele prova
katak ita hotu-hotu bele moris ho dame.
Yogyakarta, Indonézia, 15 Abríl 2009
Tradusaun ba inglés hosi autór rasik
--------------------------------------
*) Tetum (lia-tetun) is the first national and official language of the Democratic Republic of Timor-Leste (East Timor🇹🇱).

Tuesday, April 28, 2009

Tiga Buah E-Mail Pribadi

Karya: Yohanes Manhitu

kemarin kusinggah di tengah belantara maya,
hendak menengok ke pusat terowongan jagat.
kuketuk ikon gerbang belantara, bersemangat;
kubuka kotak beritaku bagai singa lepas puasa.

senarai pesan terpampang di hadapanku, penuh;
pesan demi pesan kutatap penuh harapan pasti.
hanya tiga e-mail pribadi yang undang tanyaku.
kutahu ketiganya lanjutan dari jalinan dua hati.

tak ingin kulewatkan satu kata pun dari tiap bait,
karena kutahu setiap kata adalah getaran nurani.
kutahu pula, tiap bait syair menetes dari sukma.
kukecap tetesan sukmanya dari bait-bait teratur.

sanubariku tersenyum menyelami sanubarinya,
walau hanya lewat urutan kata-kata bersahaja;
sanubariku puas menyelam dalam arus kiasan.
ia sepertinya tlah jadi sahabat aroma sang rosa.

tak ingin kubiarkan ketiga e-mail itu membeku;
tak ingin jua kulepas mereka diseret badai maya.
mereka kuslamatkan dalam benteng sang floppy.
kubawa, kubaca, dan kurenungkan di sisi danau.

Tuktuk-Samosir, 29 Mei 2003

Akronim Mawar

Karya: Yohanes Manhitu

Stat rosa pristina nomine,
nomina nuda tenemus.

kini kuurai sekuntum kata mawar
di relung langit hati berkabut rindu
jadi lima butir kata dari rahim mawar
yang tuntun ke oase kawanan mimpiku
yang tiap detik dirundung lahar dahaga.

tiap butir aksara mawar kulumuri makna
agar jelas di mata, juga nyaring di telinga.
kuingin tiap butirnya senantiasa bersemi
di antara onak dan duri seribu keraguan,
kuingin tiap butirnya rangkul keabadian
di antariksa kata-kata yang rindu dian.

m............................
a...............................
w.................................
a....................................
r......................................
.
kini…

mahadewi yang harus kurangkul
angan perawan yang mesti kuraih
wujud yang ingin kuajak bercumbu
alegro yang buat hidup semakin hidup
roman yang awet dalam kulkas nurani.

kau, mawar penawar, ini hati terhampar.
kau tak kularang untuk marah karenanya
kau tak kucegah untuk menertawainya
kau tak kudesak untuk memungutnya
kau tak kudaulat untuk mengaguminya.
kau, semoga selami lautan mawar hatiku.


Jatiwaringin-Jakarta Timur
19 April 2003

Kau Monalisaku


Karya: Yohanes Manhitu

senyummu tak semisterius senyum Monalisa-
buah tangan da Vinci yang pikat sejuta batin-
karena sering kuberhasil tebak arti senyummu.
kau Monalisa, bukan karena misterius senyummu,
tapi karena jiwa ragamu ‘kan kekal abadi bersamaku.

tak sengaja kuciptakan satu kekekalan tak bakal kekal,
seperti da Vinci yang sengaja bangun monumen kekal
yang dihiasi senyum simpul misterius Sang Monalisa.
kuhanya dambakan sesimpul cinta yang bakal kekal.
monalisaku tidak harus monalisa misterius da Vinci.

monalisaku, tak pernah kuciptakan helai rambutmu
tak pernah pula kucoba ukir senyummu yang abadi.
semoga kau miliki kesetiaan Sang Bunda La Pièta,
semoga hatimu seputih kapas Mahadma Gandhi;
dan cintamu setulus pengembara dari Samaria.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 10 Mei 2004

Recuerdos Vivos


Por: Yohanes Manhitu

Quedan en mi recuerdos vivos
Como una imajen en el espejo
Y los guardo con tanto cuidado
¡Que el tiempo no vaya a borrar!

Todas las mañanas en el mundo
Pasan aún nuevas horas largas
Pero estos recuerdos todavía
Están vivos y tú estás en mi

Mañana es aún un misterio
¡Que el sol nos vaya a saludar!
Tú seguirás viviendo en mi
Aunque no llegue el sol

Yogyakarta, 28 de marzo de 2009

=============
Kenangan yang Hidup

Oleh: Yohanes Manhitu

Tersisa dalam diriku kenangan yang hidup
Bagai sebentuk gambar di cermin
Dan kupelihara dengan amat hati-hati
Semoga tak lekang oleh sang waktu!

Saban pagi di dunia ini
Masih berlalu jam-jam baru yang panjang
Namun segala kenangan ini masih
Tetap hidup dan kau di dalam aku

Esok masih sebuah misteri
Semoga sang surya menyapa kita!
Kau ‘kan terus hidup di dalam aku
Meski sang surya tak kunjung tiba

Yogyakarta, 28 Maret 2009


Monday, March 23, 2009

Antaŭ ol la Maro Renkontas la Ĉielon (Sebelum Laut Bertemu Langit); de/oleh: Eka Budianta

Bildo/gambar: www.vecteezy.com

de Eka Budianta*

Unu kelonio reiras al la maro
post kiam ĝi metis ovojn sur la marbordo.
Ĉi-nokte mi enterigas la granojn
de mia poemo sur la bordo de via koro
baldaŭ mi reiros al la maro.

Mia poemo – la ovoj de tiu kelonio –
eble baldaŭ elkoviĝos 
kaj estiĝos bravaj kelonidoj,
naĝontaj ĝis mil mejloj da distanco.
Eblas ke ili mortos,
rompiĝitaj, aŭ nur piedpremitaj.

Supoze, ke unu ovo de kelonio
elkoviĝas sur la bordo de via koro,
mia kelonido ankaŭ reiros al la maro
kiel poeto reironta al la fonto de la suno
tra vilaĝoj kaj urboj, tra montoj kaj arbaroj, 
kiuj lian aĝon konsumas.

Se la ondoj min rebonvenigas,
mi nomos vin marbordo amata
kie mi plantis tiujn ĉi vortojn,
kiuj pasintece min naskis,
en la antaŭaj generacioj.

Estas prave, ke iam tiu kelonio
neniam revenos al la marbordo
ĉar ĝi ne povos daŭrigi meti ovojn.
Ĝi nur povos naĝi kaj plonĝi
en la maron por renkonti la ĉielon
je la horizonto eterna.

Esperantigis Yohanes Manhitu
Yogyakarta, la 31an de aŭgusto 2007
---------------------------------------

Sebelum Laut Bertemu Langit

Oleh: Eka Budianta

Seekor penyu pulang ke laut
Setelah meletakkan telurnya di pantai
Malam ini kubenamkan butir-butir
Puisiku di pantai hatimu
Sebentar lagi aku akan balik ke laut.

Puisiku - telur-telur penyu itu-
mungkin bakal menetas
menjadi tukik-tukik perkasa
yang berenang beribu mil jauhnya
Mungkin juga mati
Pecah, terinjak begitu saja

Misalnya sebutir telur penyu
menetas di pantai hatimu
tukik kecilku juga kembali ke laut
Seperti penyair mudik ke sumber matahari
melalui desa dan kota, gunung dan hutan
yang menghabiskan usianya

Kalau ombak menyambutku kembali
Akan kusebut namamu pantai kasih
Tempat kutanamkan kata-kata
yang dulu melahirkan aku
bergenerasi yang lalu

Betul, suatu hari penyu itu
tak pernah datang lagi ke pantai
sebab ia tak bisa lagi bertelur
Ia hanya berenang dan menyelam
menuju laut bertemu langit
di cakrawala abadi

Jakarta, 2003
---------------
*) Eka Budianta (plena nomo: Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo, naskiĝis en Ngimbang, Orienta Javo, Indonezio, en 1956) estas konata indonezia poeto kaj verkisto. Legu pli pri li ĉe Wikipedia en la indonezia aŭ la angla.

Vane (Sia-sia)


De Chairil Anwar

Tiun ĉi lastan fojon vi venis
alporti al mi florojn en bukedo
ruĝajn rozojn kaj blankajn jasmenojn
sangon kaj purecon.
Vi ilin disĵetis autaŭ mi

kun certiga rigardo: je estas por vi
Poste ni ambaŭ estiĝis pensemaj.
Ni demandis unu la alian: kio estas ĉi tio?
Amo? Nek vi nek mi komprenis.

Kune unu tagon sen alproksimiĝis unu la alian.

Ho! Mia, koro, kiu ne volis doni.
Vi al inferno, ŝirata de la soleco.

Februaro, 1943a

Esperantigis Yohanes Manhitu,
la 30-an de Aŭgusto, 2007a

===<>===

Sia-sia

Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suciKau tebarkan padaku

Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termanguSaling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak hampir menghampiri

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.


(Februari 1943)

========================

Chairil Anwar, naskiĝis en Medan, Norda Sumatra, la 26an Julio, 1922a kaj fospasis en Ĝajarta, la 28an de Aprilo, 1949a. Kune kun Asrul Sani kaj Rivai Apin, ili estas konsiderata kiel pioniroj de la generacio 45 de poezio. En 1946 Charil kreis medion nomita Gelanggang Seniman Merdeka Medio de la Artistoj Sendependaj). Antologioj eldotitaj: Kerikil Tajam dan Yang Terhempas (Akraj kaj diĵetaj Gruzoj, 1949) kaj Yang Terputus (La Spasma), Deru Campur Debu (Sono Miskiĝas kun Polvo, 1949), Tiga Menguak Takdir (Tri Malkaŝas Sorton, 1950, kune kun Asrul Sani kaj Rivai Apin), Aku Ini Binatang Jalang (Mi Estas Sovaĝa Besto, 1986), Derai-Derai Cemara (Sonoj de Casuarino, 1998). Lia tradukaj verkoj estas Pulanglah Dia Si Anak Hilang (La Reveno de la Perdiĝa Knabo, 1948, de Andre Gide), Kena Gempur (Esti Atakita, 1951, John Steinbeck).

Tuesday, March 3, 2009

Sisa-Sisa Kenangan


Oleh: Yohanes Manhitu

Di sana, di hamparan rumput hijau,
aku terpana menatap bangunan –
saksi bisu derap langkah manusia
yang konon makan dan tidur saja.

Di Laran, selepas hujan mengguyur
pada suatu sore dalam tanda tanya
kucari dan akhirnya menemukan
kesahajaan yang sarat daya pikat.

Tak satu pun prasasti Batu Rosetta
yang kisahkan dirinya dan para loro.
Namun semuanya telah terpatri kuat
Dalam catatan rapi pemburu kisah.

Pugeran Timur-Jogja, 2 Maret 2008

Bayang-Bayangmu Semata


Oleh: Yohanes Manhitu

Masih tampak bayang-bayangmu
yang makin nakal menyelimutiku
dalam langkah-langkah kecilku
menapaki jalan-jalan tanpamu.

Waktu, waktulah yang penuh daya
menuntunku ke arah titik di sana,
ke tujuan yang kutahu tak maya.
Dan aku tak tahu kini kau di mana.

Aku ini bukanlah seorang pembunuh.
Maka tak tega kubakar dengan suluh
tubuh bayang-bayangmu dalam gelap.
Tak ingin yang tak bertubuh kutangkap.


Pugeran Timur-Jogja, 2 Maret 2008

Friday, February 13, 2009

Kembang Prancis

Karya: Yohanes Manhitu

untuk Joanne d’Arc

sekuntum kembang Prancis,
seindah kota Paris termasyur,
tinggi semampai bak Eiffel-
menara yang menjulang tinggi.

dua bola matanya begitu cerah.
pancarkan cahaya yang abadi.
tubuhnya mulus, tak akrab noda,
bagai batu pualam yang termurni.

tak kuasa kedua mataku menatap
dalam redup lampu di tepi jalan.
andai bibirku ucapkan kalimat
yang undang gerak bibir indah.

walau ia kutemui dalam bayang
yang terlintas dalam tidur malam,
biarlah ia tetap huni sanubariku.
smoga waktu ijinkan kami bersua.

Kupang-Timor, 12 Februari 2004

Karena Salah Prosedur

Karya: Yohanes Manhitu

seorang siswa lulus berkat arus kuat bawa meja
seorang guru gemar sarankan judul buku wajib
seorang petani gagal menjual setumpuk gabah
seorang mahasiswa kritis diberi lampu merah
seorang dosen inovatif dicibir bibir orde uzur
seorang tukang becak harus berhenti mengayuh
seorang bayi menderita kekurangan susu bubuk
sepasang lumba-lumba mendadak mati keracunan
sekawanan kijang malang cari suaka di rimba lain
sekelompok nuri putuskan untuk mogok mengoceh
sekonvoi truk panjang menyusuri hujan bola merah
sekelompok hutan cendana wariskan simbol tropis
sekelompok penulis sedih lihat ritual balik nama
setumpuk pundi-pundi tangisi kepergian rohnya
seorang perawan ratapi seribu keelokan berlalu
sekelompok cendawan asap hiasi dusun membara
sepasang insan belia harus pilih merdeka atau mati
seorang tabib menyatakan sembuh tanpa diagnosis
segala hal di atas terjadi karena salah prosedur.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 16 Agustus 2004

Sebuah Kaus Kaki

Karya: Yohanes Manhitu

jauh di batang kaki bagai tonggak alam,
membelit kain berbentuk kantong lentur,
setia membentengi si tonggak dari debu,
patuh pada sang telapak kaki menapak.
ia terbelenggu di lorong tak berjendela.

keringat yang membasahi, kau kenal;
aroma tak sedap, mesti kau toleransi.
terkungkung dalam gulita itu takdirmu.
apakah dikau impikan alam kemerdekaan,
laksana sebuah negeri yang rindu kebebasan?

bertakdir seperti kaus kaki tak mudah, kawan;
berusaha menikmati nestapa itu tak menawan.
memang kadang manusia mesti kenal gulita,
agar ia dapat merindukan cahaya nan abadi,
yang tuntun ke alam penuh susu dan madu.

Baciro-Jogjakarta, 18 Agustus 2003

Penghulu Kata dan Makna

Karya: Yohanes Manhitu

untuk W.J.S. Poerwadarminta*
dan para leksikograf sejagat

Sesosok insan duduk bersila, diterangi sinar dian tua.
Usianya tak dapat kutaksir sebab itu bukanlah tujuan.
Tepat di hadapannya, terhampar setumpuk kertas tua.
Ia tak sedang mendalami silsilah usang keluarganya;
ia sedang asyik senaraikan kata-kata suatu bahasa— 

harta terlupakan dari sebuah negeri terlupakan.

Kutahu, ia sedang giring raganya menuju kabut.
Kusadar, ia tengah tuntun diannya kepada badai.
Tapi kulihat, tak ia rasakan badai takutku sendiri.
Akhirnya mesti kuhormati setumpuk kertas usang
dan tertegun tatap senarai panjang kata bermakna.


Bertahun kemudian, kami berjumpa lagi tanpa agenda
di emper toko buku favoritku; wajah remaja, tersenyum.
Di tangannya, tampak sebuah kitab berparas kaya sahaja.
Kuyakin, itulah buah pedih-perih di bawah sinar dian tua.
Kini ialah penghulu kata dan makna dalam kitabnya.
Kini ingin kuwarisi gulungan topan dalam dirinya.


Tuktuk, Samosir, Sumatra Utara, 30 Mei 2003
---------------
*Bapak perkamusan Indonesia