Akhirnya, pada hari Rabu, 1 Februari 2017, tiba di alamat saya, langsung dari Kota Salamanca, Spanyol, buku Antología de Salamanca yang berjudul No Resignación (Spanyol, Pantang Menyerah), yakni kumpulan puisi penolakan kekerasan terhadap perempuan yang ditulis oleh 135 orang penyair dari 35 negara di lima benua, sebagaimana terlihat pada subjudulnya: Poetas del mundo por la no violencia contra la mujer. Ketika diundang---sebagai orang Indonesia---untuk ambil bagian dalam antologi tersebut pada Juni 2016, saya diminta penyair Spanyol Alfredo Pérez Alencart, sang penggagas antologi, untuk menyediakan puisi dwibahasa (Spanyol-Indonesia) sekaligus. Kedua puisi saya itu masing-masing berjudul "ESCENARIO DE AMARGURA" (hlm. 50) dan "PENTAS KEGETIRAN" (hlm. 234). Ini sebuah kesempatan baik untuk terus belajar bahasa dan sastra serta berbagi lewat puisi. Kiranya dialog sastra---yang juga dialog peradaban---bisa terpelihara. Salam sastra,
--------------------------------------------- ESCENARIO DE AMARGURA
Por: Yohanes Manhitu
Desde distintas direcciones, vienen historias
que nos pueden hacer llorar, aun sin lágrimas.
Sigue triunfando la injusticia entre nosotros,
contra las hijas amadas de estirpe humana.
A veces delante de nuestros propios ojos,
esta amarga realidad que se llama violencia
actúa bien en su escenario y aplaudimos
como si fuera un drama por diversión.
Sabemos que el silencio no siempre es oro
y un susurro podría ser mejor que sin voz.
Hoy en esta oscuridad y bruma de inquietud,
más vale una vela encendida que un faro sin luz.
No olvidemos que una madre es una mujer,
y de su vientre, llega cada vida al mundo.
Entonces, cada violencia contra la mujer
es una traición a la misericordia maternal.
Desde distintas direcciones, vienen historias
que nos pueden hacer llorar, aun sin lágrimas.
Sigue existiendo esa injusticia contra la mujer.
Y en esta marcha, elegimos «no resignación».
(Yogyakarta, Indonesia, junio de 2016)
----------------------------------
PENTAS KEGETIRAN
Oleh: Yohanes Manhitu
Dari berbagai penjuru, datanglah kisah-kisah
yang bisa mengundang tangis kita, walau tanpa air mata.
Ketidakadilan masih berjaya di tengah kita,
terhadap para putri tercinta ras manusia.
Terkadang di depan mata kita sendiri,
kenyataan pahit yang bernama kekerasan ini
berperan apik di pentasnya dan kita bertepuk tangan
seakan-akan itu sebuah lakon untuk hiburan.
Kita tahu bahwa diam tak selamanya emas
dan bisikan bisa lebih baik daripada tanpa suara.
Kini di dalam kegelapan dan kabut kekhawatiran ini,
lilin bernyala lebih berarti daripada mercusuar tanpa cahaya.
Jangan kita lupa bahwa seorang ibu adalah perempuan,
dan dari rahimnya, tiba setiap kehidupan di dunia.
Jadi, setiap kekerasan terhadap perempuan
adalah khianat terhadap kerahiman ibu.
Dari berbagai penjuru, datanglah kisah-kisah
yang bisa mengundang tangis kita, walau tanpa air mata.
Ketidakadilan itu masih terjadi terhadap perempuan.
Dan di baris ini, kita memilih "pantang menyerah".
(Yogyakarta, Indonesia, Juni 2016)
No comments:
Post a Comment