Oleh: Karol Wojtyła
Jangan dikau redakan gelombang kalbuku,
ia bergulung ke hadapanmu, Bunda;
Jangan dikau ubah cinta, tapi bawakanku gelombang itu
dalam tanganmu yang bermandikan cahaya.
Ia pernah memintanya.
Aku Yohanes sang nelayan. Tak cukup pantas aku dicinta.
Aku merasa, aku masih berdiri di tepi danau itu,
kerikil berderak di dasar telapak kakiku –
Dan tiba-tiba – kulihat Ia tampak di mataku.
Tak akan lagi dikau temukan misterinya di dalam aku,
Tapi diam-diam kusebarkan pikirmu bagai tumbuhan berbiji.
Dan memanggilmu Bunda—seturut kehendak-Nya—
Kumohon kepadamu: semoga sabda ini tak usang bagimu.
Benar, tak mudah untuk mengukur kedalaman makna
segala sabda yang Ia ucapkan kepada kita berdua
agar segala cinta fajar dalam sabda-Nya
mesti kita jadikan rahasia.
Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 3 Januari 2005
Sumber puisi asli: http://www.pbs.org/wgbh/pages/frontline/shows/pope/poems
------------------------------------------
*) Karol Wojtyła lahir di Wadowice, Polandia, 18 Mei 1920, belajar puisi dan drama di Universitas Kraków. Sejak menjabat paus (1978) hingga wafatnya (2 April 2005), ia bergelar Sri Paus Yohanes Paulus II (kini Santo Yohanes Paulus II) dan telah menginjakkan kakinya di ratusan negara. Selama Perang Dunia II, ia bekerja sebagai penambang batu dan pekerja di pabrik kimia sambil belajar. Ia menerbitkan puisi, naskah drama, dan buku-buku yang lain. Bukunya yang terlaris adalah Crossing the Threshold of Hope, yang versi Indonesianya berjudul Melintasi Ambang Pintu Harapan.
No comments:
Post a Comment