Simon Petrus Tunliu (Dokumen Pribadi) |
SEBAGAI cucu, setiap tahun, sesuai dengan tradisi kami, saya menyalakan sebatang lilin untuk mendoakan arwah ba'i (kakek) saya―bapak dari mama saya―Simon Petrus Tunliu (Suli Tunliu) yang kembali ke hadirat Tuhan pada tanggal 18 Agustus 1996 (hari ini tepat dua puluh tahun). Hari penting ini mudah diingat karena bertepatan dengan hari ulang tahun adik bungsu saya Ardhy Manhitu. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Dik Ardhy! Semoga Adik selalu diberkati Tuhan dengan kesehatan, keberhasilan, dan kebahagiaan.
Setiap kali memperingati hari meninggalnya Ba'i Simon, secara pribadi,
sebagai pencinta bahasa dan sastra, saya mengenang kepergian sosok
bahasawan dan sastrawan Dawan sejati (menurut arti dan konteks
tradisional). Sekadar untuk diketahui, tanpa bermaksud untuk memamerkan
secara tidak proporsional, ba'i saya seorang petani tradisional yang
juga penutur silsilah dan riwayat suku di kampung, bukan di sonaf (istana). Ba'i juga piawai berpantun Dawan---hal yang belum bisa saya
warisi dengan sempurna. Perlu lebih banyak upaya untuk maksud indah ini.
Ba'i saya memang bukan pesohor bahasa dan sastra yang pernah muncul di
layar kaca. Tetapi dengan cara dan peranannya sendiri, ba'i saya
melakukan apa yang patut dilakoni sesuai dengan konteks budaya dan
sosial zamannya di pelosok Timor Barat. Harus saya akui bahwa dorongan
bagi saya untuk tetap bi(a)sa berbahasa dan bersastra Dawan pertama-tama
datang dari ba'i saya ini. Ikatan emosional di antara kami pun lebih
kuat, terutama karena saya adalah cucu pertama dan lahir di kampung
mama. Obrolan-obrolan kami di dalam "rumah bulat", di sekitar tiga batu
tungku (Dawan: tunaf teun), di Desa Sunu―yang terletak di kaki Gunung
Sunu, Kab. Timor Tengah Selatan, NTT―tatkala saya masih bocah, pada
saat menikmati liburan di kampung, tetap membekas indah dan segar hingga
kini, ketika sudah lama saya tidak tinggal di kampung dan menikmati
udara yang begitu segar di kaki "gunung botak" itu.
Dalam
mempelajari dan juga melestarikan bahasa dan sastra, termasuk bahasa dan
sastra daerah, kita perlu merujuk ke sosok-sosok yang dianggap sebagai
teladan. Untuk konteks Dawan, para atekanab (atakanab) dan mafefâ adalah sosok-sosok ideal yang secara lisan menjaga kemurnian bahasa dan
sastranya. Tentang hal ini, saya teringat akan kata-kata bagus Samuel
Jonhson, sang pekamus legendaris Inggris itu: "It is the poets who keep
the purity of the language" (Para penyairlah yang menjaga kemurnian
bahasa).
Akhir kata, sebagai seorang cucu, saya berdoa agar
Tuhan, Sang Pujangga Mahaagung, memberikan istirahat dan kebahagiaan
surgawi kepada hambanya Simon Petrus Tunliu. Dan kiranya dari surga,
alam terpuitis, sang mantan petani kecil dan "atekanab" mendoakan para
anak dan cucunya yang masih mengembara di muka bumi ini. Uisneno nok ma
npanat kit piuta (Dawan: Tuhan menyertai dan melindungi kita selalu). (Berbah, Yogyakarta, Kamis, 18 Agustus 2016)
No comments:
Post a Comment