Tuesday, May 31, 2011

Hahú hosi Na’i loron-moris

Hosi: Yohanes Manhitu

Ha’u sei lembra loron ne’ebá,
bainhira misa foin de’it remata,
no ita aprezenta malu la kleur.
Ema sira hamriik iha igreja li’ur.

Ne’e dala uluk mai ita na’in-rua,
hetan malu ho ksolok iha knua.
Ita ida-idak hanesan ema foun,
hafoin bolu malu alin no maun.

Loron liu tiha mais ita mantein
fafutuk foun no hamutuk hein
loron-aban sei hateten saida
kona-ba fini babeluk foun ida.

Parese dalan sei naruk hela
mais henesan ema joga bola,
ita aprende bainhira halimar,
atu respeita isin no klamar.

Ha’u sei lembra loron ne’ebá,
bainhira festa ita foin remata,
ita ko’alia di’ak mais la kleur.
Neineik tinan ida sei hakur.

Noemuti, 27 fulan-Maiu 2011
----------------------------

Berawal dari hari lahir Tuhan

Karya: Yohanes Manhitu

Kumasih kenang hari itu,
ketika misa baru saja usai,
dan kita berkenalan tak lama.
Orang-orang berdiri di luar gereja.

Ini kali pertama bagi kita berdua,
bersua dengan gembira di desa.
Masing-masing seperti orang baru,
lalu saling menyebut adik dan kakak.

Hari pun berlalu tetapi kita pelihara
ikatan baru dan bersama menanti
apa yang bakal dibilang hari esok
tentang bibit persahabatan baru.

Tampaknya jalan masih panjang
tetapi serupa orang bermain bola,
kita belajar ketika kita bermain,
untuk hormati tubuh dan jiwa.

Kumasih kenang hari tersebut,
tatkala pesta itu baru berakhir,
kita asyik bercakap tapi tak lama.
Perlahan setahun ‘kan berlalu.

Usia bertambah setahun di sini



Karya: Yohanes Manhitu

Tak terasa kutelah jauh melangkah
laksana musafir menyusuri lembah,
menyeberangi sungai dan lautan,
dan melintasi gunung juga hutan.  

Hari telah berganti hari tiada henti,
meninggalkan jejak untuk diamati.
Gelap dan terang menghias potret
perjalanan yang tak bebas target. 

Sederet panjang waktu terlampaui,
begitu banyak hal belum diketahui,
sehingga tiada henti segala upaya
untuk menemukan berkas cahaya.

Aku anak manusia, insan peziarah,
dilepaskan rahim ke alam sejarah.
Di sinilah aku belajar kenal wujud.
Di sini padaNya aku pun bersujud.

Setelah sekian lama baru kali ini
usiaku bertambah setahun di sini
di tengah-tengah ayah-bundaku,
jua para saudara dan kerabatku. 

Hanya syukur dan terima kasih
bagi Dia, Sang Maha Pengasih
serta mohon sehat dan selamat
yang memenuhi saat berahmat.

Aku masih harus terus berziarah
sambil menilik ke berbagai arah.
Berjalan ke arah upaya berjaya;
Berlayar ke arah hati bertanya.

Noemuti-TTU, 24 Mei 2011

Thursday, April 28, 2011

Kalohan hamaluk ha’u


Hosi: Yohanes Manhitu

Tuur iha aviaun laran,
dook hosi rain nia oin.
Iha kalohan nia klaran,
ha'u temi Na’i nia naran.

Tilun rona aviaun nia lian,
matan la hetan loromatan.
Maibé liuhosi janela oan
ha'u haree ninia roman.

Lakleur aviaun sei tau ain
neineik iha nia to’o-fatin.
Ksolok mosu iha laran
tan Nia haraik bensaun.

Lion Air, fulan-Marsu 2010

---------------------------
Awan menemaniku

Duduk di dalam pesawat ini,
jauh dari permukaan bumi.
Di tengah-tengah awan,
kusebut nama Tuhan.

Telinga mendengar suara pesawat,
mata tak menemukan matahari.
Tapi melalui jendela kecil
kulihat cahayanya.

Sebentar lagi pesawat mendarat
perlahan di tempat tujuannya.
Timbul kegembiraan di hati
karena Ia curahkan berkat.

Poezia-na’in ho maktemok


Hosi: Yohanes Manhitu

Kona-ba poezia-na’in no maktemok,
saida loos mak halo sira oin-ketak?
Se ema ruma husu ha’u nune’e,
ha’u sei hatán hanesan ne’e:

Ho liafuan sira poeta halivre
no ninia fuan maka liberdade.
Ho liafuan sira maktemok futu
no ninia rezultadu maka fatutuk.

Liafuan sira soi kbiit rasik atu kesi
maski mosu hosi libertadór dunik.
Maibé liafuan sira sei kbiit-laek
se ema la hatene trata língua.

Kefa-Timor, fulan-Janeiru 2010

----------------------------
Penyair dan perayu

Tentang penyair dan perayu,
apa yang membedakan mereka?
Jika seseorang bertanya begitu padaku,
maka aku ‘kan menjawab begini:

Dengan kata-kata penyair membebaskan,
dan buahnya adalah kebebasan.
Dengan kata-kata perayu mengikat,
dan akibatnya adalah ikatan.

Kata-kata mempunyai daya pengikat
meski diucapkan pembebas sekalipun.
Tapi kata-kata akan menjadi tak berdaya
bila orang tak tahu memperlakukan bahasa.

Sunday, March 27, 2011

Hosi odamatan ba odamatan

 
Hosi: Yohanes Manhitu

Hanesan rona lia-foun funu nian,
ne'ebé haklaken iha rain tomak,
ita moris daudaun ho ameasa,
no tau esperansa ba destinu.

La’ós iha uma-laran de’it ita rona
ema barak ko’alia kona-ba moris,
ne’ebé sei sai todan lahalimar.
Iha karreta mós ema hateten.

Bainhira nehek sira rame hela
la’o bá-mai hodi prepara an,
ita ema deskansa hakmatek
no neineik hakiak problema.

Se iha uma-laran ita la hetan
isin barak ba bikan no kanuru,
hosi odamatan ba odamatan,
ita sei koko sorte no destinu.

Kefa, fulan-Fevereiru 2011
-------------------------- 

Dari pintu ke pintu

Karya: Yohanes Manhitu

Seperti mendengar kabar perang,
yang tersebar di seluruh negeri,
kini kita hidup dalam ancaman,
dan menaruh harapan pada takdir.

Bukan hanya di rumah kita mendengar
banyak orang percakapkan hidup,
yang ‘kan terasa sangat berat.
Di mobil pun orang bercerita.

Tatkala semut-semut tengah sibuk
berjalan kian-kemari ‘tuk siap diri,
kita manusia beristirahat tenang
dan perlahan ciptakan masalah.

Bila di rumah kita tak temukan
cukup isi bagi sendok dan piring,
bergerak dari pintu ke pintu,
kita ‘kan coba nasib dan takdir.

Kefa, Februari 2011

Bahasa Daerah: Kekayaan Budaya yang Harus Tetap Lestari (Dalam Rangka Peringatan Hari Bahasa Ibu Sedunia)


Oleh: YOHANES MANHITU

PADA era globalisasi dan modernisasi ini, berbicara tentang bahasa daerah—yang umumnya merupakan bahasa ibu di Nusantara tercinta—boleh jadi bukan sesuatu yang menarik dan menantang. Pembaca tak perlu terkejut akan hal ini karena kenyataan menunjukkan bahwa pamor bahasa daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi dengan bahasa Inggris—yang dijuluki bahasa internasional—walaupun sebenarnya belum separo penduduk dunia menggunakannya sebagai alat komunikasi antarbangsa. Tetapi barangkali ada orang yang tergelitik untuk bertanya: Jika demikian, mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua yang diharapkan kembali berjalan di atas rel yang baru? Orang boleh saja mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke kantong atau rekeningnya. Namun dari sudut pandang budaya, orang yang (masih) mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini. Disadari atau tidak, hegemoni bahasa sedang terjadi di dalam masyarakat dan lingkungan hidup kita. Dan tentu saja bahasa-bahasa “besar” yang dianggap “lebih bermanfaat” itulah yang memiliki hegemoni.

Karena asas manfaat itu pula, maka setiap orang yang hendak mempelajari sebuah bahasa baru biasanya memperhatikan terlebih dahulu manfaat (ekonomi) dari bahasa itu. Apakah bahasa yang baru dipelajari itu akan mendatangkan keuntungan material bagi dirinya? Bahasa-bahasa “besar” pun kadang-kadang menjadi objek pertimbangan untung-rugi. Misalnya ketika hendak belajar bahasa Spanyol atau Mandarin, orang akan bertanya mana di antara kedua bahasa tersebut yang lebih menguntungkan, misalnya dalam pasar kerja internasional. Tidak ada salahnya, karena mempelajari bahasa baru juga merupakan investasi. Tetapi tentu prinsip untung-rugi ini akan berdampak sangat negatif jika diterapkan juga pada bahasa daerah.

Apabila setiap pribadi mengedepankan aspek di atas dalam menyikapi bahasa daerah, maka sudah nyaris pasti bahwa bahasa-bahasa daerah, karena dianggap tidak berguna secara ekonomi, akan ditinggalkan. Tidak mengherankan jika orang berkata: “Untuk apa capai-capai dan buang waktu belajar bahasa yang tidak laku di pasar?” Para orang tua yang berpikir bahwa bahasa daerah tidak ada faedahnya bagi kehidupan masa depan tidak akan bersedia mewariskan bahasa ibunya kepada anak-anaknya.

Lain halnya dengan UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Menyadari betul betapa pentingnya bahasa ibu bagi kehidupan umat manusia, maka pada tanggal 21 Februari 1991 di Paris, lembaga PBB ini mencanangkan Hari Bahasa Ibu Sedunia, yang diharapkan dapat berlangsung setiap tahun guna memajukan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia. Diharapkan dengan peringatan hari bahasa ini setiap individu, lembaga, dan pemerintah dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi pelestarian dan kelestarian bahasa ibu di setiap negara, khususnya melalui pendidikan, dengan mengenalkan bahasa ibu/daerah sejak dini kepada anak-anak agar bahasa ini tidak punah, karena mereka adalah generasi penerus bangsa.

Latar belakang Hari Bahasa Ibu Sedunia
Tanggal 21 Februari dipilih menjadi hari untuk mempromosikan keanekaragaman budaya dan bahasa dunia, mengingat peristiwa berdarah yang terjadi di Pakistan Timur pada tanggal 21 Februari 1952, di mana empat orang mahasiswa Universitas Dhaka tewas diterjang peluru polisi setempat demi memperjuangkan diakuinya bahasa Bengali sebagai bahasa nasional. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1948 pemerintah Pakistan menetapkan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional padahal bahasa Bengali—bahasa pujangga tersohor Rabindranath Tagore ini—memiliki jumlah penutur mayoritas.

Makna Hari Bahasa Ibu Sedunia bagi kita
Terdapat sangat banyak bahasa daerah di Indonesia. Situs www.ethnologue.com, sebagaimana dilaporkan di situs Fakultas Sastra Universitas Leiden, Belanda (http://www.let.leidenuniv.nl), mencatat bahwa ada 7.000 bahasa di seantero planet ini, 700 bahasa terdapat di Indonesia, dan sekitar 60-70 bahasa di NTT. Jadi 10% dari seluruh bahasa di dunia terdapat di Indonesia, dan 1% ada di NTT.

Dalam kaitan dengan hal ini, dengan adanya otonomi daerah di Negara Kesatuan Rupublik Indonesia dewasa ini dan diberlakukannya muatan lokal pada pendidikan dasar, pemerintah daerah (pemda)—dalam hal ini dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten—beserta para guru muatan lokal, perlu bergandengan tangan dalam upaya mengejawantahkan undang-undang tersebut di atas. Agar pengajaran bahasa daerah berhasil, perlu dirancang materi dan digunakan metode pengajaran yang tepat.

Demi pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, maka pada Hari Bahasa Ibu Sedunia tahun ini, saya ingin mengajak pembaca, khususnya di NTT tercinta ini, untuk melihat secara sepintas beberapa fungsi dan peranan bahasa daerah sebagai berikut:

a. Alat ungkap kebudayaan
Bahasa daerah adalah alat yang paling tepat untuk mengungkapkan kekayaan budaya suatu suku bangsa. Perlu disadari bahwa tidak setiap aspek budaya suatu suku bangsa dapat diungkapkan secara tepat dalam bahasa lain dengan tetap mempertahankan daya, bobot, dan keindahannya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menyusun suatu tutur indah bagi pembangunan suatu rumah adat dalam bahasa Indonesia atau Inggris yang sama bobotnya dengan tutur yang lazim disampaikan dalam bahasa daerah. Dan setiap bagian rumah adat memiliki nama-nama yang belum tentu memiliki padanan dalam bahasa lain. Hal ini disadari betul oleh para penerjemah yang menjembatani informasi antarbudaya.

b. Identitas suku bangsa
Para perantau sadar betul bahwa pada waktu dan tempat tertentu hal yang masih bisa mengikat kuat dirinya dengan tempat asalnya adalah bahasa daerah. Di perantauan, biasanya identitas budaya lain seperti makanan dan pakaian dari daerah asal akan ditinggalkan dan digantikan dengan yang baru, apalagi jika si perantau telah tinggal lama di tanah orang dan menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Orang Kupang, misalnya, tidak mungkin selalu bisa makan jagung bose dan bunga pepaya dengan daging se’i di perantauan, karena belum tentu ada. Sama pula halnya ia tidak mungkin berpakaian agak tipis di daerah yang beriklim sangat dingin. Jadi satu-satunya identitas yang masih bisa melekat dan tetap terpelihara adalah bahasa daerah. Tidak jarang kita mendengar orang menggunakan bahasa daerahnya untuk menelepon sanak keluarga atau hadai taulannya dari perantauan. Boleh jadi ada orang tertentu yang menganggap hal ini lucu dan kurang bergengsi, juga terkesan kampungan. Tetapi demi pelestarian dan kelestarian bahasa daerah, hal itu sudah merupakan langkah terpuji. Memang kita tidak boleh melupakan budaya sendiri walaupun tinggal di tempat lain. Tentang hal ini, Julius Kambarage Nyerere (1922-1999), presiden pertama Tanzania dan penerjemah Julius Kaisari (versi Swahili dari Julius Caesar karya William Shakespeare), pernah berkata: “…belajar dari kebudayaan lain tidak berarti harus melupakan milik kita sendiri.”

c. Bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia dan dunia
Sebagai identitas suku bangsa, bahasa daerah merupakan bagian dari mosaik kebudayaan Indonesia. Dengan sendirinya bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa yang dilindungi undang-undang dan patut dilestarikan. Jika kita sedang gencar mengusahakan hak paten bagi lagu, tarian, dan makanan daerah yang terancam diklaim bangsa asing, mengapa kita tidak lebih giat mengusahakan pelestarian bahasa daerah di Indonesia?

Sebagai identitas berbagai suku bangsa di NKRI, bahasa daerah telah menjadi sasaran penelitian para ahli bahasa mancanegara. Di satu pihak, hal ini membanggakan karena kekayaan budaya kita telah menarik minat bangsa lain untuk meneliti dan mempelajarinya sehingga ia pun diakui sebagai bagian dari mosaik kebudayaan dunia. Tetapi di lain pihak, sangat mungkin kita—pemilik aset budaya ini—menjadi manja dan sangat mengharapkan uluran tangan dan kerja keras para peminat dari luar negeri.

d. Jembatan antargenerasi
Tidak berlebihan jika bahasa daerah dikatakan sebagai jembatan antargenerasi. Mengapa? Karena berbicara bahasa daerah berarti kita menggunakan bahasa orang tua dan leluhur kita, tanpa melepaskan diri dari tuntutan kebahasaan masa kini. Tak dapat dipungkiri bahwa kita akan lebih mudah mengenal kehidupan generasi-generasi sebelumnya dalam suatu suku bangsa jika kita dapat berbicara bahasa daerah—bahasa warisan mereka. Artinya bahasa daerah adalah kunci untuk memahami masa lalu kita, yang mengantar kita ke masa sekarang. Tetapi apakah kita—generasi masa kini—sanggup mengantar bahasa daerah ke masa depan? Itu adalah tugas dan tanggung jawab kita masing-masing sebagai penutur (asli). Sebagai penerus dan pewaris, masihkah kita berbicara bahasa daerah?

e. Bahasa pengantar di sekolah
Perlu ditekankan di sini bahwa bahasa daerah tidak dimaksudkan untuk secara total menggantikan posisi bahasa Indonesia di dalam kelas, kecuali untuk mata pelajaran bahasa daerah sebagai muatan lokal. Pemanfaatan positif dan kreatif yang demikian akan meningkatkan martabat bahasa daerah dan sekaligus mendewasakannya di ranah pendidikan formal. Melalui penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan belajar-mengajar, sekurang-kurangnya di tingkat dasar, para peserta didik, yang adalah tunas muda harapan daerah dan nasional, sejak dini telah dituntun untuk mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan budaya lokal mereka sendiri. Jika kesadaran akan hakikat bahasa daerah telah berakar kuat di dalam sanubari mereka, maka dengan sendirinya akan tumbuh rasa bangga untuk menggunakan bahasa daerah mereka dalam kehidupan sehari-hari. Demi kemajuan pelestarian dan kelestarian bahasa daerah di Provinsi NTT, kiranya dipandang bijak bila kita mencontoh kebiasaan menggunakan bahasa Jawa secara luas di kalangan para murid SD di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tanpa mengabaikan pentingnya bahasa Indonesia dan bahasa asing. 

Sebagai penutup, dapat disimpulkan bahwa—terlepas dari sikap dan persepsi yang berbeda tentang eksistensinya—bahasa daerah tetap memiliki posisi penting dan relevansi dalam kehidupan masyarakat kita pada masa kini dan masa yang akan datang, dan penetapan Hari Bahasa Ibu Sedunia adalah sebuah langkah penting UNESCO yang patut didukung dalam melestarikan bahasa ibu/daerah dan menjamin keanekaragaman budaya dan bahasa di planet kita. Dan hari peringatan semacam ini akan banyak arti dan manfaatnya jika pribadi, masyarakat (khususnya keluarga), lembaga pendidikan (sekurang-kurangnya SD), dan pemerintah (khususnya pemda yang kini memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk pengembangan bahasa daerah) sebagai pemegang mandat konstitusional bahu-membahu dalam mengusahakan pelestarian dan kelestarian bahasa daerah di NKRI tercinta. Dirgahayu bahasa daerah!
 
Noemuti, Timor Barat (NTT), Februari 2011



* Pemilik blog bahasa Dawan http://uabmeto.blogspot.com dan penggagas buletin dwiwulanan siber berbahasa Dawan “Tbait Tenab teik Uab Metô” (http://tenab-uabmeto.blogspot.com), penulis antologi puisi Dawan “Nenomatne Nbolen” (2009) dan “Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia” (2007), tinggal di Yogyakarta
Catatan penulis: Tulisan ini pernah dikirim ke Harian Pos Kupang untuk diterbitkan pada tanggal 21 Februari 2011 tetapi tidak diterbitkan.

Friday, February 25, 2011

Hasees kalix terus nian



Hosi: Yohanes Manhitu

Se ita soi kbiit atu bele dehan lae,
ita sei lakohi hemu hosi kalix,
be nakonu ho buat-moruk—
fafutuk mundu terus nian.

Se ita soi kbiit atu hatene nanis
buat ne’ebé hatatan moris,
ita sei prontu atu hasees
perigu no karik mate.

Maibé hanesan iha drama,
ita halimar tuir de’it senáriu
be autór prepara tiha ona.
Dala ruma ita la bele hili.

Se ema-kriatura bele si’ik
no komprende mistériu hotu
ho ninia neon be kloot tebes,
nia sei prontu atu salva moris.

Noemuti, fulan-Janeiru 2011
---------------------------------------

Menyingkirkan piala derita

Karya: Yohanes Manhitu

Andaikan kita kuasa mengatakan tidak,
kita tak ‘kan mau minum dari piala
yang penuh dengan kegetiran—
ikatan alam penderitaan.

Andaikan kita kuasa memperkirakan
hal yang mengancam kehidupan,
kita ‘kan siap ‘tuk menjauhkan
bahaya dan mungkin maut.

Tapi seperti dalam sebuah drama,
kita berperan hanya menurut skenario
yang telah disiapkan si pengarang.
Kadang kala kita tak bisa memilih.

Andaikan manusia bisa menebak
dan memahami segala misteri
dengan akalnya yang amat sempit,
ia ‘kan siap menyelamatkan hidup.

Friday, February 11, 2011

Domo de Amo (Rumah Cinta); de: Joko Pinurbo

Bildo: https://www.flickr.com

Mi venas en vin
en la alilanda domo kaŝita
inter du montetoj
kie la krepusko flagretas
en ĉielblua blirego.

Paro de pantalonoj flirtas
malantaŭe la fenestro:
Hej, ni lernas esti felicaj.
Estas libro malfermita sur la tablo
kaj troviĝas tie sekreta verso:
Esti malriĉa eble signifas katastrofo,
sed esti riĉa eble nur gracieco.

Mi revenas en vin
al la haltdomo ŝirmata
inter du kupoloj
kie ŝi venas vualata de la luno,
netigante la disan korpon
kaj dirante: Por ke via dormo estu pli simpla.

Esperantigita de Yohanes Manhitu el 
la poemo titolita Rumah Cinta (2003)
Yogyakarta, la 8an de septembro 2007

IA PUN MENJADI MONUMEN



Por: Yohanes Manhitu

Di pegunungan dan di kolong langit
di mana kesunyian tak lagi asing,
masih ada peninggalan yang hidup
dan kita mengenang hari-hari silam.

Batu karang bisu dan tembok-tembok,
selama bulan dan tahun-tahun panjang,
mengabdi tanpa ragu sebagai saksi
untuk sebuah bukti seribu impian.

Baiklah, dahulu ia juga pemakaman
namun sekarang menjadi monumen
yang menandai sebuah jejak putra-putri
menuju ke suatu masa dengan seribu hasrat.

Apa yang bakal kita buat dengan kenangan
yang kita warisi dari orang-orang mati?
Apa artinya sekarang tempat-tempat
yang dahulu pun jadi pemakaman?

Di pegunungan dan di kolong langit
di mana udara masih memiliki ruang,
masih terdapat sisa-sisa peninggalan
dan terkenang hari-hari yang silam.

Yogyakarta, Indonesia, Mei 2010

--------------------------------------


TAMBIÉN ES MONUMENTO

Por: Yohanes Manhitu

En las serranías y bajo del cielo
donde el silencio no es extraño,
aún se encuentran restos vivos
y recordamos los días pasados.

Las rocas mudas y los muros,
durante meses y años largos,
sirven sin duda como testigos
de una prueba de mil sueños.   

Vale, también fue cementerio
pero hoy en día es monumento
que marca un paso de los hijos
hacia una época con mil deseos.

¿Qué haremos con los recuerdos
que nos quedaron los muertos?
¿Qué significan ahora los sitios
que fueron también cementerios?

En las serranías y bajo del cielo
donde el aire aún tiene espacio,
todavía se encuentran vestigios
y se recuerdan los días pasados.

Yogyakarta, Indonesia, mayo de 2010

--------------------------------------------
* Puisi dan terjemahannya dibuat berdasarkan lukisan José S. Carralero yang berjudul También es monumento dan terbit dalam antologi puisi 68 penyair dunia El Paisaje Prometido, diterbitkan di Salamanca, Spanyol, oleh Sociedad de Estudios Literarios y Humanisticos de Salamanca (SELIH) pada tahun 2010. ISBN: 978-84-95850-30-3.