Wednesday, February 29, 2012

Penyair Perempuan dari Khatulistiwa


Karya: Yohanes Manhitu

Kepadaku senantiasa kaukirim sajak-sajak—
cerminan tentang pulau kecilmu nan indah,
tempat sinar matahari mencintai bunga;
dan kau, penyair, jadi impian seseorang.

Di puisimu tak ditemukan salju,
bahkan ketika itu tentang Natal.
Telah kunikmati rasa pepaya
di antara aroma puisi buah-buahan.

Hari ini sudah kuterima sajak baru
yang ditulis pada musim kemarau silam.
Setiap baitnya memantulkan wajahmu
yang terlukis indah di kanvas lazuardi.

Di sana, di sana kauberada, penyair elokku—
pengagum sinar matahari dan buah-buahan.
Lewat kata-kata, sampailah padaku tiap vitamin:
zat untuk bertahan hidup selama seribu musim.

Yogyakarta, 14 Februari 2012 
(Terjemahan dari puisi Esperanto saya)

Salibkan Ketiadaan


Sumber foto: Klik di sini.

Karya: Yohanes Manhitu

Anggur hayat kauperlu
agar hatimu terisi penuh
dan luapkan aliran kasih
yang gerak tanpa letih.

Asa yang patut kauasah
agar rindu bersemi mawar
dan lahirkan sejuta benih.

Pada yang ada kaupeduli
agar rasa dan asa berpadu
dan salibkan ketiadaanmu.

Suryodiningratan-Yogyakarta
27 Agustus 2004

Sunday, January 29, 2012

Sebuah Tatapan

http://pathlessmind.com/wp-content/uploads/2009/11/road.jpg
Karya: Yohanes Manhitu

Sejak semalam,
ketika jarum jam hendak menunjukkan
pukul dua belas tengah malam,
belum sanggup kupejamkan sepasang mata ini.
aku telah berusaha semampuku
‘tuk buat keduanya beristirahat sejenak,
berhenti menatap dinding bercat putih
yang tak bisa pahami perasaanku.

Oh, dinding bercat putih,
seandainya dikau bisa
sedikit saja mengerti
segala yang kurasakan,
barangkali dikau ‘kan berusaha
memberiku sepatah dua kata
yang buat aku senantiasa ingat
akan tujuan perjalanan hidupku
yang masih panjang ini.

Saat ini aku baru saja
memasuki hari keempat
di tahun yang baru ini,
tahun dua ribu tiga –
tahun yang kuharapkan
menjadi tahun yang penuh berkah
dan harapan akan terlaksananya
selaksa rencana hidupku.

Tuhan…aku telah berusaha
merancang segalanya bagi hidupku,
namun engkau jualah yang harus merestuinya.
kuharap engkau ‘kan berkata:
“AnakKu yang masih bimbang,
telah Kuketahui segala keinginan baikmu
dan akan ijinkan kau mencapainya.”
dan aku ‘kan membalas:
“syukur kepadaMu, o, Tuhanku.”

Sebentar lagi aku ‘kan kembali mencoba
‘tuk pejamkan kedua mata ini
‘tuk kesekian kalinya.
semoga mereka tak bertahan
‘tuk terus tatap tembok putih bisu lagi,
tembok yang memang telah ditakdirkan hanya
‘tuk bentengi tanpa berkata-kata,
apalagi menyodorkan sekeping makna.
betapa malang nasibmu, tembok putih!

Aku merasa bersalah
karena telah memaksa kedua mataku
‘tuk terus menatap dengan menghabiskan
dua cangkir kecil coffee mix.
maafkan aku, oh, kedua mataku.
sekarang aku ‘kan segera berbaring
karena aku telah kehabisan kata,
apalagi makna.

Sengkan-Yogyakarta, 
4 Januari 2003

Dalam Keheningan Fajar

Klik di sini untuk melihat sumber foto.
Karya: Yohanes Manhitu

Di kala fajar menyingsing
hendak menerangi alam dilepas malam,
aku berjalan menyusuri sederet bangunan tua
yang tergusur gedung-gedung percakar langit,
bahkan nyawa, yang mengepung mereka.
mungkin pemiliknya pergi karena takut
ditimpah gedung yang runtuh.

Di dekat bangunan-bangunan tua itu,
kuhentikan langkahku di pinggir sebuah telaga kecil:
telaga yang dahulu kukenal sebagai telaga indah
dengan ikan-ikan yang berwarna-warni
yang bebas berenang kian kemari,
berkejar-kejaran dengan gembira.

Dahulu, aku sering
berhenti sesaat di sana
hanya untuk menatapnya,
lalu meneruskan lari pagiku
tanpa mempedulikan pemilik kolamnya
yang selalu menatapku dengan tanda tanya.

Namun sekarang telaga itu
mulai kekurangan air, seiring dengan perginya
para penghuni bangunan-bangunan tua itu.
aku menatapnya sesaat, kemudian berlalu,
sambil membayangkan hatiku yang remuk.
membayangkan gejala ketidaksetiaanmu,
ketidakjujuranmu yang ‘kan mungkin menyeretku     
kepada ketidakpastian tak berkesudahan.

Bagai telaga yang mulai kekurangan air,
mulai kurasakan kurangnya curahan kasihmu.
mungkinkah suatu saat nanti hatiku ini
akan menjadi telaga yang kehabisan cinta?!
aku tak tahu! aku tak suka menebak teka-teki!
yang kusukai hanyalah kepastian, ya kepastian pasti.
mengapa kuharus berandai-andai?

Dari telaga itu kuayunkan langkahku
ke sebuah taman nan menawan dan menyegarkan kalbu.
di sana kutatap rumput yang tumbuh subur menghijau,
bagaikan permadani indah yang terbentang luas
dari singgasana hingga tangga-tangga istana para sultan Arab
dalam kisah legendaris seribu satu malam.
kuingin jiwaku setegar rumput yang tak gentar
menghadapi terpaan angin lembah yang mengancam hayat.

Aku bertanya pada diriku sendiri,
“apakah aku sedang bermimpi saat ini?”
oh, tidak....tidak. aku sungguh-sungguh
sedang berada di sebuah taman,
taman impian yang nyata.

Hatiku memang sangat mengharapkan
tetesan-tetesan embun bening jiwamu,
bagai semak-semak kering di padang sabana Afrika
yang nantikan hujan yang entah kapan akan tiba.
hati kecilku berbisik tanpa kusadari, “Oh, Tuhanku,
bawalah dia kembali ke haribaan kalbuku.”

Starnet Sutoyo-Yogyakarta
21 Agustus 2002

Pengakuan Insani

Source: http://farm1.static.flickr.com/20/71139361_1641416e7b.jpg
Dalam kekerdilanku
kuakui kebesaran-Mu
nan nyata di hari-hariku.

Yogyakarta, 10-01-2012

Monday, January 9, 2012

Di ambang fajar

Foto: http://farm7.static.flickr.com/6180/6165236656_eb26398005.jpg
Jalan kembali ramai
kendaraan lalu-lalang
kehidupan bergeliat lagi.

Yogyakarta, 09-01-2012

Saturday, December 31, 2011

Sajak-Sajak Pendek untuk Menyongsong Fajar


Sebentuk Haiku Dini
 
Alam sambut subuh
Terdengar kokok jago
Mataku belum pejam.

Jogja, 26-12-2011
===

Permintaan Subuh

Tiada yang sempurna
Tapi bukan mendung.
Maukah kau jadi fajar?

Jogja, 27-12-2011
===

Jalan Kampung Mulus

Tiada lumpur atau kerikil

di wajah jalan kampung.
Ini kampung dekat Pusat.

Jogja, 29-12-2011

===

Menanti Mentari

Tanah masih basah,

jejak hujan semalam.
Matahari belum tampak.

Jogja, 30-12-2011