Sunday, January 29, 2012

Sebuah Tatapan

http://pathlessmind.com/wp-content/uploads/2009/11/road.jpg
Karya: Yohanes Manhitu

Sejak semalam,
ketika jarum jam hendak menunjukkan
pukul dua belas tengah malam,
belum sanggup kupejamkan sepasang mata ini.
aku telah berusaha semampuku
‘tuk buat keduanya beristirahat sejenak,
berhenti menatap dinding bercat putih
yang tak bisa pahami perasaanku.

Oh, dinding bercat putih,
seandainya dikau bisa
sedikit saja mengerti
segala yang kurasakan,
barangkali dikau ‘kan berusaha
memberiku sepatah dua kata
yang buat aku senantiasa ingat
akan tujuan perjalanan hidupku
yang masih panjang ini.

Saat ini aku baru saja
memasuki hari keempat
di tahun yang baru ini,
tahun dua ribu tiga –
tahun yang kuharapkan
menjadi tahun yang penuh berkah
dan harapan akan terlaksananya
selaksa rencana hidupku.

Tuhan…aku telah berusaha
merancang segalanya bagi hidupku,
namun engkau jualah yang harus merestuinya.
kuharap engkau ‘kan berkata:
“AnakKu yang masih bimbang,
telah Kuketahui segala keinginan baikmu
dan akan ijinkan kau mencapainya.”
dan aku ‘kan membalas:
“syukur kepadaMu, o, Tuhanku.”

Sebentar lagi aku ‘kan kembali mencoba
‘tuk pejamkan kedua mata ini
‘tuk kesekian kalinya.
semoga mereka tak bertahan
‘tuk terus tatap tembok putih bisu lagi,
tembok yang memang telah ditakdirkan hanya
‘tuk bentengi tanpa berkata-kata,
apalagi menyodorkan sekeping makna.
betapa malang nasibmu, tembok putih!

Aku merasa bersalah
karena telah memaksa kedua mataku
‘tuk terus menatap dengan menghabiskan
dua cangkir kecil coffee mix.
maafkan aku, oh, kedua mataku.
sekarang aku ‘kan segera berbaring
karena aku telah kehabisan kata,
apalagi makna.

Sengkan-Yogyakarta, 
4 Januari 2003

Dalam Keheningan Fajar

Klik di sini untuk melihat sumber foto.
Karya: Yohanes Manhitu

Di kala fajar menyingsing
hendak menerangi alam dilepas malam,
aku berjalan menyusuri sederet bangunan tua
yang tergusur gedung-gedung percakar langit,
bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
mungkin pemiliknya pergi karena takut
ditimpah gedung yang runtuh.

Di dekat bangunan-bangunan tua itu,
kuhentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:
telaga yang dahulu kukenal sebagai telaga indah
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni
yang bebas berenang kian kemari,
berkejar-kejaran dengan gembira.

Dahulu, aku sering
berhenti sesaat di sana
hanya untuk menatapnya,
lalu meneruskan lari pagiku
tanpa mempedulikan pemilik kolamnya
yang selalu menatapku dengan tanda tanya.

Namun sekarang telaga itu
mulai kekurangan air, seiring dengan perginya
para penghuni bangunan-bangunan tua itu.
aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu,
sambil membayangkan hatiku yang remuk.
membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,
ketidakjujuranmu yang ‘kan mungkin menyeretku     
kepada ketidakpastian tak berkesudahan.

Bagai telaga yang mulai kekurangan air,
mulai kurasakan kurangnya curahan kasihmu.
mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini
akan menjadi telaga yang kehabisan cinta?!
aku tak tahu! aku tak suka menebak teka-teki!
yang kusukai hanyalah kepastian, ya kepastian pasti.
mengapa kuharus berandai-andai?

Dari telaga itu kuayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.
di sana kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,
bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana para sultan Arab
dalam kisah legendaris seribu satu malam.
kuingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah yang mengancam hayat.

Aku bertanya pada diriku sendiri,
“apakah aku sedang bermimpi saat ini?”
oh, tidak....tidak. aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,
taman impian yang nyata.

Hatiku memang sangat mengharapkan
tetesan-tetesan embun bening jiwamu,
bagai semak-semak kering di padang sabana Afrika
yang nantikan hujan yang entah kapan akan tiba.
hati kecilku berbisik tanpa kusadari, “Oh, Tuhanku,
bawalah dia kembali ke haribaan kalbuku.”

Starnet Sutoyo-Yogyakarta
21 Agustus 2002

Pengakuan Insani

Source: http://farm1.static.flickr.com/20/71139361_1641416e7b.jpg
Dalam kekerdilanku
kuakui kebesaran-Mu
nan nyata di hari-hariku.

Yogyakarta, 10-01-2012

Monday, January 9, 2012

Di ambang fajar

Foto: http://farm7.static.flickr.com/6180/6165236656_eb26398005.jpg
Jalan kembali ramai
kendaraan lalu-lalang
kehidupan bergeliat lagi.

Yogyakarta, 09-01-2012

Saturday, December 31, 2011

Sajak-Sajak Pendek untuk Menyongsong Fajar


Sebentuk Haiku Dini
 
Alam sambut subuh
Terdengar kokok jago
Mataku belum pejam.

Jogja, 26-12-2011
===

Permintaan Subuh

Tiada yang sempurna
Tapi bukan mendung.
Maukah kau jadi fajar?

Jogja, 27-12-2011
===

Jalan Kampung Mulus

Tiada lumpur atau kerikil

di wajah jalan kampung.
Ini kampung dekat Pusat.

Jogja, 29-12-2011

===

Menanti Mentari

Tanah masih basah,

jejak hujan semalam.
Matahari belum tampak.

Jogja, 30-12-2011

Sunday, December 25, 2011

Selamat Natal dan Bahagia Tahun Baru!

 Selamat Natal dan Bahagia Tahun Baru!
Tabê Natal ma Mlilê Ton Feü!
Bosfesta Natál no Tinan Foun Kmanek!
Salamat Natal dan Bahagia Taon Baru!
Sugeng Natal lan Sugeng Warsa Enggal!
Merry Christmas and Happy New Year!
Joyeux Noël et bonne année!
¡Feliz Navidad y próspero año nuevo!
Feliz Natal e Feliz Ano Novo!
Buon Natale e felice anno nuovo!
Fröhliche Weihnachten und ein gutes neues Jahr!
Natale hilare et annum faustum!
Bonan Kristnaskon kaj feliĉan novan jaron!

Wednesday, November 30, 2011

Kuberikan Diriku Padanya


Karya: Emily Dickinson

KUBERIKAN diriku padanya,
Dan ia sendiri jadi bayarannya.
Sah sudah perjanjian khidmat
Kehidupan melalui jalan ini.

Harta mungkin bawa kecewa,
Akulah bukti kurang memadai
Ketimbang sangka pembeli agung,
milik Cinta sehari-hari.

Menyusut sudah daya pandang;
Namun, hingga pedagang membeli,
masih dongeng, dan di gugusan pulau rempah
tersimpan muatan minyak wangi.

Paling tidak, itu risiko bersama, —
Ada yang menyebutnya keuntungan bersama;
Hutang Hayat manis, —tiap malam diutang,
Gulung tikar, setiap siang.

Diterjemahkan Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 8 Januari 2005
-------------------------

I Gave Myself to Him

By: Emily Dickinson

I GAVE myself to him,
And took himself for pay.
The solemn contract of a life
Was ratified this way.

The wealth might disappoint,
Myself a poorer prove
Than this great purchaser suspect,
The daily own of Love

Depreciate the vision;
But, till the merchant buy,
Still fable, in the isles of spice,
The subtle cargoes lie.

At least, ’t is mutual risk,—
Some found it mutual gain;
Sweet debt of Life,—each night to owe,
Insolvent, every noon.

Aku Bukan Siapa-Siapa

Karya: Emily Dickinson

Aku bukan siapa-siapa! Kau siapa?
Apakah kau juga bukan siapa-siapa?
Jadi kita sejoli — ini rahasia kita!
Kita ‘kan dihalau mereka, kautahu itu.

Betapa suramnya menjadi seseorang!
Betapa lazimnya, bagai seekor katak
Untuk katakan namamu sepanjang hari
Kepada tanah becek yang mengagumi!

Diterjemahkan Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 10 Januari 2005
---------------------------------

I ’m Nobody!

By: Emily Dickinson

I ’m nobody! Who are you?
Are you nobody, too?
Then there ’s a pair of us—don’t tell!
They ’d banish us, you know.

How dreary to be somebody!
How public, like a frog
To tell your name the livelong day
To an admiring bog!

Monday, October 31, 2011

I Am Here Again

Image: mittencandleco.com

By: Yohanes Manhitu 

The wind is playing now
with the leaves of the trees
growing in this little place,
where people come to pray.

Today I am here again.
And just like when I was here
in the years that have passed,
peace and silence I can find.

This is peace, not loneliness.
Even when you seem to be alone,
the universe is praying with you
before the grotto of the Madonna.

The wind is playing again now
and the leaves are all dancing.
Since the city is far away,
it’s time to say goodbye.

Sendangsono, 12 October 2011

A WOMAN CALLED LASMI a novel by Nusya Kuswantin, translated by John Manhitu (Yohanes Manhitu)


A Woman Called Lasmi, originally written in Bahasa Indonesia under the title Lasmi (Kakilangit Kencana Jakarta, 2009), has its setting in the year of 1965, two decades after the independence of the Republic of Indonesia, in a sub-district of Malang District, East Java. Probably people would say this is a novel with historical setting or even a political one, but it actually is a story regarding a passionate love of a man towards his wife who was cadre of Gerwani (Indonesian Woman Movement), an organization which was banned under the regime of General Suharto, for its alleged role in the failed coup blamed on the PKI (Indonesian Communist Party). (Source: http://ja-jp.facebook.com/notes/monkey-business/uwrf-2011-events-hosted-by-three-monkeys-and-il-giardino/249416641768488). It was launched at Three Monkeys Cafe Bali on Friday, October 7, 2011.

A Woman Called Lasmi was translated by John Manhitu (originally called Yohanes Manhitu)

Friday, September 30, 2011

Sebuah Dialog dengan Nusa



Karya: Yohanes Manhitu

dikau terbaring laksana gajah tidur pulas,
dikau terlentang bisu bagai si singa malas,
dikau biarkan kabut duka selimut rangkap,
dikau biarkan pula bibirmu enggan berucap.

wahai, nusa wangi yang dibayangi nestapa!
kapan dikau tak lagi jadi cemoohan bumi?
kapan dikau berhenti patuhi badai bodoh?
kuingin tatap dikau pelihara jiwa atoinmeo
*.

mataku telah lelah melihat tidur panjangmu,
telingaku tak lagi kuasa dengar seribu keluhan,
lidahku sudah tak sanggup sentuh butir pil kina,
hatiku meratap dengar kabar perawan disantap.

wahai, tanah seribu mantra dan pantun bicara,
bumi tempat tatanan suci tumbuh bagai jagung,
sabana tempat lembu manja kenal sang gembala.
kini saatnya dikau petik dawai gerbang nirwana.

Baciro-Yogyakarta, 14 Desember 2003


* pendekar/panglima (bahasa Dawan, Timor Barat)

Gelora Sanubari


Karya: Yohanes Manhitu

ingin kucurahkan hujan benci dasyatku
yang bisa genangi seluruh penjuru hatimu.
ingin pula kuhembuskan badai tak acuhku
yang bisa sapu rupamu dari dasar sukmaku
tapi deretan awan putih di langit nuraniku
tak sudi sambut arus uap hasrat mabukku.
dan sang waktu lamban membalas sms-ku.
rupanya ia yang ‘kan buat museum rupamu.

jari tanganku kini sudah terasa begitu kaku
untuk putar rol slide yang sarat senyuman
dari wajah riang air kolam senja, beringin,
tapir, kuda nil dan daun padi sawah sempit.
benakku kini kabur, terhalang gelapnya mega
yang telah bertahta menghalau mentari pagi.
dan tubuh kurusku kini jauhi rel absurditas
karena tak sudi digilas roda-roda tak pasti.

Pugeran Timur-Yogyakarta, 15 Mei 2004