Klik di sini untuk melihat sumber foto. |
Karya: Yohanes Manhitu
Di kala fajar menyingsing
hendak menerangi alam dilepas malam,
aku berjalan menyusuri sederet bangunan tua
yang tergusur gedung-gedung percakar langit,
bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
mungkin pemiliknya pergi karena takut
hendak menerangi alam dilepas malam,
aku berjalan menyusuri sederet bangunan tua
yang tergusur gedung-gedung percakar langit,
bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
mungkin pemiliknya pergi karena takut
ditimpah gedung yang runtuh.
Di dekat bangunan-bangunan tua itu,
kuhentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:
Di dekat bangunan-bangunan tua itu,
kuhentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:
telaga yang dahulu kukenal sebagai telaga indah
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni
yang bebas berenang kian kemari,
berkejar-kejaran dengan gembira.
Dahulu, aku sering
Dahulu, aku sering
berhenti sesaat di sana
hanya untuk menatapnya,
lalu meneruskan lari pagiku
tanpa mempedulikan pemilik kolamnya
yang selalu menatapku dengan tanda tanya.
Namun sekarang telaga itu
Namun sekarang telaga itu
mulai kekurangan air, seiring dengan perginya
para penghuni bangunan-bangunan tua itu.
aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu,
aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu,
sambil membayangkan hatiku yang remuk.
membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,
membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,
ketidakjujuranmu yang ‘kan mungkin menyeretku
kepada ketidakpastian tak berkesudahan.
Bagai telaga yang mulai kekurangan air,
mulai kurasakan kurangnya curahan kasihmu.
mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini
akan menjadi telaga yang kehabisan cinta?!
aku tak tahu! aku tak suka menebak teka-teki!
yang kusukai hanyalah kepastian, ya kepastian pasti.
mengapa kuharus berandai-andai?
Dari telaga itu kuayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.
di sana kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,
bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana para sultan Arab
Bagai telaga yang mulai kekurangan air,
mulai kurasakan kurangnya curahan kasihmu.
mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini
akan menjadi telaga yang kehabisan cinta?!
aku tak tahu! aku tak suka menebak teka-teki!
yang kusukai hanyalah kepastian, ya kepastian pasti.
mengapa kuharus berandai-andai?
Dari telaga itu kuayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.
di sana kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,
bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana para sultan Arab
dalam kisah legendaris seribu satu malam.
kuingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah yang mengancam hayat.
Aku bertanya pada diriku sendiri,
kuingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah yang mengancam hayat.
Aku bertanya pada diriku sendiri,
“apakah aku sedang bermimpi saat ini?”
oh, tidak....tidak. aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,
oh, tidak....tidak. aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,
taman impian yang nyata.
Hatiku memang sangat mengharapkan
Hatiku memang sangat mengharapkan
tetesan-tetesan embun bening jiwamu,
bagai semak-semak kering di padang sabana Afrika
yang nantikan hujan yang entah kapan akan tiba.
hati kecilku berbisik tanpa kusadari, “Oh, Tuhanku,
hati kecilku berbisik tanpa kusadari, “Oh, Tuhanku,
bawalah dia kembali ke haribaan kalbuku.”
Starnet Sutoyo-Yogyakarta
21 Agustus 2002
No comments:
Post a Comment