Tuesday, August 30, 2016

Anak panah harus ditarik mundur

Foto: biologigonz.blogspot.com
Benar kata orang bijak, bahwa anak panah harus ditarik mundur agar bisa meluncur jauh ke depan. Berarti kegagalan itu suatu transisi untuk lebih sukses. Tetapi pada umumnya, ketika gagal, kita larut dalam 'kemunduran' itu sehingga jangankan untuk meluncur, melangkah dengan gontai saja kita sudah enggan. (Yogyakarta, 27 Agustus 2011)

Apalah artinya makan kenyang, tapi miskin gagasan

Foto: https://www.pexels.com/search/pen

Kehabisan gagasan di otak bisa sama dengan kehabisan beras di gudang. Apalah artinya makan kenyang, tapi miskin gagasan, apalagi yang cemerlang. Tetapi tentu itu tak berarti untuk mempunyai gagasan orang harus lapar atau kelaparan. 

(Yogyakarta, 29 Agustus 2012)

Sekilas Informasi tentang "Ortografia Patronizada"

Foto: Cuplikan visual dari tulisan

Tabik! Ini bukan curhat, melainkan informasi ringan seputar bahasa. Sudah beberapa kali saya ditanya tentang ejaan yang saya gunakan untuk menulis puisi, cerpen, artikel dan lain-lain dalam bahasa Tetun Nasionalbahasa nasional dan resmi pertama Timor-Leste. Saya menjawab bahwa saya selalu menulis dan menerjemahkan dengan ejaan resmi Timor-Leste yang disahkan oleh pemerintah RDTL pada tanggal 14 April 2004. Namanya "Ortografia Patronizada" (Ejaan Baku). Tetapi sayang, hingga kini, ejaan baku ini belum digunakan secara menyeluruh di Timor-Leste sehingga terdapat "Babel" penulisan. Bagi saya, ejaan sebuah bahasa nasional atau resmi merupakan bagian dari identitas nasional sebuah negara yang patut dihormati. Tentu, sebagai orang Indonesia, saya akan "tersinggung berat" kalau seorang asing menulis dalam bahasa Indonesia tanpa mengindahkan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Tentu kita tidak dapat membayangkan masa depan sebuah bahasa resmi tanpa ejaan yang baku. Berikut ini adalah Sejarah Ejaan Baku Bahasa Tetun yang diterbitkan Instituto Nacional de Linguística di Dili, Timor-Leste. Silakan klik https://www.scribd.com untuk membacanya. 

Salam bahasa dan sastra,

Thursday, August 18, 2016

IN MEMORIAM: Seorang Petani Tradisional dan "Pengurai" Silsilah

Simon Petrus Tunliu (Dokumen Pribadi)

SEBAGAI cucu, setiap tahun, sesuai dengan tradisi kami, saya menyalakan sebatang lilin untuk mendoakan arwah ba'i (kakek) sayabapak dari mama sayaSimon Petrus Tunliu (Suli Tunliu) yang kembali ke hadirat Tuhan pada tanggal 18 Agustus 1996 (hari ini tepat dua puluh tahun). Hari penting ini mudah diingat karena bertepatan dengan hari ulang tahun adik bungsu saya Ardhy Manhitu. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Dik Ardhy! Semoga Adik selalu diberkati Tuhan dengan kesehatan, keberhasilan, dan kebahagiaan.

Setiap kali memperingati hari meninggalnya Ba'i Simon, secara pribadi, sebagai pencinta bahasa dan sastra, saya mengenang kepergian sosok bahasawan dan sastrawan Dawan sejati (menurut arti dan konteks tradisional). Sekadar untuk diketahui, tanpa bermaksud untuk memamerkan secara tidak proporsional, ba'i saya seorang petani tradisional yang juga penutur silsilah dan riwayat suku di kampung, bukan di sonaf (istana). Ba'i juga piawai berpantun Dawan---hal yang belum bisa saya warisi dengan sempurna. Perlu lebih banyak upaya untuk maksud indah ini. Ba'i saya memang bukan pesohor bahasa dan sastra yang pernah muncul di layar kaca. Tetapi dengan cara dan peranannya sendiri, ba'i saya melakukan apa yang patut dilakoni sesuai dengan konteks budaya dan sosial zamannya di pelosok Timor Barat. Harus saya akui bahwa dorongan bagi saya untuk tetap bi(a)sa berbahasa dan bersastra Dawan pertama-tama datang dari ba'i saya ini. Ikatan emosional di antara kami pun lebih kuat, terutama karena saya adalah cucu pertama dan lahir di kampung mama. Obrolan-obrolan kami di dalam "rumah bulat", di sekitar tiga batu tungku (Dawan: tunaf teun), di Desa Sunuyang terletak di kaki Gunung Sunu, Kab. Timor Tengah Selatan, NTTtatkala saya masih bocah, pada saat menikmati liburan di kampung, tetap membekas indah dan segar hingga kini, ketika sudah lama saya tidak tinggal di kampung dan menikmati udara yang begitu segar di kaki "gunung botak" itu.

Dalam mempelajari dan juga melestarikan bahasa dan sastra, termasuk bahasa dan sastra daerah, kita perlu merujuk ke sosok-sosok yang dianggap sebagai teladan. Untuk konteks Dawan, para atekanab (atakanab) dan mafefâ adalah sosok-sosok ideal yang secara lisan menjaga kemurnian bahasa dan sastranya. Tentang hal ini, saya teringat akan kata-kata bagus Samuel Jonhson, sang pekamus legendaris Inggris itu: "It is the poets who keep the purity of the language" (Para penyairlah yang menjaga kemurnian bahasa).

Akhir kata, sebagai seorang cucu, saya berdoa agar Tuhan, Sang Pujangga Mahaagung, memberikan istirahat dan kebahagiaan surgawi kepada hambanya Simon Petrus Tunliu. Dan kiranya dari surga, alam terpuitis, sang mantan petani kecil dan "atekanab" mendoakan para anak dan cucunya yang masih mengembara di muka bumi ini. Uisneno nok ma npanat kit piuta (Dawan: Tuhan menyertai dan melindungi kita selalu). (Berbah, Yogyakarta, Kamis, 18 Agustus 2016)

Monday, August 1, 2016

Terima kasih, Ibu Meinar Louis! Selamat beristirahat!

Foto: http://www.provoke-online.com

Meinar Louis, pencipta lagu anak-anak "Bintang Kecil", tutup usia pada hari Selasa, 28 Juli 2016 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, di usia 85 tahun. Terima kasih, Ibu Meinar! Semoga arwah Ibu memperoleh istirahat dan damai surgawi. "Bintang Kecil" adalah lagu pertama yang saya hafal secara utuh puluhan tahun silam. Disadari atau tidak, lagu yang Ibu ciptakan telah membantu berjuta anak kecil belajar menjadi nyaman dengan "tempat bintang". Salam hormat,
-----------------------------------

Bintang kecil, di langit yang biru
 Amat banyak, menghias angkasa
Aku ingin, terbang dan menari
Jauh tinggi, ke tempat kau berada

Mulailah menulis puisi atau apa pun ....

Ilustrasi: uzxfa2csh2.americanunfinished.com

Kata suara hati, "Mulailah menulis puisi atau apa pun dalam bahasa yang paling maksimal kaugunakan sebelum kaucoba untuk melakukannya dalam bahasa lain." Ternyata benar, kepekaan diksi dan lain-lain dimulai dalam bahasa kita sendiri, termasuk bahasa daerah kita yang jarang dipakai untuk menulis. (Maredan, Berbah, Yogyakarta)

Dua puisi Esperanto saya di edisi ke-277 buletin sastra "Vesperto" (Hungaria, Juni 2015)

Foto: Cuplikan dari "Vesperto" edisi 277 (Juni 2015)

Salah satu keuntungan menulis, terutama sastra, adalah kita dapat menyapa pembaca di banyak tempat. Peluang dan jangkauan berbagi ini menjadi lebih luas, terlebih di zaman siber ini, jika tulisan dapat menjangkau para pembaca di berbagai negara dalam bahasa yang mereka mengerti. Dalam hal ini, karya bisa ditulis secara langsung dalam atau diterjemahkan ke bahasa asing. Begitulah! Tidak sedikit media di luar sana yang bisa menerbitkan tulisan-tulisan kita.

Buletin sastra Vesperto yang terbit di Hungaria adalah salah satu media yang menerbitkan beberapa puisi Esperanto asli saya pada awal kepenulisan saya dalam bahasa hebat ini (sejak 2006). Media sastra lain yang menerbitkan puisi (dan esai) Esperanto saya adalah Beletra Almanako (New York, AS), La Karavelo (Portugal), Esperanto en Azio (Jepang), dan Sennaciulo (Prancis). Semoga daftar media Esperanto ini bisa bertambah.

Sejumlah puisi Esperanto saya dikutip tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, tetapi dicantumkan di media dengan nama penulis dan sumber yang jelas. Bagi saya, itu tidak menjadi masalah. Ini bukan plagiat kok! Saya baru tahu, setelah melacak di internet, bahwa ternyata pada edisinya yang ke-277 (Juni 2015), buletin Vesperto memuat dua puisi Esperanto yang saya terjemahan sendiri dari puisi-puisi Dawan saya: SCIA FLUO NEHALTIGITA (dari HINE IN SAIN KAÄTUÄS) dan SUFERA FRUKTO (dari SUTAISE IN FUAN).

Salam mesra dan salam sastra bagi para penikmat sastra.