Gambar: https://www.freepik.com |
Oleh: YOHANES MANHITU*
MENCINTAI seseorang adalah suatu tindakan yang memanifestasikan rasa kasih sayang yang sangat manusiawi dan universal. Setiap insan ciptaan Tuhan memiliki hak, tidak hanya untuk mencintai tetapi juga untuk dicintai. Inilah salah satu wujud hak asasi manusia yang harus dihormati dan dipertimbangkan dengan nurani yang jujur. Semua orang yang menjunjung tinggi kejujuran dan ketulusan akan enggan berkata bahwa mencintai adalah suatu tindakan bodoh, dan bahwa cinta adalah suatu kebodohan.
Mencintai justru merupakan tindakan berahmat, dan cintai itu sendiri merupakan rahmat Ilahi yang patut disyukuri, dipelihara serta dipupuk agar tetap tumbuh dengan subur di petak-petak sanubari yang hijau dan segar, di kedua sisi aliran air sungai kehidupan yang tenang dan damai. Siapa yang ingin hidup tanpa cinta yang tulus di tengah dunia yang semakin dilanda krisis cinta yang tak bertepi? Bukankah banyak orang bersemadi dan menggunakan jasa paranormal atau dukun pelet untuk mengharapkan datangnya cinta yang tulus? Lalu mengapa takut mencinta?
Mencintai seseorang pasti ada pemicunya. Dengan kata lain, rasa cinta itu timbul karena ada faktor penyebabnya. Bukankah ada asap karena ada api? Dan faktor penyebabnya bisa berjumlah lebih dari satu. Salah satunya adalah kekaguman akan pesona intelektual seseorang. Hal ini sangat wajar, menurut pandangan penulis, karena pesona ini cukup menggoda bagi setiap insan.
Kekaguman akan pesona intelektual seseorang dapat menjadi pemicu rasa cinta yang ampuh. Tetapi bila mengagumi pesona intelektual seorang pribadi menjadi satu-satunya pemicu bagi suatu hubungan cinta, maka penulis yakin bahwa ada kemungkinan pada suatu saat bila si dia yang dikagumi kekurangan atau kehilangan pesona intelektualnya sama sekali karena alasan usia lanjut atau kecacatan tak diharapkan, maka si pengagumnya bisa meninggalkannya karena tak ada lagi pesona yang perlu dikagumi. Dan itu berarti cinta mereka pun akan terseret perginya kekaguman akan pesona yang dimiliki. Di mana ada pesona intelektual, di situ ada cinta.
Pada dasarnya, pesona intelektual, sama seperti ketampanan atau kecantikan (pesona rupa), adalah kelebihan yang dimiliki seseorang dan merupakan anugerah Sang Pencipta yang patut disyukuri. Berbeda dengan pesona rupa, pesona intelektual biasanya tidak langsung tampak secara fisik – ia (mungkin) tampak lebih jelas lewat tindakan verbal, dan komunikasilah jembatannya. Setiap orang akan dengan mudah mengatakan si A itu tampan atau si B itu cantik tanpa membutuhkan waktu yang lama. Dengan menatap atau meliriknya sesaat saja, pujian itu bisa meluncur dari mulutnya, bahkan mungkin tanpa disadari. Tetapi untuk mengatakan bahwa si C pandai, seseorang harus menunggu lebih lama untuk mengambil suatu kesimpulan. Orang tersebut harus melakukan kontak sosial dengan si C. Misalnya, dengan mengajaknya bercakap-cakap dua atau tiga kali sampai orang itu yakin bahwa si C patut disebut pandai atau memiliki pesona intelektual.
Bisakah kelebihan-kelebihan yang fana seperti ketampanan, kecantikan, dan kepandaian tidak dijadikan landasan cinta? Ada kekhawatiran bahwa bila kita melandaskan cinta pada kelebihan yang fana, maka cinta yang ditopangnya pun akan bersifat fana. Mungkin ada baiknya bila kita mencintai seseorang, kita mencintainya seutuhnya – menerima, tidak hanya segala kelebihan, tetapi juga segala kelemahananya – segala hitam putih hidupnya, tanpa reserve. Bukankah ini sangat manusiawi dan diharapkan banyak insan? Jadi, kita sebaiknya mencintai seseorang tidak semata-mata karena ia pandai, tampan, cantik, atau kaya. Kita diharapkan untuk beranjak dari kuadran yang fana menuju ke kuadran yang tanpa syarat – kuadran kaum idealis dan puritan.
Ada satu ilustrasi mengenai mencintai atas dasar kepintaran orang yang dicintai. Konon, di sebuah fakultas sastra di salah satu universitas terkemuka di Indonesia, terdapat seorang mahasiswi yang sangat pandai, bernama Soneta. Ia menguasai dengan baik sekali sastra Indonesia dan Eropa. Puisi adalah menu pembukanya setiap hari dan prosa menu utamanya. Novel-novel karya Albert Camus, Gabriel García Márquez, Victor Hugo, Charles Dickens, dan beberapa penulis besar lainnya adalah sahabat setianya di manapun ia berada, di kala sedih maupun senang. Penampilan Soneta sederhana dan penuh senyum bersahabat. Pesona intelektualnya itu telah lama membuat kagum seorang pria - rekan kuliahnya yang bernama Tamsil - yang memang pada dasarnya cepat kagum dengan gadis pandai. Tamsil berharap agar ia segera mendapat kesempatan untuk mengungkapkan isi hatinya.
Singkat cerita, akhirnya Soneta menjadi kekasih Tamsil. Pada awalnya, ia menyangka bahwa Tamsil mencintainya apa adanya (the way she is). Ternyata ia keliru, pria itu mencintainya hanya karena pesona intelektualnya saja. Jadi, sebenarnya yang dicintai adalah pesona intelektualnya, bukan dirinya seutuhnya.
Semua kebohongan ini akhirnya terungkap juga. Cerita singkatnya sebagai berikut: Pada suatu hari Soneta yang sedang menderita sakit kepala berjalan menuruni tangga menuju ke lantai bawah rumahnya, karena terlalu pusing, akhirnya ia kehilangan kontrol dan jatuh dari tangga yang cukup tinggi. Kecelakaan ini menyebabkan kerja saraf di otaknya agak terganggu sehingga, walaupun sudah dioperasi pun, ia dinasehati untuk tidak memikirkan hal-hal yang rumit. Ini tentu saja berat bagi seorang mahasiswi sastra seperti Soneta, karena untuk memahami karya-karya sastra ia membutuhkan cukup banyak energi untuk berpikir. Soneta mau tidak mau menuruti segala nasehat dokter demi keselamatan dirinya, walau amat kecewa.
Semua yang telah menimpa Soneta seolah-olah telah menghapus segala impiannya untuk menjadi sastrawan dan kritikus sastra yang handal dalam waktu yang singkat. Sebenarnya tidak separah itu keadaannya karena para dokter bedah menjamin bahwa keadaannya akan menjadi normal kembali dalam waktu kurang dari dua tahun bila ia mematuhi segala nasehat dokter. Karena keadaan ini, secara otomatis prestasinya akademisnya menurun secara drastis.
Lalu di mana gerangan si Tamsil, yang sebelumnya sangat lengket bagaikan perangko? Si Tamsil menunjukkan empatinya dengan menjenguk dan menjaga Soneta di rumah sakit. Tetapi setelah tahu bahwa si Soneta harus berhenti kuliah selama dua tahun dan karena yakin bahwa prestasi akademis si Soneta pasti menurun drastis dan sulit dipulihkan, maka ia segera "mohon diri" dan "mundur secara teratur". Apa yang diharapkan Tamsil, diri si Soneta seutuhnya atau hanya satu titik dari samudra kehidupan si Soneta yang amat luas?
Ada lagi ilustrasi yang lain. Konon, Albert Einstein, pernah bertemu dengan Elvis Presley dan Sultan Hassanal Bolkiah, dari Brunei, dalam suatu kunjungan di Menara Eiffel. Maaf, karena dokumentasi yang kurang rapi, maka waktunya tak pernah diketahui. Pada pertemuan itu, karena didorong oleh kepedulian akan cinta yang terlalu berlandaskan kelebihan-kelebihan yang fana, mereka sepakat untuk mengadakan kampanye "Anti Cinta Karena Kelebihan Fana". Ketiga-tiganya mengimbau seluruh pria dan wanita untuk mencintai dengan melihat diri pribadi yang dicintai seutuhnya tanpa syarat (sans conditions).
Ikrar mereka unik karena dirumuskan dalam bentuk puisi pendek yang terdiri dari empat baris, dengan perincian sebagai berikut: judulnya dibacakan bersama; baris pertama dibacakan oleh Einstein; baris kedua oleh Elvis; baris ketiga oleh Sultan; dan, baris terakhir dibacakan bersama-sama. Versi asli puisi ini masih tersimpan dengan rapi di perpustakaan agung Nyi Roro Kidul, di kawasan Laut Selatan. Di sini penulis hanya menuliskan versi terjemahan bebasnya saja dari bahasa Lintasbuana, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut:
IKRAR CINTA
Jangan aku dikau cintai karena isi kepalaku;
Jangan aku dikau cintai karena tampan rupaku;
Jangan aku dikau cintai karena berat pundi-pundiku.
Cintailah daku laksana seorang buta.
Penulis berpikir bahwa benar tidaknya kedua ilustrasi di atas tidak perlu dipersoalkan. Kita seyogyanya berusaha memetik makna yang ada di balik keduanya. Kita sungguh telah diajak untuk tidak mengukur kedalaman suatu samudra hanya dari satu tepi yang dangkal, yang mungkin sebentar lagi akan semakin dangkal karena perubahan gejala alam. Mari kita telusuri dan layari samudra itu sebelum kita memutuskan untuk "berkubang" di sana selamanya!
Tenyata mencintai dengan mengesampingkan kelebihan-kelebihan yang fana seperti tersebut di atas sulit untuk diwujudkan, kecuali bila kita memang sungguh-sungguh menon-aktif-kan fungsi mata tubuh kita dan hanya mengandalkan mata batin yang jarang kita fungsikan. Banyak kali justru hal-hal seperti di atas-lah yang senantiasa kita jadikan pijakan dan patokan untuk bertolak kepada atau merumuskan perasaan-perasaan yang tatarannya lebih tinggi. Alangkah bijaknya bila kita sadar bahwa yang bersifat fana akan tetap bersifat fana!
Bila kita berprinsip bahwa mencintai seseorang apa adanya adalah suatu idealisme yang mesti diraih, baiklah kita berpacu untuk meraihnya selama kita masih diberi waktu yang cukup. Ingat, waktu terus berlalu, dan belum tentu kita akan peroleh kesempatan yang sama untuk mewujudkannya pada masa-masa yang akan datang!
Sebagai penutup tulisan ini, penulis berharap agar tulisan ini dapat menjadi bacaan yang berkenan di hati para pembaca. Syukurlah bila ada butir-butir mutiara kehidupan yang dapat dipungut darinya.
Yogyakarta, Juni 2003
-----------------------
*) Yohanes Manhitu adalah penulis dan penerjemah, berdomisili di Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment