Foto: http://www.culturaltreasures.ca |
Oleh: YOHANES MANHITU
SETIAP orang yang pernah menulis dalam bahasa daerah pasti mempunyai pengalamannya sendiri. Tentu ada suka dan dukanya. Saya terus-menerus berupaya menulis dalam bahasa Dawan (Uab Metô, Baikenu) sejak tujuh tahun terakhir ini (mulai dari 2002). Perlu diketahui bahwa bahasa Dawan merupakan salah satu bahasa Nusantara dan bahasa nasional di Timor-Leste. Kesukaan besar yang saya alami adalah keasyikan dalam merasa dan berpikir dalam bahasa sendiri: bahasa leluhur yang hari ini menjadi bahasa saya dan ratusan ribu orang lain di Pulau Timor. Ada perasaan lain yang selalu mengisi ruang batin saya ketika tengah menulis dalam bahasa daerah. Dan hal ini tidak saya alami—atau dapat saja timbul tetapi lebih sering kabur—ketika saya merumuskan kata-kata dalam bahasa Indonesia atau suatu bahasa asing. Ketika saya merangkaikan kata-kata dalam bahasa daerah saya, segera timbul dalam benak saya sederet gambar sebening kristal tentang tempat asal saya: sungai, bukit dan lembah, jalan panjang berliku-liku yang menembus hutan tropis, perkampungan (kuapukan) sporadis di lereng bukit dan lembah sempit, padang rumput yang luas dengan anak-anak gembala (apaomuït) yang lagi menunggui ternaknya sambil meniup seruling, dedaunan lontar dan nyiur yang melambai dipermaikan angin musim, kegersangan yang nyata pada musim kemarau, curah hujan tak teratur, kota-kota kecil yang tengah berkembang, dan masih banyak lagi. Semuanya itu muncul begitu saja di benak saya dan seolah-olah berdesak-desakan menunggu giliran untuk menghiasi halaman demi halaman tulisan saya.
Di samping kesukaan tersebut di atas, saya mengalami tidak sedikit kesulitan dalam aktivitas ini. Kadang-kadang saya menemukan diri saya seperti seorang buta yang nyaris kehilangan tongkat, atau pun pelaut yang tak tahu entah di mana kompasnya. Hal ini terutama dipicu oleh ketidaktersediaan sumberdaya pendukung, yang menurut tradisi akademis, dapat menuntun dalam proses penciptaan suatu karya tulis. Saya sejak awal saya sudah menulis tanpa acuan kepada ejaan, tata bahasa, pun kamus standar. Memang telah adalah karya-karya purwa-rupa dalam bahasa Dawan, tetapi masih tersedia dalam ejaan dan tata bahasa yang bervariasi. Terbatasnya atau tidak adanya kosakata yang cukup untuk konsep-konsep pemikiran yang abstrak dan lumrah dalam dunia modern seringkali membuat saya seakan-akan lumpuh di tengah jalan menuju ke kalimat pamungkas. Tidak jarang pula saya mengalami situasi di mana seolah-olah saya bermanuver di jalan yang sangat licin dan penuh dengan risiko tergelincir. Solusi yang sering ditempuh adalah menjaga kelihaian dalam memparafrase kalimat. Mengubah pola ungkap sangat sering menjadi jalan terbaik untuk menyelamatkan makna walaupun sarat risiko. Jadi, dalam hal ini berlaku peribahasa banyak jalan menuju ke Roma. Pengalaman juga menunjukkan bahwa jauh lebih sulit untuk menerjemahkan ke bahasa daerah daripada menulis karya asli secara langsung dalam bahasa tersebut. Hal ini terutama dialami ketika saya berupaya menerjemahkan sejumlah puisi penyair asing (terutama karya-karya Rabindranath Tagore) ke bahasa Dawan. Tentu saja ini bukan hal baru. Para penerjemah Alkitab dan buku-buku doa kristiani di Timor-Dawan (seperti Pdt. Pieter Middelkoop dan P. Vincent Lechovic, SVD) sudah lebih dahulu mengalaminya.
Terlepas dari semua kesulitan di atas, menurut hemat saya, meskipun belum populer dan terasa urgen, menulis dalam bahasa daerah di negara kita tetaplah suatu aktivitas yang perlu dipertahankan dan terus-menerus dipelihara demi kelestarian bahasa daerah itu sendiri. Dengan segala keterbatasan, saya selalu berusaha merasa nyaman dan betah menulis dalam bahasa-bahasa yang saya gunakan, entah itu bahasa daerah, nasional, atau internasional (tidak selalu berarti bahasa Inggris!). Saya pikir, sudah saatnya kita bergeser dari fase menulis tentang bahasa daerah (dalam bahasa lain) ke menulis dalam bahasa daerah (tentang banyak hal). Kita pun dapat dengan bebas menggabungkan kedua jenis kegiatan ini dengan prioritas bagi yang terakhir. Mengapa? Karena bila kita terus-menerus menulis tentang dan lupa atau lalai menulis dalam bahasa daerah, maka pembaca akan tahu banyak (sekali lagi) tentang bahasa itu, tetapi tidak ada jaminan bahwa dia akan dapat menulis, apalagi berbicara dalam bahasa itu.
Walaupun kegiatan ini sangat penting bagi pelestarian dan kelestarian suatu bahasa, khususnya bahasa daerah, kita tidak dapat mengatakan bahwa inilah jalan satu-satunya. Kita berharap agar bahasa itu tetap digunakan secara lisan oleh para penuturnya dalam berbagai situasi kehidupan mereka, termasuk kegiatan kesenian dan peribadatan. Penulisan dalam bahasa daerah dimaksudkan untuk mendukung bahasa lisan demi pelestarian dan kelestarian bahasa itu sendiri. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bahasa lisan itu cepat berubah tetapi bahasa tulis tidak. Karena sifatnya yang demikian, bahasa tulis dapat digunakan untuk menelusuri perkembangan suatu bahasa. Dalam konteks bahasa Dawan (dan juga banyak bahasa daerah di Indonesia dan belahan bumi yang lain), kita belum atau mungkin tidak akan dapat menelusuri asal-muasalnya secara memuaskan dan kemudian membagi perkembangannya ke dalam tahap-tahap yang pasti, yang akan menolong pembaca untuk mengikuti perjalanan bahasa itu dari masa ke masa. Sampai hari ini saya masih terus bertanya apakah bahasa Dawan yang digunakan sebelum kedatangan kaesmutî (orang berkulit putih) di Timor—jika ditinjau dari aspek-aspek linguistik—sama dengan yang digunakan pada hari ini? Ataukah kenyataan ini membuat bahasa Dawan sebuah bahasa yang tak terkikis oleh terpaan zaman, atau tak dapat dilacak secara diakronis? Mungkin tidak, karena hanya bahasa mati yang tidak berubah lagi. Setiap bahasa yang hidup adalah sesuatu yang bergerak dan terus berubah (langue, c’est quelque chose qui bouge!).
Sesuai dengan pesan pada kalimat pembuka, tulisan ini dimaksudkan untuk berbagi pengalaman menulis dalam bahasa daerah. Itu saja! Bila Anda ingin merasakan pengalaman yang unik ini, tidak ada jalan lain kecuali mengangkat pena atau menghidupkan komputer Anda dan segera menulis kata pembuka dalam bahasa daerah Anda. Dengan demikian, Anda boleh turut mengalami apa yang telah terjadi pada diri saya, yang ‘tergoda’ untuk mengambil langkah ini. Lakat niufnes musti ma’úb nâko lakat mesê. Mututan! (Dawan: Seribu langkah harus diawali dari satu langkah. Lanjutkan!).
Pugeran Timur-Yogyakarta, 10 Juli 2009
hallo...kk, om atau apalah...panggilannya. saya asli dari Timor wlu dengan sedikit perbendaharaan bahasa dawan, tp sekarang sy jd fans baru blok ini. setelah melewati bnyk peristiwa di JOgja akhirnya saya sadar klu saya bangga dengan Timor. Amin
ReplyDeleteHai Pak Yohanes...makasih ya atas tulisan-tulisan Pak tentang Bahasa Dawan...saya sering menemukan artikel Pak Yohanes yang berhubungan dengan "Uab Meto" Saya salut atas tulisan2 itu. Saya juga org Dawan tapi masih kesulitan untuk menulis seperti Pak Yohanes. Oh iya...saya adalah mahasiswa yang mendalami bahasa juga. Saya ada tugas untuk menemukan sebanyak mungkin contoh "Onomatopea" dalam bahasa ibu (Dawan).
ReplyDeleteHallo KK..Terima kasih banyak buat tulisan-tulisan yang mengenai bahasa dawan. tetapi sangat masih ingin mengetahui lebih banyak tentang bahasa dawan..contohnya bahasa dawan dengan tipenya atau apalah...sebelumnya terima kasih
ReplyDeleteAu loemle tuis ije na'ko au aokbiak John Manhitu..auhe ututan ane ek le laib meto. hit paha kan'na pah meto, hit kankina bo meto, hit uaba mo meto me nansa et hit tuis meto es feka namfau neu hit ak-oke askolat mahina me kat'tuifa le his molok meto le nak kanna "uab meta ai Dawan"
ReplyDeleteMututan le tuis ije n'nao piut Usi he tek tatonan ma tfainek hit aokbiakin atoin meot'ina he sinanmsat natuin mepo le hit tananaoba ije.
Au pules le tuis ma uab meto ije ama naek...