Sunday, July 27, 2008

Sindrom Bahasa Gado-Gado Dalam Siaran Radio

Oleh: YOHANES MANHITU

SEJAK beberapa bulan yang lalu saya kembali kepada kebiasaan masa kecil saya di sebuah dusun kecil di Enklave Oekusi-Ambeno, Timor-Leste, yaitu kebiasaan mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI) setiap sore dan malam hari. Tetapi lain dulu lain sekarang. Kini ragam siaran RRI sudah lebih banyak. Kini yang saya cukup minati adalah siaran interaktif yang berskala ‘dari Sabang sampai Merauke’ seperti Aspirasi Merah-Putih. Melalui siaran-siaran ini harus saya akui bahwa wawasan saya tentang wilayah Nusantara kian bertambah luas. Akan tetapi, ada suatu hal yang terus mengganjal dalam hati saya: tiadanya kesempatan yang baik untuk memupuk kemampuan bahasa Indonesia saya lewat media penyiaran jenis ini. Mungkin saya tergolong dalam kelompok orang yang beranggapan bahwa atau terus berharap agar media siaran pemerintah patut menjadi oasis ketaatasasan ketika berlaksa orang tengah haus akan bahasa Indonesia yang adab alias apresiatif terhadap norma-norma bahasa Indonesia yang sudah secara disetujui dan disahkan dengan undang-undang. Walaupun dalam sejarah umat manusia belum pernah terdengar ada ancaman hukuman yang serius bagi para pelanggar aturan kebahasaan (tetapi harus jauh lebih serius untuk para koruptor!), kita perlu menata lisan.

Setelah beberapa bulan ‘pasang telinga’ ke radio mini dekat meja kerja dengan laptop tua yang gemar mendesis, saya mulai berani berkesimpulan bahwa anggapan guru SD, SMP, dan SMA saya bahwa RRI selalu menggunakan bahasa Indonesia yang standar perlahan namun pasti pupus. Saya tak hendak mengatakan bahwa kualitas bahasa Indonesia semua penyiar RRI sudah merosot sama sekali (tentu saja masih ada yang bagus dan patut dijadikan teladan anak-anak negeri), tetapi secara empiris saya ingin mengatakan bahwa sebagian mengecewakan. Belum ada indikator apakah itu ulah penulis berita atau si pembaca di muka corong. Jika Anda meragukan kebenaran kata-kata saya tentang hal ini, silakan Anda buktikan sendiri agar puas dan yakin. Dan agar lebih otentik bukti-bukti yang diberikan, cobalah Anda merekam beberapa siaran pendek dengan perekam MP3, MP4, atau perekam pita. Putarlah ulang dan analisislah secara tajam dengan pisau ilmu Anda. Jangan heran jika kemirisan yang menguasai diri Anda. Untuk mahasiswa jurusan linguistik yang tengah menggarap laporan atau karya ilmiah tertentu, hal ini bisa menjadi objek penelitian yang menarik dan menggelitik. Selamat mencoba.

Ketaktaatasasan yang saya maksud di sini adalah penggunaan bahasa Indonesia tidak pada tempat dan waktunya. Sebenarnya sindrom gado-gado dalam berbahasa Indonesia ini secara umum bukan hal baru -- sudah lagu lama. Tetapi akan lain pengaruhnya apabila sebuah media publik memancarkan siaran-siarannya dan diskusi publik dalam bahasa Indonesia yang tidak memberi pencerahan kebahasaan kepada para pendengarnya, khususnya anak-anak dan pihak-pihak yang sedang belajar berbahasa Indonesia. Terhadap orang-orang asing yang sedang tekun mempelajari bahasa kita tanpa kenal lelah, misalnya, kita telah membuat mereka bingung dengan ketidakteraturan bahasa media. Mereka kehilangan kompas cadangan di tengah samudra ketakpastian yang kita ciptakan. Jika media penyiaran yang patut dipercaya menyajikan siaran dalam bahasa yang tidak baku dan menciptakan Babel baru, berkurang sudah jumlah oasis, tempat kita menghilangkan dahaga pada zaman ini.

Secara pribadi, saya sangat miris karena penggunaan kata-kata seperti mem-follow-up-i, (yang karena bunyinya, bisa tercipta antonim mem-follow-air), me-manage, consern, political will, illegal logging, dll. dalam suatu siaran radio berbahasa Indonesia, apalagi di media resmi. Saya belum tahu pasti motivasi penggunaan kata-kata asing ini yang cenderung membingungkan orang-orang yang tidak memahami artinya. Tetapi secara umum saya berasumsi bahwa pemicunya adalah tuna harga diri, yaitu tiadanya rasa percaya diri bila seseorang menggunakan bahasa Indonesia tanpa kata-kata asing. Ada sebagian orang yang menyisipkan sejumlah besar kata asing dalam pembicaraan bukan karena kehadiran kata-kata ini sangat diperlukan, tetapi sekadar untuk menunjukkan bahwa ia adalah orang terdidik. Tetapi apakah benar bahwa tingkat keterdidikan seseorang diukur dari banyaknya kosa kata asing yang digunakan? Saya juga berasumsi bahwa masih banyak orang Indonesia, khususnya kaum terpelajar, yang belum sungguh-sungguh yakin akan kemampuan bahasa Indonesia sebagai media ungkap yang memadai. Jika memang kita yakin dan bangga akan kesanggupan bahasa nasional kita, maka kata-kata asing di atas masing-masing akan digantikan dengan menindaklanjuti, mengatur (mengelola, mengurus), peduli (prihatin), kemauan politik, dan penebangan liar.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai penerjemah lepas, saya berkeyakinan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bahasa-bahasa lain di dusun global kita saat ini. Dengan bahasa Indonesia yang berkhazanah luas ini kita sudah bisa mengungkapkan berbagai nuansa perasaan dan pikiran tanpa hambatan, kecuali apabila konsep itu baru sama sekali dan merupakan temuan teknologis yang kosa katanya belum ada dalam khazanah bahasa kita. Sebagai orang Indonesia saya sangat bersyukur bahwa para pendiri bangsa ini di bidang kebahasaan pada masa silam dan para pegiat bahasa pada zaman ini telah memikirkan kebutuhan kebahasaan kita. Pemikiran seperti ini tentu saja bukan hambatan bagi pembelajaran bahasa asing. Setiap orang boleh belajar bahasa asing sebanyak mungkin (karena lebih banyak lebih baik), tetapi untuk konteks Indonesia dan beberapa negara yang mirip keadaannya, saya berpikir bahwa dengan tiga buah bahasa saja kita sudah bisa menjadi manusia ‘triranah’, yaitu bahasa daerah (tataran lokal), bahasa nasional (tataran bangsa) dan bahasa asing (tataran internasional).

Akhirnya, sebagai penutur bahasa Indonesia yang masih bergelut untuk meningkatkan mutu bahasa Indonesia pribadi, saya berharap agar media-media publik, khususnya RRI, dan juga para pembicara di media publik dapat lebih giat dalam meningkatkan kualitas bahasa mereka karena di negara yang rakyatnya cenderung mencari anutan diperlukan teladan yang baik dalam bertutur kata di corong publik (bukan corong pablik!). Mari berjuang bersama-sama!

Yogyakarta, 27 Juli 2008

Kemolekan

 

Oleh: Charles Baudelaire

Aku cantik, hai manusia, bagai impian karang,
Dan dadaku yang tuntut satu demi satu nyawa,
Tercipta ‘tuk bisikkan pada pujangga cinta
Abadi dan fana serta ramuan sajak.

Kubertakhta di lazuardi bagai sfinks asing;
Kupadukan hati salju dengan putih metah;
Kubenci kepada gerak yang geser batas-batas,
Pantang kumenangis, pantang pula kutertawa.

Para pujangga di hadapan sikap anggunku,
Yang konon kupinjam dari tugu-tugu termegah,
Habiskan hari-hari mereka dalam pencarian hampa.

Karena hendak kupukau para kekasih penurut
Sebening kaca yang ubah bintang-bintang lebih indah,
Yakni kedua mataku, mata lebarku ‘tuk bersinar abadi!

Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 5 Januari 2005
----------------------------

La Beauté

Par: Charles Baudelaire

Je suis belle, ô mortels, comme un rêve de pierre,
Et mon sein, où chacun s'est meurtri tour à tour,
Est fait pour inspirer au poète un amour
Éternel et muet ainsi que la matière.

Je trône dans l'azur comme un sphinx incompris ;
J'unis un cœur de neige à la blancheur des cygnes ;
Je hais le mouvement qui déplace les lignes,
Et jamais je ne pleure et jamais je ne ris.

Les poètes devant mes grandes attitudes,
Qu'on dirait que j'emprunte aux plus fiers monuments,
Consumeront leurs jours en d'austères études ;

Car j'ai pour fasciner ces dociles amants
De purs miroirs qui font les étoiles plus belles :
Mes yeux, mes larges yeux aux clartés éternelles !

Thursday, June 19, 2008

Iom da pensoj pri la poezio

Bildo: chaihousechatter.wordpress.com

de Yohanes Manhitu

Legante kelkajn informajn fontojn pri la evoluo de lingvoj en iuj partoj de la mondo, mi finfine diras, aŭ preskaŭ konkludas, ke la plej multaj de la literaturaj tradicioj en la planedo, sen rigardo al la buŝa tradicio, komenciĝis per poezio. Kiu ajn jam studis la anglan literaturon scias, ke Beowoulf estas unu el la unuaj poemoj, kiu markis la komenciĝon de la angla literaturo. La sama afero okazis ankaŭ en la portugala kaj la itala literaturaj tradicioj. Mi supozas, ke ĝi okazis ankaŭ en aliaj europaj literaturaj tradicioj. Sed oni bezonas esploradon por scii pli pri tio. 

Ĉi tie mi ne volas paroli profunde pri la historio de la poezio, sed mi volas diri ion tre simplan pri ĝia rolo en tiu ĉi kunteksto. Leginte la fontojn, mi min tuj demandis: “Kial tiuj ĉi literaturaj tradicioj komenciĝis per la poezio, kial ne per la prozo?” Eble ĉar la poezio estis la plej preferinda tipo de literaturo en tiu tempo. Aŭ ĉar ĝi estis la plej konata maniero de persona memesprimilo dum la antikva epoko. Mi ne estas certa pri tio. Sed mi scias, ke la poezio ekzistas sub multaj formoj kaj nomoj en multaj partoj de la mondo. En Timoro, ekzemple, ni havas reciprokan buŝan poezion (davanlingve nomatan  nél), kutime deklamatan dum oni cirkaŭdancas. Ni havas ankaŭ aliajn tipojn de poezio, kiuj eble ne ekzistas en aliaj lokoj. La homoj de malaja mondo havas buŝan poezion nomatan pantun (t.e. pantuno, kun 2-4 versoj), kiun ili spontane deklamas unu al la alia. En la malaja (indonezia) literatura mondo, oni konas la grandan poeton kaj nacian heroon Raja Ali Haji el la insulo Penyengat, parto de la insuloj Riau, Indonezio. Keklfoje oni surpriziĝas, ke la plejmulto de ĉi tiuj tradiciaj trezoroj ne estas tradukeblaj, ĉar la celita lingvo ne havas la saman formon de poezio aŭ similan formulesprimon. Do, mi pensas, ke fari modernajn tradukeblajn verkojn en la indiĝenaj lingvoj helpus konservi ilin kaj prezenti la lokan saĝon al la nuntempa mondo ‒ nia tuttera vilaĝo. Kompreneble tio estu farata por larĝigi la kulturan horizonton. Oni povas preni Rabindronath Tagor kiel ekzemplon. Laŭ mia opinio, ĉi tiu granda literaturisto el Barato, per sia poezio, precipe sia traduko nomata Gitanĝali, prezentis/as al la mondo tre profundan hindan saĝon. 

La poezio malfermas la pordon de la literaturo, sed estas foje ironio de la sorto, ke ĝi ankoraŭ restas malfacila por kompreni. Iuj personoj bedaŭrante diris, ke ne estas facile legi kaj ĝui poemojn. Ni povas nin demandi, kiom ofte homoj legas poemojn. Unufoje en semajno? Eble estas pli interese legi detektivajn romanojn. Fakte, oni povas legi ambaŭ la sama libro, kiel en La nomo de la rozo de Umberto Eco. Legante ĉi tiun romanon oni havas la eblon ĝui ne nur prozon, sed ankaŭ poezion. Sed ĉar la poemoj (verkoj de kelkaj mezepokaj poetoj) estas preskaŭ tute en la latina lingvo (kiun iuj nomas morta lingvo, sed ankoraŭ ĝi ne estas vere senviva), oni foje ne komprenas sen bona traduko (bonŝance mi havas la tradukon en la indonezia lingvo, eldonitan de la eldonejo Bentang Budaya, Yogyakarta, 2004). 

Ni reiru al poezio! Kiam oni legas poemon, ne sufiĉas legi; estas grave fari pli. Foje oni devas pensi pli profunde por trovi la veran signifon malantaŭ la vortoj; estas simile al kaŝludo (sed temas pri mensa ludo "kasiĝi-kaj-serĉi"). Oni diras, ke poezia legado povas egali kontempladon. Sed tio ne okazas tre ofte; estas poemoj, kiujn oni legas sen (longa) meditado. 

Ĉiutage oni povas observi, ke poezio faras multe pli ol malfermi la pordon de la literaturo. Ĝi fakte ludas gravan rolon en la literatura evoluo. Uzante lingvon por verki poezion, poetoj serĉas la plej taŭgajn manierojn esprimi siajn pensojn kaj sentojn. Farante tion, ili perfektigas la ligvon kaj igas ĝin pli kapalbla ilo. Pri la rolon de poetoj, Samuel Johnson (unu el la plej konataj anglaj literaturistoj) unufoje asertis, ke poetoj estas homoj, kiuj konservas la purecon de la lingvo. Mi ne volas debati pri la aserto de d-ro Johnson, ĉu ĝi estas prava aŭ ne. Sed se vi volas provi tion, sufiĉas legi la verkojn de esperantlingvaj poetoj, kaj poste pensu pri ilia rolo en la Esperanto-movado.

Yogyakarta, la 10an de junio 2008

Setelah Seratus Tahun (After a Hundred Years), Oleh/By: Emily Dickinson



SETELAH seratus tahun,
Tempat itu sirna dari benak orang, —
Derita, yang dahulu menyiksa di sana,
Kini diam, setenang kedamaian.

Dahulu rerumputan berjaya menjulur,
Orang asing makan angin dan mengeja
Satu-satunya tulisan peninggalan
Tua-tua yang telah mati.

Angin dari ladang-ladang kemarau
Kembali mengingat jalan itu, —
Naluri memungut anak kunci
Yang dahulu dijatuhkan kenangan.

Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 9 Januari 2005

====================

After a Hundred Years

AFTER a hundred years
Nobody knows the place,—
Agony, that enacted there,
Motionless as peace.

Weeds triumphant ranged,
Strangers strolled and spelled
At the lone orthography
Of the elder dead.

Winds of summer fields
Recollect the way,—
Instinct picking up the key
Dropped by memory.

El diccionario más grande


Por: Yohanes Manhitu

Una vez, solo, en una noche, mi pregunté:
¿Cuántas palabras hay en el universo?
No la voy a repetir sin contestarla bien.
Pero sí, necesito que alguién constente.

El universo es el diccionario más grande
Que contiene todas las palabras humanas,
Viejas y nuevas, vivas, muertas, y renacidas.
Los poetas tienen toda libertad de elección.

Si un día el compilador revisa su gran obra
Reformándola para ser mucho más pura,
¿Buscaremos los rastros de la memoria
en las entrerradas notas de un poeta?

Yogyakarta, 10 de junio de 2008

Hablarte por la poesía

Imagen: https://www.pinterest.dk

Por: Yohanes Manhitu

Talvez me acostrumbro mucho a decirte mi corazon
en palabras largas que ya entiendes sin pensar.
Esta vez quiero dejar atrás las voces ruidosas
para acercarme de ti en un mar de silencio.
Quería mucho hablarte solo por la poesía.

Sabes que me gustan mucho las palabras
que me acompañan como un buen amigo
y con ellos me siento tentado de hablarte
como si estuviéramos en una entrevista.
Espero hablarte mejor solo por la poesía.

A veces me confio en el ruido de palabras
porque supongo que estés muy ocupado.
De hecho eres siempre todos oídos a mi.
Pero ahora quería hablarte por la poesía.

Creo que te gusta las poemas de la tierra
que son imitaciones de tus líneas divinas.
Aunque hoy todavía no soy mejor imitador,
quería mucho hablarte solo por la poesía.

Yogyakarta, 10 de junio de 2008

Wednesday, May 28, 2008

Ulang tahun dan BBM

Foto: http://www.balitravelholidays.com
Karya: Yohanes Manhitu

Suatu kebetulan telah terjadi:
harga BBM diumumkan naik
ketika kulagi menyiapkan diri
menyambut bertambahnya usia.

Tadi malam ada antrean panjang,
sejuta orang nantikan gilirannya
untuk mengisi tengki-tengki kosong
sebelum harga baru menghiasi koran.

Hari ini semua seakan biasa saja
walau harga barang terus meningkat.
Ada kabar orang miskin menanti
peredam sakit bernilai rupiah.

Saat-saat bahagia trus dinanti
dan bercampur dengan kebingungan.
Kadang keduanya silih berganti.
Semoga lentera harapan trus bernyala.

Yogyakarta, 24 Mei 2008

Tiga Tangkai Mawar

Picture: http://2.bp.blogspot.com
Karya: Yohanes Manhitu

Tiga tangkai mawar merah berseri
t'lah kuletakkan di pot dekat kakimu.
Duri-durinya kubiarkan apa adanya
karena mawar selayaknya berduri.

Hidup ini pun terasa kian memerah
dan kadang terancam duri-duri tajam.
Ajarilah aku jadikan semuanya mawar.
Merah atau putih, asal tetap harum.

Tiga tangkai mawar merah segar
kini menghiasi dasar pijakanmu.

Pasti mereka 'kan perlahan layu,
namun mawar tetaplah mawar.

Sendangsono, 24 Mei 2008

Meredam Jeritan dan Kejutan


Karya: Yohanes Manhitu

Belakangan ini jeritan jadi soal lumrah
Dan kejutan pun bukan hal yang jarang.
Bila sempat kauselusuri jalan-jalan sepi
Suara-suara itu lebih nyaring kaudengar.

Jika bilik hatimu masih cukup longgar
Dan tak kauberi tembok kedap suara,
Dari segala penjuru bumi kautangkap
Jeritan yang tak mesti menjadi kejutan.

Ini bukan pekikan karena hadiah besar
Dari lotre asing di kotak berita e-mail,
Juga bukan karena ada hibah anonim.
Ini jeritan karena ulah harga melonjak.

Beramai-ramai kita mencari penawar
Untuk meredam jeritan dan kejutan.
Namun kini tampaknya gelombang
Jeritan kian ramai menerjang kita.

Yogyakarta, 3 April 2008
.
Pos Kupang Minggu, 11 Mei 2008, halaman 6

Masih kauucapkan kata manismu

Karya: Yohanes Manhitu

Untuk dia yang telah berjanji

Tak pernah kusangka bahwa kaulupa,
Lupa memelihara janji di setiap waktu.
Alangkah mudahnya mengucap janji
Ketika hasrat memenuhi jiwa-ragamu.

Kata-katamu lincah di mulut berbusa
Walau maknanya setipis serat buram.
Biarpun di prasasti, kata-kata kauukir,
Hujan kelupaan akan menghapusnya.

Apakah kaumasih jua pandai berdalih
Bahwa beban dunia terlampau berat
Sehingga kau tak sempat merekam
Dan meresapi makna kata-katamu?

Aku sama sekali tak akan keberatan
Mendengar kaupatri surga dan bumi
Asalkan kautiru cara bicara malaikat
Dan tak undang nestapa ke wajahku.

Yogyakarta, 3 April 2008
.
Pos Kupang Minggu, 11 Mei 2008, halaman 6

Wednesday, April 30, 2008

Menanti Jawaban Tak Kunjung Tiba


Karya: Yohanes Manhitu

Tergodaku untuk bersoal dalam hati kecil
Tentang hal-hal besar di raut wajah kerdil
Dan juga soal kecil di wajah tampak besar
Kendati tiada harapan akan jawaban pasti.

Akhir-akhir ini kumulai bisa menyadari fakta
Bahwa tak setiap pertanyaan akan dijawab.
Orang suka membisu terhadap tanda tanya
Sebab nyaman dengan sebaris tanda seru.

Sebenarnya terlalu banyak hal yang patut,
Yang ingin kutanyakan kepada penjawab.
Tentu ia bukan mesin penjawab telepon,
Walau pesawat pasti jauh lebih spontan.

Konon telah lama ada mesin penjawab
Dengan piranti prabayar produksi lokal.
Makin lancar tunai makin cepat layanan.
Bila pertanyaan sulit harga pun melangit.

Pada akhirnya kusadari kenyataan terkini:
Perlu antre untuk dapatkan satu jawaban
Dan itu belum tentu adalah jawaban pasti.
Bisa jadi akan ciptakan pertanyaan baru.


Yogyakarta, 1 April 2008

Losmen


Karya: Paul Verlaine

Untuk Jean Moréas

Bertembok putih, beratap merah, itulah losmen baru di tepi
Jalan besar berdebu yang buat kaki gosong dan berdarah,
Losmen ceria yang beri Sukacita bagi pembawa panji.
Anggur biru, roti empuk, dan tak perlu paspor.

Di sini orang-orang merokok, beryanyi, dan tidur.
Yang empunya rumah prajurit tua, dan istrinya yang sisir
Dan mandikan sepuluh bocah cilik berseri penuh kudis kepala
Bercakap soal cinta, nikmat dan senang, dan ia benar!

Ruang berplafon balok hitam, berhiaskan gambar-gambar.
Wajah-wajah seram, Maleck Adel dan Raja-raja Majus,
Menyambut Tuan dengan aroma lezat sup kobis.

Apakah Tuan dengar? Itulah panci yang temani
Jam berdenting penuh gairah dengan denyut nadinya.
Dan jendela terkuak di kejauhan di dusun sana.


Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu

Yogyakarta, 01 Januari 2005


====================================


L'AUBERGE

À Jean Moréas

Murs blancs, toit rouge, c'est l'Auberge fraîche au bord
Du grand chemin poudreux où le pied brûle et saigne,
L'auberge gaie avec le Bonheur pour enseigne.
Vin bleu, pain tendre, et pas besoin de passeport.

Ici l'on fume, ici l'on chante, ici l'on dort.
L'hôte est un vieux soldat, et l'hôtesse qui peigne
Et lave dix marmots roses et pleins de teigne
Parle d'amour, de joie et d'aise, et n'a pas tort !

La salle au noir plafond de poutres, aux images.
Violentes, Maleck Adel et les Rois Mages,
Vous accueille d'un bon parfum de soupe aux choux.

Entendez-vous ? C'est la marmite qu'accompagne
L'horloge du tic-tac allègre de son pouls.
Et la fenêtre s'ouvre au loin sur la campagne.

Oh, Lonceng Dusunku


Karya: Fernando Pessoa

Oh, lonceng dusunku
yang bersedih di sore tenang,
tiap dentangmu
bergema dalam sukmaku…

Dan begitu perlahan gemamu
begitu pilu, sepilu kehidupan,
hingga dentang awalmu saja
telah alunkan bunyi bertalu.

Walau dentangmu dekat padaku,
bila kupergi, terus mengembara,
kau bagiku laksana sebuah mimpi
kaumenggemakanku dalam sukma terpencil.

Setiap dentangmu,
bergetar di angkasa luas,
kurasa masa silam kian jauh,
kurasa kerinduan semakin dekat…


Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu

Yogyakarta, 13 Januari 2004


======================


Ó SINO DA MINHA ALDEIA

Ó sino da minha aldeia
dolente na tarde calma,
cada tua badalada
soa dentro da minha alma...

E é tão lento o teu soar,
tão como triste da vida,
que já a primeira pancada
tem o som de repetida.

Por mais que me tanjas perto,
quando passo, sempre errante,
és para mim como um sonho,
soas-me na alma distante.

A cada pancada tua,
vibrante no céu aberto,
sinto o passado mais longe,
sinto a saudade mais perto...

Pintu (La Puerta)


Karya: Alfredo García Valdez*

Di mana pun kauberada: di dasar laut, di pucuk bintang, di rongga pepohonan, di dasar batu prasasti, pun di bola mata perempuan, pintu terbuka dan tertutup. Hujan kerinduan atau tegangan hasrat sanggup membukanya. Pasir mimpi menumpuk di ambangnya. Dan di atas pintu, nama sejatimu terukir dengan garam. Di baliknya ‘kan kaujumpai ia yang lain, sosok sejati, yang pergi berkeluyuran selagi kaumenangis, tidur atau bercinta.

Pintu melambangkan perjanjian yang mengikatmu dengan dunia kematian, pun dengan alam kehidupan. Di baliknya tiada selir ataupun perpustakaan: ini bukan ilmu tentang aksara atau daging. Pintulah engsel yang satukan surga dan neraka; pintulah piston yang pompakan lautan teduh, jua berbadai; dan pintulah rongga pengatur alur napasmu sebagai orang mati, pun sebagai orang hidup.

Oh harapan, kaulah kepolosan bocah yang langkahi ambang pintu sambil melanjutkan permainan mengasyikkan. Sang kekasih simak cakapmu penuh sabar dan mencari jejak-jejak kata wasiat, mengelusmu di tidurmu dan temukan kunci di antara tulang-belulangmu. Bila ia sanggup lewati pintu itu, ia bakal menjelma jadi sosok utuh, yang berjalan-jalan selagi kaumenderita, bekerja atau tertawa.

Oh harapan, kaulah kepolosan bocah yang nekat mengusik si macan diam.

 
Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 9 Juni 2002

====================================

LA PUERTA

Por: Alfredo García Valdez

Donde quiera que estés, la puerta se abre y se cierra: en el fondo del mar, en la punta de una estrella, adentro de un árbol, bajo una lápida, o en las pupilas de una mujer. Puede abrirla la lluvia de la nostalgia o la electricidad del deseo. La arena del sueño se acumula en el umbral. Sobre la puerta está escrito con sal tu verdadero nombre. Detrás de ella está el otro, la persona auténtica, que sale a deambular mientras lloras, duermes o amas.

La puerta simboliza el pacto que te liga al pueblo de los muertos y al pueblo de los vivos. Tras de ella no hay un harén ni una biblioteca: este saber no tiene conexión con la letra ni con la carne. Es el quicio que une al cielo y al contracielo, el émbolo que bombea las aguas dormidas y las aguas de la tormenta, el diafragma que regula tu respiración como hombre muerto y como hombre vivo.

Oh esperanza, eres la inocencia del niño que traspone el umbral siguiendo un juego ensimismado. La amada escucha pacientemente tu conversación, buscando los rastros de la palabra mágica; te acaricia mientras duermes, buscando entre tus huesos la clave. Si logra trasponer la puerta, regresará convertida en la auténtica persona, la que deambula mientras sufres, trabajas o ríes.

Oh esperanza, eres la inocencia del niño empeñado en zaherir al leopardo del silencio.

 -------------------
* Alfredo García Valdez lahir di Cedros, Zacatecas, Meksiko tengah, 1964, belajar Sastra Spanyol di Universidad de Coahuila. Ia adalah mantan penerima beasiswa INBA dalam genre esai dan telah menerbitkan puisi dan ulasan di Tierra Adentro, Sábado de Unomásuno, La Jornada Semanal, Los Universitarios, Casa del Tiempo y La Gaceta del Fondo de Cultura Económica. Ia juga pengarang buku kumpulan esai yang berjudul “Máscaras” (Topeng-topeng). Puisi La puerta karya Alfredo García Valdez di atas dikutip dari majalah "Biblioteca de México", Nomor 40, Juli-Agustus 1997, hlm. 18.