Friday, November 30, 2007

Mawar Sebuah Epilog

Foto: https://www.pinterest.com

Sebuah Cerpen oleh Yohanes Manhitu*


“Non in commotione, non in commotione Dominus1.”
(William Baskerville, The Name of the Rose, karya Umberto Eco)


TEMPAT itu belum terlalu banyak berubah setelah sekian bulan berselang. Yang tampak berbeda hanya bagian depannya: kafe dengan atap, dinding, meja-kursi bercat baru dan ditata lebih rapi; wajah beberapa pengunjung yang baru; dan jumlah karyawati yang lebih banyak dan ramah. Syukurlah, dua orang karyawati lama tidak tereliminasi dalam kompetisi politik per-kafe-an. Tarif makanan dan minuman pun berubah – meningkat, tapi belum mencekik leher. Secara keseluruhan, masih banyak hal yang sama. Waktu selalu menyodorkan perubahan-perubahan. Di tempat itu pun ia tunjukkan kuasanya walau belum secara total. Ia pula yang mengatur siklus sekuntum mawar, yang merekah dibalut embun pagi, mekar dan semerbak mengundang serangga sehari, perlahan pudar di bawah terik mentari, dan akhirnya gugur diterbangkan angin yang berembus. Itulah pengamatan Joshua terhadap suatu perubahan di tempat yang sudut-sudutnya cukup ia kenal. Maklum, ia pernah berguru bahasa “planet” asing di sana.
.
Hari itu, di medio April, bangsanya mengenang kuntum “Mawar Emansipasi” yang telah gugur namun tak kunjung layu. Dan pada sore harinya, sesuai dengan janji, ia bakal kembali menjumpai kekasihnya, Rafika, seorang gadis Sunda blasteran (Arab-Sunda pesisir), setelah sekian bulan berpisah. Untuk tidak membuat jantung hatinya bingung mencari bila tiba nanti, ia memutuskan untuk duduk di tangga masuk, di depan ruang bertelevisi. Di sanalah ia mengawali sebuah penantian penuh harap.
.
“Ah, paling nanti datangnya juga telat sejam. Tadi ‘kan ngomongnya jam empat-an. Wajar kalau belum nongol juga. ‘Kan kebanyakan orang di negeri ini seperti itu. Pantas ibu pertiwi nggak maju-maju. Malah cenderung mundur.” Demikianlah autokritik spontan pemuda itu terhadap kebiasaan buruk terlambat yang ada di mana-mana.
.
Sambil menunggu, ia mengeluarkan novel The Name of the Rose (versi Indonesia) karya Umberto Eco – yang tersohor itu – dari tas kulitnya dan mulai membaca sebuah bab lanjutan untuk sekadar mengisi waktu. Sayang kalau waktu terbuang sia-sia. Sebentar-sebentar ia berhenti membaca dan melirik cewek-cewek cantik dengan wajah bertaburkan senyum yang lalu-lalang di samping kirinya. Ada yang berambut terurai ala rambut bintang iklan Sun Silk, ada juga yang berjilbab, yang tak kalah manisnya dengan gadis-gadis Iran dan Irak yang kebetulan ia pernah jumpai di kantor imigrasi.
.
“Ya, inilah salah satu kelebihan institusi ini. Selalu saja ada banyak kuntum mawar mekar yang mengundang lirikan dan membuat lembaran-lembaran buku yang tadinya menarik kehilangan pesona,” batinnya menyadari betapa selera bacanya terancam pudar disapu manis senyum sekelompok cewek yang berlalu tepat di depannya.
.
“Dasar godaan, selalu ada di mana-mana. Kok semakin sulit ya menepis godaan di zaman edan ini. Dasar kuntum-kuntum mawar! Stat rosa pristina nomine, nomina nuda tenemus2,” umpatnya dalam hati dengan mengutip salah satu kalimat Latin terkenal dari novel yang dibacanya, lalu terus berbicara dalam hati, “Mendingan aku bermetamorfosis jadi kumbang saja. ‘Kan lebih asyik. Bisa hinggap di mana-mana suka, di kelopak kembang fajar manapun kupilih.” “Edan kau! Mana bisa! Ini ‘kan bertentangan dengan teori Darwin yang tidak pernah menyebutkan bahwa manusia, termasuk Homo floresiensis3, bisa bermetamorfosis menjadi binatang bersayap,” sanggah suara hatinya.
.
“Memang asyik sekali kalau lagi berada di sini. Selalu ada yang baru untuk dilihat, dikagumi; lalu, kalau bisa, dimiliki,” pikirnya sambil melemparkan pandangan, menyapu seluruh sudut tempat itu, hingga ke pucuk-pucuk cemara menjulang yang seakan pasrah menyambut bibir tabir senja yang menghampiri.
.
Di tempat itu selalu saja ada peluang untuk bertemu wajah-wajah baru. Tak peduli apakah dia itu Jawa perantauan, Batak Toba, Sunda asli, Papua blasteran, Dayak pribumi, atau Manado tulen; apakah dia itu Islam, Kristiani, Hindu, Budha, agnostik, atau bahkan atheis paling taat sekalipun. Juga tak peduli apakah dia itu dosen, peserta didik, pengunjung kafe, wisman, atau hanya “orang luar” yang sekadar ingin berbaur di sana.
.
Menurut Joshua, muka-muka lama masih sering tampak di sana, muka-muka yang mungkin sudah telanjur jatuh hati pada batang pohon besar dengan akar-akar yang bergelantungan manja. Tiada alasan yang pasti. Siapa tahu mereka malah sudah menjadi aficionado4 bahasa asing itu, atau penggemar berat salah satu menu di kafe penuh warna itu. Atau barangkali mereka kutu buku giat di perpusatakaan. Belum alasan pasti.
.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 16.30. Sambil melemparkan pandangan ke salah satu sudut kafe itu, Joshua tiba-tiba teringat pada masa-masa awal ia belajar di sudut kota itu. Ketika itu, jam-jam lepas belajar selalu kaya canda dan lelucon. Dahulu ada Lukas, Sri, Ratih, Linda dan juga Imut, yang imut. Banyak cerita lucu terlontar begitu saja dan ditanggapi dengan senyum sampai tawa terpingkal-pingkal. Yang tidak kalah lucunya adalah percakapan bahasa asing dengan bunyi lokal. Kosakata bahasa asing dengan lafal Indonesia membuat orang lain merasa geli menahan tawa. Maklum lidah masih terlalu kaku untuk menirukan bunyi-bunyi bahasa asing, yang memang sulit. Hasilnya berkeranjang kesalahah menumpuk.
.
Kemudian, Joshua melihat ke sudut dekat jalan masuk. Masih segar dalam ingatannya bagaimana ia pertama kali bertemu dengan Rafika di sana suatu siang.
.
“Ah, Rafika. Siapa yang pernah menyangka kita bakal berjumpa di sudut sana? Siapa pula yang mengira sejak saat, itu benih-benih kekaguman di antara kita mulai tumbuh? Aku sebenarnya tidak begitu antusias, karena kutahu engkau dikawal bodyguard5mu yang kemudian belajar Sastra Jawa di Leiden itu. Aku masih ingat ketika temanmu, Ririn, memperkenalkan kita,” kenangnya.
.
“Joshua,” kataku sambil menjabat tanganmu dengan seutas senyum polos.
“Rafika,” balasmu dengan senyum manismu yang menggoda.
“Senang bertemu!” ucapku. “Belajar di sini juga?”
“Senang sekali bisa bertemu dengan Anda,” katamu. “Ya, tapi di level bawah”.
.
Joshua masih tenggelam dalam lamunannya. Ia ingat, sejak saat itu mereka sering bertemu, bercengkrama dalam tawa dan canda ria seakan hari-hari hanya berhiaskan prosa dan syair indah. Dan dari pertemuan beruntun itu, keakraban pun mulai terjalin, perlahan namun pasti. Tetapi masih dalam batas-batas kewajaran. Tak disangka-sangka kemudian mereka menjadi dua kekasih dalam bingkai ketakpastian. Apalagi setelah ia harus pulang ke Saparua – suatu pelosok bumi yang sungguh asing di telinga Rafika – untuk merayakan Natal bersama keluarga besarnya. Firasat-firasat mencemaskan yang dibawa deru dan angin samudera membuatnya segera meninggalkan pulau bersejarah itu dan kembali menjumpai si darah blasteran di kota ini. Apapun yang terjadi, biarlah sederet firasat itu teruji kini. Ia telah siap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun.
.
Jam lima kurang lima belas menit. Dari arah kiri muncul seorang cewek berwajah oval, elok, berambut hitam berkilau sebahu, melangkah cepat seperti sedang mengejar kereta pagi yang nyaris tinggalkan stasiun. Keterlambatan membuat wajahnya tampak agak tegang. Ia berhenti sebentar untuk menyapa beberapa orang kenalan yang sedang berdiskusi kusir di bawah pohon raksasa sambil meneguk kopi panas.
.
Setelah itu, ia melemparkan pandangan ke kanan. Dan tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menemukan Joshua yang duduk dengan karya Umberto Eco masih di tangannya, masih terbuka. Tapi kemudian segera ditutup.
.
“Selamat sore!” ucapnya tiba-tiba dengan maksud mengejutkan Joshua.
Cewek itu lalu menyodorkan tangan kuning langsat dengan senyum khasnya, senyum yang telah lama dirindukan pemuda seasal Elyas Pical dan Patimura itu.
.
“Aha…selamat sore juga, Fika! Bagaimana kabarmu?” sambut Joshua seakan tak sabar menantikan kalimat demi kalimat jawaban dari sang kekasih.
Andaikan mereka tak sedang berada tepat di tangga depan ketika itu, pasti basa-basi yang membosankan itu absen dari agenda temu-kangen para kekasih yang cukup lama berpisah.
.
“Alhamdulillah, baik! Kamu juga, ‘kan?” “Kamu perginya lama banget. Aku rindu banget sama kamu. Aku juga khawatir buangeeet dengan keadaanmu. Kenapa kamu pergi begitu lama? Kamu sudah lupa aku ya?” kata Rafika setengah berbisik.
.
“Ya, aku tahu Fika. Aku juga sangat rindu dan mengkhawatirkanmu. Tapi aku memang harus pergi. ‘Kan aku sudah bilang ke kamu sebelumnya, dan kamu setuju ‘kan?” balas Joshua berharap agar apa yang barusan ia dengar bukan sandiwara belaka. Ia berusaha untuk tidak melahirkan prasangka apapun.
.
Tiba-tiba Rafika berkata:
“Kukira nggak asyik kalau ngobrol di sini. Coba lihat tu, banyak orang lalu-lalang. Di sini dinding pun bisa berkuping loh. Bagaimana kalau kita cari tempat yang lebih aman saja biar ada privasi. Tapi di mana ya?” kata Rafika agak bingung.
.
“Aku ada ide,” kata Joshua. “Kita ke lantai atas saja. Di sana ada bangku kayu lebar. Dan kujamin sepi, karena anak-anak yang kursus sudah hampir pulang semuanya,” usul Joshua seakan ide itu telah disimpannya sejak tadi dan siap pakai.
.
“O.K. kalau begitu naik yok!” ajak Rafika sambil memperbaiki letak kaus kaki sebelah kirinya yang agak melorot karena kendor.
.
Ketika menaiki anak-anak tangga, Joshua menyodorkan tangan untuk menggandeng manja tangan Rafika. Tangannya disambut juga, namun ada keanehan - ada rasa dingin - yang seakan memancar deras dari permukaan kulit mulus itu. Joshua berharap itu hanya semacam reaksi penyesuaian kembali setelah lama tak bersua. Dengan sedikit membelok, akhirnya mereka tiba juga di tempat yang diusulkan Joshua.
.
Lantai atas itu tempat yang tidak begitu ramai. Pada malam hari, ketika tidak ada kelas malam, keadaan sunyi-senyap. Di sana, ada tiga ruang kelas berpintu tinggi, satu musholah dan dua kamar mandi dan WC. Pada saat itu memang masih ada satu kelas kursus yang belum usai. Tetapi mereka di dalam kelas tertutup sehingga hanya terdengar suara amat perlahan dari dalam. Bila seseorang berada di sudut dengan bangku panjang dan memandang ke bawah, ke arah kafe, akan tampak beberapa kursi besi yang dahulu bercat putih mengelilingi meja besi yang berwarna putih pula. Dahulu ada dahan-dahan pohon yang lebat menaungi sudut itu. Tapi kini dahan-dahan itu sudah dipangkas. Mungkin orang khawatir kalau-kalau ada ulat daun yang jatuh ke dalam gelas-gelas kopi, teh, jus, ataupun sepiring makanan. Dari situ pula terlihat Novotel yang menjulang tinggi. Bukan hanya itu, jalan-jalan dan gang-gang sempit tampak lebih jelas. Sudut itu menjadi sebuah gardu pandang tersembunyi yang mengasyikkan.
.
Sejoli itu berpelukan mesrah dan melepas rindu sesaat, lalu menempati bangku kayu. Setelah melepaskan alas kaki masing-masing, mereka duduk berhadap-hadapan, lebih rapat untuk menghalau dingin. Dengan kaki terlipat, ala lesehan, warung tenda tepi jalan. Untung bangku itu memang lebar.
.
Lama keduanya bertatapan dalam hening senja. Joshua menatap wajah Rafika dalam-dalam, dan dari gerak dan mimiknya, ia yakin Rafika ingin mengatakan sesuatu yang serius. Ia amat penasaran untuk mengetahuinya. Namun gadis itu seperti amat berat untuk berbicara. Akhirnya pemuda itulah yang membelah keheningan dengan kata-kata.
.
“Fika, ada apa sih? Kok kamu kelihatan serius banget, pucat, dan bingung? Kamu mau ngomong sesuatu ya?” Ngomong aja. “’Kan dari dulu kita sudah sepakat untuk saling terbuka dan jujur. Aku bersedia menyimak segala omonganmu,” lanjut Joshua.
.
Dengan agak ragu-ragu dan suara terbata-bata, Rafika mengumpulkan kekuatan untuk mengutarakan apa yang tersimpan rapi dalam benaknya. Ia kelihatan sangat khawatir, jangan-jangan ketika mendengar omongannya nanti, Joshua jengkel, marah, atau bahkan menamparnya, lalu pergi meninggalkannya sendiri di tempat yang sunyi itu.
.
Karena malam turun begitu cepat dan sebentar lagi ia harus segera tiba di rumahnya, Rafika berpikir sebaiknya ia tak perlu mengulur-ulur waktu. Che sera, sera6! Semuanya harus terungkap saat itu juga. Mumpung lebih dini dan ada kesempatan emas.
.
“Anu…anu…Jos, kamu harus janji nggak bakalan marah sama aku.” pinta cewek itu, lanjutnya, “aku ta…ta…kut kamu memarahi aku habis-habisan. Kamu janji ‘kan?”
.
“Oke, aku janji, tapi kamu juga harus janji untuk mengatakan yang sesungguhnya. Aku yakin kamu jujur,” kata Joshua berjanji sambil memperhatikan bibir Rafika yang kaku, tapi perlahan terbuka semakin lebar membiarkan suara dari kerongkongannya meluncur keluar dengan getaran yang nyata.
.
Joshua seperti sudah tak sabar menunggu kata-kata yang bakal terucap dari bibir gadis itu. Tapi ia berusaha sabar menunggu.
“Aku rasa…hubungan kita… akan menemui… jalan buntu.”
“Apa? Jalan buntu?! Apa maksudmu? Kenapa?” Joshua memberondong Rafika dengan sederet kata tanya. “Ayo, jangan diam!”
“Anu…Kedua orang tuaku nggak merestuinya. Mereka keberatan sekali, Jos.”
“Keberatan sekali? Apa maksudmu? Apa pula alasan mereka?”
“Anu…me…mereka bilang keyakinan kita berbeda. Akan sia-sia saja. Akan sulit bagi masa depan kita. Nggak bakal ada lembaga yang bersedia menikahkan kita di negeri ini. Aku harap kamu bisa mengerti. Tolonglah mengerti ya, Jos!”
.
“Oke. Kalau perbedaan itu, aku kira dari dulu sudah kita sadari bersama. Dan kita saling menghormati, ‘kan? Tapi penolakan itu pendirian orang tuamu. Kamu sendiri bagaimana? Apa pendapatmu? Kamu pasti punya pendapat, ‘kan?”
.
“Maaf…Jos, jangan marah ya!”
“Tapi kenapa aku harus marah?” tanya Joshua.
.
“Aku terpaksa… sependapat dengan mereka. Aku kira hubungan kita sampai di sini saja,” pinta Rafika. Ia menunduk sebentar, dan sesaat kemudian, mengangkat kepalanya, menatap Joshua dan berkata:
“Sebaiknya kita berteman saja tapi mesrah.”
“Berteman tapi mesrah? Apa mungkin itu? Kamu sudah nggak mencintai aku?”
“Kalau cinta, ya tetap cinta. Tapi aku harus bagaimana dong? Sekarang posisiku terjepit banget gitu loh!” katanya dengan wajah muram, memohon pengertian.
“Lalu bagaimana dengan hari-hari indah yang pernah kita lalui bersama? Kamu anggap apa hari-hari itu? Apakah semuanya harus terkubur zaman?” tanya Joshua.
“Nggak juga, biarlah semuanya tetap dikenang saja,” balas gadis itu, lalu lanjut berkata “orang tuaku telah merestui seseorang, Jos.”
“Seseorang, katamu? Seseorang?”
“Ya, seseorang. Seorang laki-laki!”
.
“Tentu saja ia seorang laki-laki, Fika?” balas Jos. “Jadi kalian satu keyakinan, begitu?” ia bertanya menyelidik. “Kalau demikian aku paham,” katanya sambil berharap semoga pria yang ia maksud seagama dengan si gadis. Bukankah itu yang dikehendaki?
.
Nggak! Agamanya beda kok. Tapi kedua orang tuaku telah merestuinya. Mereka senang menerimanya di rumah kami sejak hari pertama ia datang.”
.
Joshua tiba-tiba diliputi keheranan. Yang ia herankan adalah hubungan asmaranya dengan Rafika akan berakhir karena alasan perbedaan keyakinan. Lalu mengapa orang tua Fika merestui seorang lelaki lain yang ternyata berbeda keyakinan? Tidak ada bedanya dengan dirinya yang kebetulan berlainan keyakinan. Dalam hati kecilnya ia yakin ada suatu ketidakberesan dalam penolakan terhadap dirinya. Pasti ada alasan lain yang mungkin non-agama sifatnya. Entah apa itu. Ia masih menduga-duga.
.
“Fika, aku heran banget dengan omonganmu, juga sikapmu dan kedua ortumu. Tadi kamu bilang mereka nggak merestui hubungan kita karena perbedaan agama: kamu agama A, dan aku agama B. Kalau itu, aku masih bisa terima. Aku paham kok! Tapi orang tuamu merestui pria lain yang kausebutkan tadi? Apa bedanya? Ada apa dibalik semua ini? Ada apa Fika? Bisa nggak kamu jujur?” pinta Joshua tak sabar.
.
Rafika bagai arca. Masih lebih hidup arca Roro Jonggrang di Candi Prambanan. Ia seperti telah terjebak oleh kata-katanya sendiri. Tambang alasan yang ia ulurkan sepanjang mungkin telah melaso dirinya sendiri. Ia tidak mempunyai alasan lain yang logis. Karena itu, ia terdiam agak lama, lalu mencoba kembali berkata:
“Anu…orang tuaku telah merestuinya. Itu saja! Aku harap kamu mengerti, Jos.”
.
“Aku mohon kamu punya pendapat sendiri, Fika. Kamu ‘kan bisa punya pendapat sendiri,” kata Joshua dengan rasa jengkel yang tertahan dan nyaris meledak.
.
Rafika kelihatan hendak menjelaskan sesuatu, tetapi Joshua yang sudah mencium ketidaklogisan kata-kata cewek yang sangat dicintainya itu, merasa tidak membutuhkan lagi pernyataan tambahan. Dan sebaiknya pertemuan malam itu diakhiri saja. Ada satu hal yang sudah jelas di benaknya: penolakan orang tua Rafika yang diamini Rafika sendiri bukan karena alasan perbedaan keyakinan. Tapi alasan apa pun itu, ia tidak tertarik lagi untuk mengetahuinya. Semoga waktu yang akan meyingkap semuanya!
.
Joshua menyesali tidak logisnya sikap kedua orang tua Rafika. Mereka jelas menolak yang berbeda untuk menerima yang berbeda. Tidak ada yang masuk akal dalam hal ini. Sangat ganjil! Tetapi ia tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya dan berusaha memaafkan Rafika. Hanya ia tak ingin hubungan yang tandus kelogisan, kejujuran dan kesetiaan dipertahankan. Kalaupun itu mungkin, atau dipaksakan, akan sama dengan memperlebar bingkai ketidapastian dalam waktu. Hari masih panjang. Carpe diem7!
.
Sepasang kekasih yang baru saja bubar itu meninggalkan sudut dengan bangku panjang dalam seribu bisu, menuruni tangga, lalu berjalan menuju ke tempat parkir. Joshua mengucapkan terima kasih, dan setelah sesaat menatap Rafika menyentuh sepeda motor Suzukinya, ia melangkah meninggalkan tempat parkir itu seketika tanpa menoleh. Ia tetap menyesali sikap Rafika dan kedua orang tuanya yang tidak logis. Dalam kepahitan, ia bersyukur karena telah bebas dari belenggu ketidaklogisan, ketidakpolosan, juga ketidaksetiaan. Ia merasa seakan ia baru meninggalkan biara terbakar pada akhir kisah dalam novel The Name of the Rose yang sempat ia lirik walau belum membaca keseluruah bab. Ia tidak ingin hari-hari hidup selanjutnya dibingkai kegelisahan, karena William Baskerville, dalam novel yang ia baca, seolah-olah telah memperingatkannya lewat ucapan Non in commotione, non in commotione Dominus.


Yogyakarta, November 2004

* Peminat bahasa dan sastra, aktif menulis puisi dan cerpen, mengikuti kegiatan sastra, serta menyusun kamus, berdomisili di Yogyakarta.

1 “Bukan dalam kegelisahan, Tuhan ada bukan dalam kegelisahan” (bahasa Latin), kutipan dari novel the Name of the Rose versi bahasa Indonesia terbitan Bentang, hlm. 654 2 “Mawar bisa berarti segala-galanya atau tidak berarti apa-apa” (bahasa Latin), kutipan dari novel the Name of the Rose versi bahasa Indonesia terbitan Bentang, hlm. ix 3 fosil manusia kerdil yang baru-baru ini ditemukan di Flores 4 penggemar/pencinta (bahasa Inggris) 5 apapun yang terjadi, biarlah terjadi (bahasa Italia) 6 pengawal (bahasa Inggris) 7 nikmatilah waktu hari ini sebanyak-banyaknya (bahasa Latin)




Mengejar Impian di Ibu kota


Untuk yang kecewa di metropolis

Ibu kota tak selamanya sinetron
dengan mimpi yang muluk-muluk.
Dan tiap panggilan metropolitan
perlu tafsiran seribu bentuk.

Sepucuk surat indah dari ibu kota
bangkitkan angan yang terkubur.
Dan oleh karena daya kata-kata
kaucoba gapai mimpi yang kabur.

Namun kautelah jadi Monas baru
yang tetap tegak diterpa badai.
Kemarin kauditatap dengan haru,
kini pengalaman membuatmu pandai.


Yogyakarta, 14 November 2007
Karya: Yohanes Manhitu

Pohon Para Pendoa

Karya: Yohanes Manhitu

Konon dewasa ini keutuhanmu
tak lagi bisa kami pulihkan
dari serbuk dan minyak
yang telah jauh dari bumi,
tempat dahulu kauberpijak.

Terlampau banyak dan dalam jejakmu
di atas lembaran kitab-kitab sejarah
sehingga dunia kehilangan wajah
apabila hanya di nomenklatur
namamu hidup, tanpa wujud.

Demi baktimu kepada Sang Pencipta,
kaurela dijadikan biji-biji yang indah
untuk untaian doa anak negeri.
Dan kauharus subur bertumbuh
agar doa kami tetap mewangi.

Yogyakarta, November 2007

Nostalgia Penyair


Karya: Yohanes Manhitu

Di sebuah kedai tua
di pinggir kota lama,
masih sering tampak
walau berpucat wajah,
seorang lelaki tua
yang melangkah tertatih.

Tiada yang lebih indah
di seluruh kota lama
selain kedai itu – yang tersisa –
tempat dahulu kata menjadi musik.
Sejak negerinya jemu bersajak,
kedai tua itu gudang nostalgia.

Yogyakarta, November 2007

Post forta impreso venis longa serĉo*

Bildo: Farita de Yohanes Manhitu

De: Yohanes Manhitu*

Antaŭ kelkaj jaroj, kiam mi estis studento de angla lingvo en la Universitato de Nusa Cendana (Undana), en Kupang, Okcidenta Timoro, en la klaso de historia komparativa lingvuistiko, krom la “naturaj” lingvoj oni lernis ankaŭ pri unuj planitaj lingvoj. Kaj la tre regula esperanta gramatiko surprizis min. Kompare kun la davana lingvo – la plej parolata indiĝena lingvo de la okcidenta parto de la “insulo de santalo” –, Esperanto estas multe pli simpla. Bedaŭrinde, en tiu tempo mi ne povis lerni ĝin, ĉar mi estis tro okupita per mia studado. Sed la semo de kuriozaĵo pri ĝi ekkreskigis malrapide sed certe en mi.

La tempo pasigis, kaj finfine venis la horo por koni pli malproksime Esperanton kiam mi ĵus ekvivis en Yogyakarta – unu el la plej kulturaj urboj de Indonezio. Unu tagon, mi rememoris Esperanton kaj mi provis trovi informojn pri ĝi en la reto, kie subite aperis al mi la retpaĝo de la retkurso de Esperanto. Mi sentis kiel mi trovis trezoron. Mi tuj presis rekte de la reto kelkajn paĝojn kaj eklernis la lingvon interrete. Mi regule sendis la resultojn al instruisto, kies nomon mi bedaŭrinde forgesas. Sed poste mi haltis la kurson, ĉar mi pensis, ke mi povus uzi la autodidaktan metodon, kiu estas sendependa.

Kiam mi jam trovis la facilecon de Esperanto per la autodidakta lernado, mi tre volis diri tion klare kaj koncize al ĉiuj en nia lando. Kaj per unu artikolo titolita Esperanto, Bahasa Dunia Masa Depan? (la indonezia, Esperanto, la Estonta Mondlingvo?) kiu aperis en la tablojdo Intisari, mi komencis disvastigi informon pri la internacia lingvo. Poste, kelkaj samlandanoj kiuj jam legis la artikolon kaj estis kuriozaj pri ĝi min kontaktis per retletero por diskuti pri la lingvo. La forta deziro por pli disvastigi Esperanton en nia lando motivigis min fari retliston en Yahoo!Groups. Nun la membroj de tiu ĉi listo plejparte estas internaciaj esperantistoj. Unuflanke, la partopreno de ĉi tiuj multilingvaj samideanoj tre fortigas la uzon de Esperanto kiel sola komunikilo de la listo. Aliflanke, ĉi tiu situacio ŝajne malhelpas la partoprenon de la novaj lokaj esperantaj lernantoj en niaj diskutoj. Sed ne gravas! Ĉiuj novaj lernantoj povos partopreni kiam ili estos pretaj. Bonvenon!

Mi persone tre ŝatas (internacian) amikecon kaj la kulturon, nacian kaj de aliaj landoj, precipe mi valorigas la lingvan egalecon en la planedo. Kaj por efektivigi tiun ĉi grandan ŝatecon, mi kredas, ke Esperanto estas helpema ilo. Krome, mi ĉiam konvinkiĝas, ke lingva beleco troviĝas en la literaturo (poezio, prozo, k.c.). Tial, mi ŝatas legi esperante kaj jam ĝoje elektis Esperanton kiel unu de miaj memesprimiloj. Ĉu vi ankaŭ faros tion?

Jogjakarto, Indonezio, oktobro 2007
--------------------------------------
*) Ĉi tiu eseo troviĝas en Esperanto kaj mi: Eseoj de 180 esperantistoj el 17 aziaj landoj (Ĝunma, Japanio: Horizonto, 2007; paĝo 48-49).
**) Indonezia verkisto kaj tradukisto, loĝanta en Jogjakarto. Kelkaj el liaj verkoj estas Kamus Indonesia-Tetun, Tetun-Indonesia (Ĝakarto: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Kamus Portugis-Indonesia, Indonesia-Portugis (Ĝakarto: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), originala poemaro en Esperanto Sub la vasta ĉielo (Candelo, Aŭstralio: Mondeto, 2010), davana-esperanta poemaro Feotnai Mapules—Princino Laŭdata (Antverpeno: Eldonejo Libera, 2016), kaj angla-franca poemaro A Walk at Night (Une promenade de nuit) (Antverpeno: Eldonejo Libera, 2017). 

Suara Tuhan di Radio

Karya: Yohanes Manhitu

Setiap malam pada jam yang sama
kupasang telinga ke arah radio,
yang dari sudut kamar bersuara.
Kusimak litani usang kekecewaan.

“Suara rakyat adalah suara Tuhan,”
seorang penelepon angkat bicara.
“Harap kalau bicara pakai nurani,”
usul sang narasumber bijaksana.

Lalu dari barat sampai ke timur
bersahut-sahutan suara kecewa.
Dan yang merasa puas itu angin
yang mempermainkan bahtera nusa.

Setiap menit aku terus berharap
dengan kuping ke arah radio
agar dari segala penjuru negeri
lahir litani indah ketenteraman.

Yogyakarta, November 2007