Sunday, September 30, 2012

Molok atu hasoru rai-naroman


Hosi: Yohanes Manhitu

Kalan nia oin be hakmatek tebes
dada ha’u ba furak ne’ebé boot,
hanesan tasi luan ida lahó ninin
be dada ema ró ba ninia klaran.

Minutu ba minutu liu nafatin,
ha’u sente hanesan ema la’o-rai
book an entre fatin no tempu
molok rai-naroman hakse’ok.

Ha’u sei nunka hakribi rai-loro
maski fuan-monu ba rai-kalan.
Durante kalan naruk, ha’u bele
hetan fatin iha fulan-naroman.

Karik rai-kalan mós hakarak
atu ha’u hamaluk iha viajen,
hosi momentu loro-monu
to’o molok manu-kokoreek.

Yogyakarta, fulan-Agostu 2012
-----------------------------------------

Sebelum menyongsong fajar


Oleh: Yohanes Manhitu

Rupa malam yang begitu tenang
menarikku kepada keelokan agung,
ibarat samudra luas tiada bertepi
yang menarik pelaut ke pusarnya.

Menit demi menit terus berlalu,
kumerasa aku ibarat pengembara
yang bergerak di antara ruang dan waktu
sebelum fajar mengucapkan salam.

Aku tak akan membenci siang
walau kujatuh hati pada malam.
Selama malam panjang, aku bisa
temukan ruang di terang rembulan.

Barangkali malam pun berkenan
agar ia kutemani dalam perjalanan
dari saat sang mentari terbenam
hingga sebelum ayam berkokok.

Wednesday, August 1, 2012

Agar kau dan aku senapas




Oleh: Yohanes Manhitu

Aku bertekad menulis di bubungan awan
agar surga bisa susuri bukit dan ngarai sajakku
dengan sinar mentari pagi sebagai lenteranya.

Di sana, setiap bait sajakku yang menari-nari
dilumuri madu rimba perawan berahmat
dan diperciki wewangian padma eden
yang di matanya asing kelayuan.

Dan kemudian butir-butir kataku
‘kan kurangkai serupa kuntum melati dini
dan kukalungkan di lehermu, wahai kekasih,
yang telah serahim dengan pualam bumiku
agar kau dan aku senapas hirup udara firdaus.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 21 Agustus 2004

Nilai sehelai kehangatan



Oleh: Yohanes Manhitu

“Dingin...” bisik tubuhku yang diterpa dingin malam.
“Kubutuh kehangatan...” pinta kulitku yang menggigil.
Tapi kehangatan tak kunjung tiba hingga datang fajar.

Wahai dingin, mengapa kau siksa tubuh tak bersalah?
O kehangatan, kenapa kau enggan merangkul manja?
Mengapa pula kau biarkan malam lepas tak berbekas?

“Berapa harga sekilo kehangatan di toko antidingin?”
Tanya seorang pria kesal yang tersiksa dingin malam.
“Sekilo seharga satu ton cinta,” kata seorang pelayan.

Sang pria tutup seonggok dompet tak berisikan cinta.
Lalu pergi tinggalkan toko penuh sejuta kata kecewa.
“Kenapa kehangatan sangat mahal?” gerutu sang pria.

Wahai sang kehangatan, penebus sejati di kala dingin,
Jangan pernah kau biarkan tubuh kurus ini membeku!
Liputilah ragaku tanpa berhitung dolar ataupun rupiah!

Baciro-Yogyakarta, 25 Agustus 2003

Monday, July 2, 2012

Di Tengah Kabut

Sumber: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXVfu9klPnclmfNq2KCidM4SKQ43OXrAo0XpYlr8IWssaJhu0fatfe725h-IeybzVrE8ocIbdHB3YBIs-03UxHWdK6edoNE2xyROJMoXl7XPBQTEhkHRwjkx5tzbWR0gWyH3LB4VTo8rre/s1600/Entre+Brumas.JPG

Oleh: Yohanes Manhitu 
 
Berarak teratur kabut-kabut putih
yang lalu menyelimuti untuk sesaat
ruang hijau di antara bukit-bukit
di bawah atap luas jagat raya.

Menari riang bunga-bunga indah
di tengah kabut bercorak putih
membentuk sekelompok penari
seakan-akan berada di panggung.

Lihat! Kini kabut-kabut menikmati
kebebasan melewatkan saat indah
sebelum undur nyaris tak berbekas
selagi angin tak berembus kencang.

Warna biru berpadu dengan kabut
dan langit pun jadi kanvas halimun.
Masih berkuasa kabut-kabut putih
ketika wajah mentari tak tampak.

Tanpa ragu bak penari-penari pasti,
masih beraksi bunga-bunga itu hening.
Menari itu pergumulan di tengah kabut,
tempat kekaburan memegang mandat.

Yogyakarta, September 2011

----------------------------------

Entre Brumas

Por: Yohanes Manhitu

Desfilan regularmente brumas blancas
que pues cubren por algún momento
un espacio verde entre las colinas
bajo el vasto tejado del universo.

Bailan con alegría flores hermosas
entre las brumas de color blanco
formando un grupo de bailarinas
como si estuvieran en escenario.

¡Mira! Ahora disfrutan las brumas
la libertad de pasar un buen rato
antes de retirarse casi sin trazas
mientras no sopla fuerte el viento.

El azul está mezclado con brumas
y el cielo se hace lienzo neblinoso.
Reinan todavía las nieblas blancas
cuando el sol no muestra su rostro.

Sin duda como seguras bailarinas,
obran todavía las flores sin ruido.
Es una lucha bailar entre brumas,
donde vaguedad tiene el mando.

Yogyakarta, septiembre de 2011

----------------------------------
Versi Rumania oleh Elena Liliana Popescu

Între Ceţuri

de Yohanes Manhitu

Defilează în mod regulat ceţuri albe
care apoi acoperă, la un moment dat
spaţiul verde dintre dealuri
sub marele acoperiş al universului.

Dansează cu bucurie frumoase flori
între ceţurile albe
formând un grup de dansatoare
ca şi cum ar urma un scenariu.

Priveşte! Acum se bucură ceţurile
de libertatea de a petrece un bun moment
înainte de a se retrage aproape fără urmă
în timp ce vântul va sufla cu putere.

Albastrul este amestecat cu ceţuri
şi cerul devine o pânză înnorată.
Încă domnesc ceţurile albe
când soarele nu îşi arată faţa.

Fără îndoială ca autentice dansatoare
realizează piruete fără zgomot.
Este o luptă să dansezi între ceţuri,
unde neclaritatea este în elementul ei.

Traducere de Elena Liliana Popescu
Bucarest, Romania, 06-01-2012

-----------------------------------
Catatan: Versi Indonesia dan Spanyol puisi ini terbit di antologi "EL COLOR DE LA VIDA"--antologi puisi 60 penyair dari lima benua menurut karya-karya pelukis dan pematung kenamaan Spanyol Cristóbal Gabarrón (SELIH, Salamanca, Spanyol, 2011). Versi PDF antologi tersebut terdapat di http://www.elena-liliana-popescu.ro/pdf/poeti-el_color_de_la_vida.pdf



Ikut dalam "EL COLOR DE LA VIDA"--antologi puisi 60 penyair sedunia menurut karya-karya seniman Spanyol Cristóbal Gabarrón

Sumber: http://www.larazon.es/images/uploads/image/f0/f5/355466/c617x266_039CYL05FOT1.jpg?1328389818
Puji Tuhan! Setelah ikut dalam LOS POETAS Y DIOS, antologi puisi penyair Hispanik (León, Spanyol, 2007), dan EL PAISAJE PROMETIDO, antologi puisi 68 penyair dari lima benua menurut karya-karya pelukis kenamaan Spanyol José S. Carralero (SELIH [Sociedad de Estudios Literarios y Humanísticos de Salamanca], Spanyol, 2010), kini hadir bersama dengan Luis Alberto de Cuenca, Antonio Colinas, Luis Antonio de Villena, Albano Martins, Verónica Amat, Juan Antonio González Iglesias, Antonio Colinas, Alfredo Pérez Alencart, Carlos Aganzo, Violeta Bóncheva, Kellam Greenwood, Cho Seung-hui, Yao Xiaquin, José María Muñoz Quirós, Antonio Salvado, Krystyna Rodowska dan lain-lain dalam "EL COLOR DE LA VIDA"--antologi puisi 60 penyair dari lima benua menurut karya-karya pelukis dan pematung kenamaan Spanyol Cristóbal Gabarrón (SELIH, Salamanca, Spanyol, 2011).

Wawancara televisi Spanyol dengan Alfredo Pérez Alencart, presiden SELIH: http://www.youtube.com/watch?v=CW3iutn_Ja4

Sunday, July 1, 2012

Baca Puisi "Menyusuri Lorong Waktu-Yohanes Manhitu" Oleh: Alvian Kurniawan


Silakan simak pembacaan puisi saya "Menyusuri Lorong Waktu" (15 Mei 2004) oleh Alvian Kurniawan. Kepada Bung Alvian, saya ucapkan banyak terima kasih. Salam sastra,
-----------------------------------------------

Menyusuri Lorong Waktu

Karya: Yohanes Manhitu

Sengaja kududuki kursi yang sama,
menghadap ke meja yang sama pula
di bawah langit-langit yang sama
pada menit-menit yang kukira sama.

Dalam ruang yang sama, tampak abadi,
pada masa yang tak tampak berbeda,
kau koyak tirai hatimu yang terluka
akibat sayatan dalam alam maya.

Masih kuingat isakmu melintasi malam,
kertas-kertas kerdil jembatani isi benak.
kuhanya sanggup tawarkan cahaya redupku
yang kau balas dengan pelukan merdekamu.

Sengkan-Yogyakarta, 15 Mei 2004

Renungan di Awan


Oleh: Yohanes Manhitu

Dua jam menerjang awan mengarak,
dua jam melintas di tebaran kabut,
dua jam pula kunikmati renungan di awan.

Oh, Engkau Yang Mahakuasa!
Tak dapat kulukis kuasa ilahiMu,
tak kuasa pula kupahat tangan kokohMu.

Di bumi, Kau tak kujumpai,
di antara barisan awan pun Kau tiada,
tapi Kau sentil nuraniku di langit sekalipun.

Engkaulah yang bertakhta di awang-awang.
hamba tak pantas Engkau lawati.
Bersabdalah saja maka hamba ‘kan selamat
menerjang awan dan kabut.

Kursi 17d-Boeing 737-400-Batavia Air
22 April 2003

Saturday, June 30, 2012

Kini Masih Ada Bulan


Oleh: Yohanes Manhitu

beberapa malam ini ada bulan
yang lembut bersinar di atas sana
walau dari siang hingga tiba petang,
titik-titik hujan sebesar biji sorgum,
dan sekerdil jewawut yang mandul
sibuk membasuh wajah kota kami

sinar bulan begitu cerah, indah
sehingga helai-helai daun palem,
lembar-lembar daun melati putih
dan pucuk-pucuk pohon rambutan,
tak ketinggalan kaca-kaca Kijang,
tampak bangga memancarkannya

kota kami telah lama dibuai mimpi
yang diantar dengan alunan musik
gubahan kelompok tikus remaja kota
dan konser sepasukan jangkrik musisi
yang telah lama impikan alam basah
‘tuk turut rasakan sejuk joie de vivre.

bumi kami telah lama rindukan bulan
yang kuasa korbankan sinar kepolosan,
yang resapkan percikan cahaya takzim,
yang dinginkan api di rongga dada kami,
yang terangi labirin gelap di kepala kami.
wahai bulan, ingin kami berteriak lantang
dari balkon-balkon hati yang tak beratap
lihatlah wahai dunia, habemus lunam!

Pugeran Timur-Yogyakarta
28 November 2004


[1] kenikmatan hidup (bahasa Prancis)
[2] kini kita punya bulan (bahasa Latin)

Gadis Selaksa Kitab


     à Happy, la bibliothécaire

senyumanmu menawan
tatapanmu bukan ancaman
harapanmu ke awan

dirimu asing bagiku
kuharap aku tak sinting di matamu
tak pernah kulihat helai-helai rambutmu
karena ada sebentuk mahkota di kepalamu

tak ingin aku banyak berkata
lidahku tak kuasa karena lata
mungkin tuturku bakal terbata-bata

gerakmu lincah di antara selaksa kitab
engkau lihai memperlakukan kitab
jemari tanganmu akrab dengan kitab
bolehkan kupanggil engkau ‘gadis selaksa kitab’?

Pugeran Timur-Yogyakarta, Maret 2003
Karya: Yohanes Manhitu

Friday, May 18, 2012

Ahi-suar halai tuir anin : Tetun-Indonézia


Hosi: Yohanes Manhitu

Loron ba loron ita sura di’ak no aat iha laran kle’an,
no koko atu tetu buat hotu-hotu nia sentidu ho neon.
Dala ruma ita sei buka-tuir ahi-suar be tuir anin,
maibé la konsege hamate ahi-lakan ki’ikoan.

Loron ba loron ita haka’as an atu moris nafatin
no kaer metin esperansa ne’ebé sai murak.
Hanesan ahi-suar be hatada ahi-lakan,
esperansa sai marka ba ita-nia moris.

Loron no kalan ita hateke ba lalehan aas,
atu buka lia-hatán hosi loromatan no fulan;
ita mós hein se fitun sira sei bele hatán ita.
Sira sei ko’alia ho ita hodi lian lalehan nian?

Kuandu haree ahi-suar mosu hosi foho sorin,
no depois halai tuir anin, i lakon lahó marka,
ita sei lailais hatene katak iha moris nafatin
no ema ko’alia hela ho mundu no lalehan.

Yogyakarta, fulan-Abríl 2008
-----------------------------------

Asap api diterbangkan angin

Oleh: Yohanes Manhitu

Hari demi hari kita membilang baik dan buruk di dalam lubuk hati,
dan mencoba menimbang makna segala sesuatu dengan akal budi.
Terkadang kita memburu asap api yang diterbangkan angin,
namun tak berhasil memadamkan nyala api kecil.

Hari demi hari kita berusaha untuk terus hidup
dan memegang teguh janji yang begitu berharga.
Laksana asap yang menunjukkan nyala api,
harapan itu menjadi tanda bagi hidup kita.

Siang dan malam kita menengadah ke langit tinggi,
untuk mencari jawaban dari matahari dan rembulan;
kita pun berharap agar bintang-bintang memberi jawaban.
Akankah mereka berbicara dengan kita dalam bahasa surgawi?

Tatkala melihat asap api yang timbul dari sisi gunung,
dan kemudian diterbangkan angin, dan hilang tanpa bekas,
kita akan lekas tahu bahwa masih ada kehidupan
dan orang masih bercakap dengan surga dan bumi.

Cinta Menyapa Setiap Hari


Karya: Yohanes Manhitu

Tiada sajak yang telah sempurna
‘tuk melukiskan keagungan cinta.
Dan cinta itu bukan seuntai kata
yang menguap dari mulut pelupa.

Cinta hadir dalam setiap bahasa.
Meskipun orang fasih seribu logat,
tiada jaminan ia pencinta sejati.
Bahasa cinta belumlah tindakan!

Tiada maksud aku berdalil cinta
karena cinta bukanlah dalil-dalil.
Dan walau kini aku berkata-kata,
anggap saja kucoba memahami.

Jagat raya tercipta berkat cinta;
manusia hadir sebagai buah cinta.
Tiap hari baru tiba karena cinta,
dan ‘tuk tiap makhluk ada cinta.

Yogyakarta, 14 Februari 2012

Monday, April 30, 2012

Kesunyian


Karya: Yohanes Manhitu

malam ini kulihat lagi munculmu;
malam ini kau kembali membayang.
siapa gerangan telah mohon hadirmu?
siapa pula yang harapkan datangmu?

seribu satu macam cara telah kutempuh:

seribu satu cara ampuh ‘tuk tolak datangmu.
namun kau masih tetap selimuti jiwa-ragaku.
tak pernah kau hiraukan rasa benciku padamu.

kini kutahu mengapa kau tetap datang;

kini kumengerti mengapa kau selalu hadir.
ternyata hayat dan badan yang mengundang,
agar kautemani mengarungi masa dan takdir.

Kalimalang-Jakarta Timur, 20 April 2003

Di Samudra Kata

Foto: https://unsplash.com/s/photos/sailing

Karya: Yohanes Manhitu

Hampir dua minggu kuberlayar.
Hampir dua pekan kumerasa liar,
mengarungi samudra luas lagi dalam,
samudra kata, antara siang dan malam.

Kucoba mengenal kata bisu, jua makna,
di hadapan mesin ahli meracik kata-kata,
di antara kumpulan kitab rupa-rupa kata.
Kuterpasung kenikmatan buaian kata.

Di luar sana, kupandang samudra sejati—
himpunan tetesan air nan dibendung Khalik.
Airnya sejuk dan jadi berkat berjuta makhluk.
Aku makhluk di antara dua samudra beda rupa. 

Di luar sana, kudengar rintik hujan basuh bumi.
Tak deras, tak bengis, namun kirim dingin malam.
Kubiarkan embusan pawana masuki geladak diam.
Aku masih di sini, beranjak dari bandar S menuju Z.

Tuktuk, Pulau Samosir, Sumatra Utara, 4 Mei 2003