Tuesday, March 3, 2009

Sisa-Sisa Kenangan


Oleh: Yohanes Manhitu

Di sana, di hamparan rumput hijau,
aku terpana menatap bangunan –
saksi bisu derap langkah manusia
yang konon makan dan tidur saja.

Di Laran, selepas hujan mengguyur
pada suatu sore dalam tanda tanya
kucari dan akhirnya menemukan
kesahajaan yang sarat daya pikat.

Tak satu pun prasasti Batu Rosetta
yang kisahkan dirinya dan para loro.
Namun semuanya telah terpatri kuat
Dalam catatan rapi pemburu kisah.

Pugeran Timur-Jogja, 2 Maret 2008

Bayang-Bayangmu Semata


Oleh: Yohanes Manhitu

Masih tampak bayang-bayangmu
yang makin nakal menyelimutiku
dalam langkah-langkah kecilku
menapaki jalan-jalan tanpamu.

Waktu, waktulah yang penuh daya
menuntunku ke arah titik di sana,
ke tujuan yang kutahu tak maya.
Dan aku tak tahu kini kau di mana.

Aku ini bukanlah seorang pembunuh.
Maka tak tega kubakar dengan suluh
tubuh bayang-bayangmu dalam gelap.
Tak ingin yang tak bertubuh kutangkap.


Pugeran Timur-Jogja, 2 Maret 2008

Friday, February 13, 2009

Kembang Prancis

Karya: Yohanes Manhitu

untuk Joanne d’Arc

sekuntum kembang Prancis,
seindah kota Paris termasyur,
tinggi semampai bak Eiffel-
menara yang menjulang tinggi.

dua bola matanya begitu cerah.
pancarkan cahaya yang abadi.
tubuhnya mulus, tak akrab noda,
bagai batu pualam yang termurni.

tak kuasa kedua mataku menatap
dalam redup lampu di tepi jalan.
andai bibirku ucapkan kalimat
yang undang gerak bibir indah.

walau ia kutemui dalam bayang
yang terlintas dalam tidur malam,
biarlah ia tetap huni sanubariku.
smoga waktu ijinkan kami bersua.

Kupang-Timor, 12 Februari 2004

Karena Salah Prosedur

Karya: Yohanes Manhitu

seorang siswa lulus berkat arus kuat bawa meja
seorang guru gemar sarankan judul buku wajib
seorang petani gagal menjual setumpuk gabah
seorang mahasiswa kritis diberi lampu merah
seorang dosen inovatif dicibir bibir orde uzur
seorang tukang becak harus berhenti mengayuh
seorang bayi menderita kekurangan susu bubuk
sepasang lumba-lumba mendadak mati keracunan
sekawanan kijang malang cari suaka di rimba lain
sekelompok nuri putuskan untuk mogok mengoceh
sekonvoi truk panjang menyusuri hujan bola merah
sekelompok hutan cendana wariskan simbol tropis
sekelompok penulis sedih lihat ritual balik nama
setumpuk pundi-pundi tangisi kepergian rohnya
seorang perawan ratapi seribu keelokan berlalu
sekelompok cendawan asap hiasi dusun membara
sepasang insan belia harus pilih merdeka atau mati
seorang tabib menyatakan sembuh tanpa diagnosis
segala hal di atas terjadi karena salah prosedur.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 16 Agustus 2004

Sebuah Kaus Kaki

Karya: Yohanes Manhitu

jauh di batang kaki bagai tonggak alam,
membelit kain berbentuk kantong lentur,
setia membentengi si tonggak dari debu,
patuh pada sang telapak kaki menapak.
ia terbelenggu di lorong tak berjendela.

keringat yang membasahi, kau kenal;
aroma tak sedap, mesti kau toleransi.
terkungkung dalam gulita itu takdirmu.
apakah dikau impikan alam kemerdekaan,
laksana sebuah negeri yang rindu kebebasan?

bertakdir seperti kaus kaki tak mudah, kawan;
berusaha menikmati nestapa itu tak menawan.
memang kadang manusia mesti kenal gulita,
agar ia dapat merindukan cahaya nan abadi,
yang tuntun ke alam penuh susu dan madu.

Baciro-Jogjakarta, 18 Agustus 2003

Penghulu Kata dan Makna

Karya: Yohanes Manhitu

untuk W.J.S. Poerwadarminta*
dan para leksikograf sejagat

Sesosok insan duduk bersila, diterangi sinar dian tua.
Usianya tak dapat kutaksir sebab itu bukanlah tujuan.
Tepat di hadapannya, terhampar setumpuk kertas tua.
Ia tak sedang mendalami silsilah usang keluarganya;
ia sedang asyik senaraikan kata-kata suatu bahasa— 

harta terlupakan dari sebuah negeri terlupakan.

Kutahu, ia sedang giring raganya menuju kabut.
Kusadar, ia tengah tuntun diannya kepada badai.
Tapi kulihat, tak ia rasakan badai takutku sendiri.
Akhirnya mesti kuhormati setumpuk kertas usang
dan tertegun tatap senarai panjang kata bermakna.


Bertahun kemudian, kami berjumpa lagi tanpa agenda
di emper toko buku favoritku; wajah remaja, tersenyum.
Di tangannya, tampak sebuah kitab berparas kaya sahaja.
Kuyakin, itulah buah pedih-perih di bawah sinar dian tua.
Kini ialah penghulu kata dan makna dalam kitabnya.
Kini ingin kuwarisi gulungan topan dalam dirinya.


Tuktuk, Samosir, Sumatra Utara, 30 Mei 2003
---------------
*Bapak perkamusan Indonesia

Saturday, January 31, 2009

Harapan (La Espero)

Foto berasal dari situs ini.
.
Harapan

Oleh: Dr. L.L. Zamenhof

Telah datang ke dunia sebuah perasaan baru,
Bergema seruan ke segala penjuru bumi;
Dengan sayap-sayap angin sepoi-sepoi
Kini biarlah ia terbang dari tempat ke tempat.

Tidak kepada pedang yang haus darah
Ia menyeret keluarga manusia:
Kepada dunia yang senantiasa bertikai
Ia menjanjikan kerukunan yang suci.

Di bawah panji pengharapan yang suci
Berhimpun para serdadu perdamaian,
Dan lekas bertumbuh gerakan ini
Melalui karya orang-orang yang berharap.

Berdiri tangguh tembok-tembok seribu tahun
Di antara para bangsa yang bercerai-berai;
Tapi perintang-perintang keras itu ‘kan runtuh,
Hancur lebur karena cinta yang suci.

Dengan landasan bahasa yang netral,
Saling memahami satu sama lain,
Segala bangsa ‘kan seia-sekata membentuk
Sebuah rumpun keluarga besar.

Perhimpunan kita yang tak kenal lelah
Akan pantang mundur dalam karya damai,
Hingga impian indah umat manusia itu
Terwujud untuk berkat yang abadi.


Indonezia traduko: Yohanes Manhitu

==========================

La Espero

De: Doktoro L. L. Zamenhof

En la mondon venis nova sento,
Tra la mondo iras forta voko;
Per flugiloj de facila vento
Nun de loko flugu ĝi al loko.

Ne al glavo sangon soifanta
Ĝi la homan tiras familion:
Al la mond' eterne militanta
Ĝi promesas sanktan harmonion.

Sub la sankta signo de l' espero
Kolektiĝas pacaj batalantoj,
Kaj rapide kreskas la afero
Per laboro de la esperantoj.

Forte staras muroj de miljaroj
Inter la popoloj dividitaj;
Sed dissaltos la obstinaj baroj,
Per la sankta amo disbatitaj.

Sur neŭtrala lingva fundamento,
Komprenante unu la alian,
La popoloj faros en konsento
Unu grandan rondon familian.

Nia diligenta kolegaro
En laboro paca ne laciĝos,
Ĝis la bela sonĝo de l' homaro
Por eterna ben' efektiviĝos.

Friday, January 30, 2009

Ketika Wall Street Runtuh (Mientras se derrumba Wall Street)

The picture is from here.
Mandat kedua 

KETIKA WALL STREET RUNTUH

Karya: Alfredo Pérez Alencart 

Aku, yang sejak dahulu
hingga saat ini 
tak pernah melakukan tindakan 
yang berguna. 

Aku, yang hanya mempunyai 
sebuah mobil berpintu dua 
dekat hamparan sampah, 

kecuali sebuah flat murah 
di daerah pinggiran kota kecilku, 

kumengaku tak terganggu 
tatkala membaca kepala berita: 
“Senin Kelabu di Bursa Efek 
New York”. 

Dan di tepi Tormes 
kutenang menikmati sarapan, 
ketika Wall Street 
runtuh.

(Terjemahan Yohanes Manhitu) 

---------------------------
Segundo mandato 

MIENTRAS SE DERRUMBA WALL STREET 

Por: Alfredo Pérez Alencart

Yo, que no tuve 
ni tengo 
acciones de valor 
alguno. 

Yo, que sólo poseo 
un coche de dos puertas 
próximo al desguace,  

mas un piso barato 
en las afueras de mi 
ciudad pequeña, 

confieso no sentir 
tribulación cuando leo el titular: 
“Lunes negro en la Bolsa 
de Nueva York”. 

Y a la orilla del Tormes 
desayuno tranquilo, 
mientras se derrumba 
Wall Street.

Thursday, December 18, 2008

MUSIM TANAM TELAH TIBA

Foto: http://graphics8.nytimes.com

Oleh: Yohanes Manhitu 

Panas matahari tak lagi membakar kulit
seperti pada hari-hari yang baru berlalu.
Di langit, awan kelabu kini giat berarak
membuat alam seakan-akan sedih,
mengantar pergi cahaya mentari.

Setelah berhari-hari basahi bumi,
air hujan meresap semakin ke dalam
dan tumbuhkan keyakinan wanita desa
bahwa kini saat menanam telah tiba.

Pekarangan dan ladang pun basah sudah
setelah berhari-hari diguyur air hujan sore.
Kau pandang tangan-tangan berayun pasti
di permukaan tanah liang-liang terbuka
dan butir demi butir benih ditelan bumi.

Sambil menanti empat malam berlalu,
kami saksikan laron-laron berpesta
di sekeliling lampu neon hemat arus,
tinggalkan sayap-sayap yang patah.

Noemuti, TTU, 27 November 2008

Mangga di tepi jalan

Karya: Yohanes Manhitu

Laksana kembang di musim bunga
Di jalan raya wadah-wadah penuh
Tawarkan beragam ukuran mangga
Yang baru tinggalkan tangkainya

Ada bermacam-macam mangga
Ada mana lagi dan lagi-lagi manis
Ketika daging segar itu kaumakan
Dan nikmati rasa yang membekas

Mangga kini tak sama dengan dulu
Yang dulu tinggi dan berbuah kecil
Kini sentuh bumi, berbuah besar
Semuanya hadir jua di tepi jalan

Noemuti-TTU, 27 November 2008

Monday, November 24, 2008

Narasi Malam

 
Karya: Yohanes Manhitu

Tabir malam selimuti bumi
dengan kesunyian tanpa definisi.
Lorong-lorong planet tampak gelap
terlantar, tanpa belaian cahaya.


Manusia tak kuasa pasung waktu
dengan kekerdilan takdir tersurat.
Ia hanya terpaku, kaku dalam beku
saksikan waktu bergulir, menggelinding.

Lampu-lampu jalan kota tunaikan tugas
agar iuran penerang jalan punya wujud.
Berpasang kekasih temukan ruang asmara,
beratapkan mendung yang janjikan hujan.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 2 Oktober 2004

Ode buat Sabun Mandi

Karya: Yohanes Manhitu

Tersusun rapi di rak-rak toko,
berceceran di warung kerdil.
Cembung, cekung satu nama
belasan warna, belasan aroma.
Orang pilih sesuka hati, merdeka!
Boleh jadi mereka santapan iklan.

 Sejoli kepolosan memadu kasih
begitu masa berkelana dimeterai.
Bukit, ngarai dan lembah lembab,
padang hijau dan hutan berhujan
kaujelajahi dari segala penjuru.
Dan kauselimuti berhelai busa
yang semerbak, memancing iri
udara metropolis kaya polusi.

Kurang lebih dua kali sehari,
kausudi tawarkan ketulusan
untuk gapai sosok kemulusan
di permukaan tubuh terguyur
yang rindu belaian mawarmu
walau ragamu kian tenggelam.

 Tidakkah kaudiliputi rasa cemas,
tatkala hutan hujan luas kaususuri,
gunung dan bukit lembab kaudaki,
padang sunyi yang basah kaulewati,
tikungan licin mulus itu kauturuni,
dan nada-nada asing kaudengar?
Kuyakin nyalimu amatlah besar,
dan jiwamu sungguh merdeka.
untukmu, kata-kata ini kuukir.

Pugeran Timur-Yogyakarta
27 September 2004

Thursday, October 30, 2008

SANG MACAN

Oleh: Pablo Neruda


Akulah sang macan.
Kaukuintai di antara dedaunan
lebar bagai batangan logam
mineral basah.

Sungai putih meriap
di bawah kabut. Kaudatang.

Telanjang kaumenyelam.
Aku menanti.

Lalu dengan satu loncatan
api, darah, gigi, dan sekali cakar
kukoyak perutmu, juga pinggulmu.

Kuteguk darahmu, kupatahkan
satu demi satu anggota tubuhmu.

Dan kuterus berjaga
bertahun-tahun dalam rimba.
Tulang-belulangmu, abu tubuhmu,
bergeming, jauh
dari benci dan kolera,
jinak dalam kematianmu,
tersalib batang-batang liana,
bergeming, jauh
dari benci dan kolera,
jinak dalam kematianmu,
tersalib batang-batang liana,
bergeming dalam hujan,
si pengintai bengis
cinta pembunuhku.


Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu,

Yogyakarta, 03 Januari 2005

============

EL TIGRE

Por: Pablo Neruda

Soy el tigre.
Te acecho entre las hojas
anchas como lingotes
de mineral mojado.

El río blanco crece
bajo la niebla. Llegas.

Desnuda te sumerges.
Espero.

Entonces en un salto
de fuego, sangre, dientes,
de un zarpazo derribo
tu pecho, tus caderas.

Bebo tu sangre, rompo
tus miembros uno a uno.

Y me quedo velando
por años en la selva
tus huesos, tu ceniza,
inmóvil, lejos
del odio y de la cólera,
desarmado en tu muerte,
cruzado por las lianas,
inmóvil, lejos
del odio y de la cólera,
desarmado en tu muerte,
cruzado por las lianas,
inmóvil en la lluvia,
centinela implacable
de mi amor asesino.


PENYAIR BERPURA-PURA

Karya: Fernando Pessoa

Penyair itu seorang yang berpura-pura.
Berpura-pura ia sepenuhnya
sampai ia berpura-pura sakit
sakit yang sungguh-sungguh ia rasakan

Dan para penikmat tulisannya,
merasa sehat dalam sakit kepenatan
bukanlah kedua-duanya yang pernah ia miliki
Tapi hanyalah apa yang tak mereka punya

Begitu pun dalam alur-alur roda
berputar, menghibur akal budi
kereta gantung itu
yang bernama hati.


Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu,

Yogyakarta, 12 Januari 2004

======

O POETA É UM FINGIDOR

O poeta é um fingidor.
Finge tão completamente
Que chega a fingir que é dor
A dor que deveras sente.

E os que lêem o que escreve,
Na dor lida sentem bem,
Não as duas que ele teve,
Mas só a que eles não têm.

E assim nas calhas de roda
Gira, a entreter a razão,
Esse comboio de corda
Que se chama coração.