Beberapa hari ini, tampaknya isu "para" (kata penyerta) cukup menguat di media sosial. Tanpa (perlu) mempersoalkan dari mana datangnya, entah dari sawah atau dari kali, saya mengajak para peminat bahasa Indonesia - bahasa nasional dan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) - untuk memperhatikan hal ini sejenak. Baik juga untuk menyegarkan ingatan gramatikal kita.
Kata penyerta "para" biasanya terletak di depan kata benda dan berfungsi sebagai penanda bentuk jamak (kelompok orang). Contoh: Para petani di desa ini sangat giat bekerja.
Bentuk jamak pun dapat dibuat tanpa menggunakan "para", yaitu dengan pengulangan (reduplikasi) kata benda. Contoh: 1. Petani-petani di desa ini sangat giat bekerja. 2. Gadis-gadis itu sungguh cantik.
Catatan:
- Kata benda (untuk orang) setelah "para" tidak mengalami pengulangan. Contoh: Para tamu sudah hadir. (Bukan para tamu-tamu!)
- Kata penyerta "para" tidak lazim diikuti kata benda yang sudah mengandung makna jamak, misalnya "tetamu" dan "hadirin". Jadi, tidak lumrah menggunakan "para tetamu" dan "para hadirin".
- Kata penyerta "para" tidak dapat diulang untuk menunjukkan bentuk jamak, seperti dalam contoh-contoh berikut: 1. Para-para guru sungguh berjasa bagi banyak orang. 2. Para-para ibu sangat sibuk berarisan.
- Kata "para-para" itu sendiri bersinonim dengan rak (yang terbuat dari bambu dll. dan digunakan untuk berbagai keperluan).
Silakan lihat tangkapan layar (oleh saya) dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Dewan (kamus bahasa Melayu terbitan Malaysia). Semoga apa yang disampaikan di sini berguna. Salam mesra bahasa dan sastra kepada semua!
Ungaran, Jawa Tengah, 22 Desember 2024