Saturday, March 22, 2008

Dahaga Pengembara


Karya: Yohanes Manhitu
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi…

(Chairil Anwar, Derai-derai Cemara)

aku pengembara laksana gipsi
aku bendung gelora dahagaku
di kerongkonganku, saharaku.
hujan air segar harus kuteguk
di oasis berdindingkan lumut.
ya, di sini, aku harus minum,
lalu isi penuh buli-buliku.

Pugeran Timur-Jogjakarta
23 Agustus 2004

Sopir Becak (Becak Driver)

karya: Yohanes Manhitu

kau yang setiap saat
mengayuh tanpa kenal lelahkau yang selalu bermandikan peluh
di bawah pancaran cahaya sang surya
di musim panas yang melelahkan
dan mengundang sejuta keluhankau yang selalu jadi sasaran empuk
tetesan air mata sang langit
di musim hujan
yang datang tak beraturan; dan, kau
yang sering disingkirkan
karena semakin padatnya arus lalu-lintas
yang dikuasai pengemudi kendaraan modern
yang miskin tenggang rasa


dahulu kau masih bisa nikmati sebentuk kebahagiaan
yang terpancar lewat senyuman di wajah dan kayuhanmu
yang lincah menerjang jalan berbatu-batu
yang menanjak; dahulu kau masih bangga
menjadi pahlawan pelestarian lingkungan hidup
walau tak selalu disukai,
apalagi menyandang tanda penghargaan bertaraf nasionalnamun sekarang tak tega kubayangkan nasibmu,
istrimu, dan anak-anakmu ‘tuk tahun-tahun yang ‘kan tiba.
akankah kau terus bertahan manja?


seiring dengan meningkatnya kebahagiaan manusia
‘tuk ciptakan hembusan asap tebal
dari pipa mesin angkutannya,
dan hiasi segala penjuru jalan kota dan desa
dengan kendaraan super elok,
engkau harus bergelut ‘tuk cari jalan lain ke Roma.
ya, jalan lain kepada terpenuhinya segala idaman
dan impian kau, istri, dan anak-anakmu.


bila pada suatu saat kau merasa tak berarti lagi
atau tersingkir karena desakan jaman,
jangan kau jadikan setiap keping kayu
yang bentuk kendaraanmu kayu bakar
‘tuk hangatkan tubuh kurusmu
yang kedinginan, dan roda-rodanya mainan anak-anakmu
yang bayangkan sebuah masa depan nan cemerlang. letakkanlah kendaraan antipencemaran udaramu seutuhnya
di salah satu sudut museum sebagai monumen
‘tuk kenang masa lampau.
biarlah angkatan yang akan datang
tetap mengenang kehadiranmu,
tetapi tidak untuk mengulangi saat-saat sulit
yang telah kau lalui.

Pugeran Timur-Jogjakarta
04 Januari 2003

Happy Easter 2008 to you all!


Selamat Paskah!
Tabê Paskah!
Paskoa Kmanek!
Sugeng Paskah!
Happy Easter!
Joyeuses Pâques!
¡Felices Pascuas!
Feliz Páscoa!
Feliĉan Paskon!
Prospera Pascha sit!
Frohe Ostern!

Yohanes

Friday, February 15, 2008

Rubrik “Tapaleuk”, Sebuah Konsistensi demi Konservasi

Gambar: https://kupang.tribunnews.com

Oleh: YOHANES MANHITU*

KONSISTENSI dapat bermakna suatu wujud keseriusan dan bukti tanggung jawab yang tidak setengah hati. Dan ia tak akan pudar dalam perjalanan waktu apabila komitmen awal misi yang dijalankan senantiasa dipelihara dan diperbarui dari masa ke masa. Konsistensi tidak selamanya berhubungan dengan hal-hal yang besar dan “menghebohkan” saja; hal-hal yang mungkin tampak sepele bagi orang tertentu pun membutuhkan konsistensi demi keberlanjutannya. Sebagai contoh yang sederhana saja, akan terasa sangat janggal apabila kita menyebut seseorang itu humoris padahal ia hanya kebetulan berhumor sehari tetapi selanjutnya menjadi cemberut, acuh tak acuh, dan bahkan menjengkelkan.

Dalam kaitannya dengan konsistensi, khususnya demi pelestarian dan kelestarian bahasa Melayu Kupang (selanjutnya disebut bahasa Kupang dalam tulisan ini), saya memandang rubrik “Tapaleuk” (yang walaupun dalam bahasa Kupang berarti berjalan ke sana kemari tanpa arah dan tujuan yang jelas, tujuan rubrik ini sendiri jelas) sebagai salah satu bukti nyata. Mengapa? Karena sejak beberapa tahun silam, tatkala saya pertama kali menginjakkan kaki di Kota Kupang untuk menuntut ilmu di bangku kuliah, hingga saat ini, ketika saya tinggal di pulau lain karena suratan takdir, rublik “Tapaleuk” sudah ada dan tetap menjadi bagian integral dari Harian Pos Kupang. Siapa pun yang telah menggagas keberadaannya, patut diberi acungan dua jempol sekaligus. Yang menarik bagi saya dari rubrik ini adalah kemampuan para penulisnya untuk meramu berita aktual dalam nuansa lokal dengan humor yang bisa membuat pembaca tertawa terkekeh-kekeh. Tetapi sayangnya humor segar itu hanya akan dapat dinikmati dengan sempurna jika pembaca sungguh-sungguh merasakannya dalam bahasa Kupang. Jika tidak, ia terpaksa harus menunda tawanya hingga ia betul-betul mengerti maksud tulisan tersebut. Salah satu cara yang baik untuk menimbulkan efek tawa adalah membaca setiap kata dengan intonasi yang tepat dan penuh penghayatan. Keterlambatan untuk memahami seperti ini wajar sifatnya, karena tak selamanya sesuatu yang lucu dalam suatu budaya (baca: bahasa) dapat secara otomatis dirasakan oleh seseorang yang bukan penutur bahasa itu, termasuk mereka yang sudah belajar dan mampu menggunakan bahasa tersebut, namun belum sungguh-sungguh menangkap jiwanya (belum sungguh-sungguh menyatu). Dalam percakapan sehari-hari keterlambatan untuk mengerti suatu lelucon (juga hal lain) biasanya disebut “telmi” (singkatan dari “telat mikir”, terlambat berpikir).

Setelah menilik sepintas rubrik “Tapaleuk” di Harian Pos Kupang, orang mungkin akan tergelitik untuk bertanya, “Mengapa rublik dalam bahasa lokal kok digabungkan dengan tulisan-tulisan lain dalam bahasa Indonesia, yang bersifat resmi dan standar? Apakah tidak akan lebih baik membuat media berbahasa lokal yang memuat rubrik seperti ini?” Tentu ini pertanyaan yang mengandung gagasan bagus sekaligus menantang dan layak dihargai. Tetapi jika sejauh ini hubungan rubrik “Tapaleuk” yang berbahasa Kupang dan bagian lain yang berbahasa Indonesia akur-akur saja, maka tidak ada alasan untuk mempersoalkannya. Boleh saja kita berharap agar suatu hari nanti gagasan di atas bisa terwujud di bumi NTT yang sangat kaya akan bahasa Nusantara (daerah). Wallahualam!

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, kadang-kadang kita masih memandang dengan sebelah mata hal-hal yang “berbau” lokal, seolah-olah segala sesuatu yang baik hanya ada dalam dan satu paket dengan hal-hal yang bersifat nasional dan internasional. Patut disadari bahwa setiap gerak maju sekaligus bisa merupakan kemunduran. Jadi kita bisa maju selangkah dan pada saat yang sama kita mundur dua langkah atau lebih. Dan kehadiran rublik “Tapaleuk”, walaupun belum merupakan solusi final, menunjukkan bahwa kita masih terus mengapresiasi hal-hal baik yang kita miliki sambil berusaha menimba dengan tekun yang positif dari tempat lain guna memperkaya milik kita sendiri. Sebagai orang yang melek sejarah, kita tentu tidak akan mengatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam rubrik ini adalah bahasa Indonesia rusak atau hancur, karena kenyataannya bahasa Kupang dan bahasa Indonesia adalah dua bahasa yang berbeda (terpisah), namun bersaudara (sama-sama Melayu). Kemungkinan besar karena “persaudaraan” mereka itulah kita terkadang tanpa berpikir panjang terlanjur memvonis bahasa Kupang sebagai bahasa rusak dari bahasa Indonesia. Saya tidak tahu bagaimana perkembangan saat ini, semoga sudah jauh lebih baik, tetapi beberapa puluh tahun silam ada orang tua tertentu melarang anak-anak mereka menggunakan bahasa Kupang, karena khawatir bahwa bahasa Indonesia mereka akan “rusak” atau “hancur” gara-gara berbicara bahasa Kupang. Dapat diduga bahwa kelalaian kitalah yang menimbulkan “ketidaknyamanan” ini. Perbedaan antara bentuk ini hari (bahasa Kupang) dan hari ini (bahasa Indonesia) terbilang di antara pokok-pokok yang perlu disadari sejak dini. Di kemudian hari, ketika anak-anak mulai belajar bahasa Inggris, penting untuk membiasakan mereka menggunakan frasa-frasa yang sederhana dengan tepat, misalnya padanan frasa this book dalam bahasa Kupang adalah ini buku dan dalam bahasa Indonesia adalah buku ini. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan bahasa sejak dini. Semoga perbedaan-perbedaan seperti ini dapat diperjelas oleh rubrik “Tapaleuk” dan juga karya lain yang lebih serius dan memiliki “otoritas”, seperti Tuhan Allah Pung Janji Baru (Alkitab Perjanjian Baru dalam bahasa Kupang) yang sudah diluncurkan pada tanggal 7 September 2007. Yang terakhir ini adalah suatu karya besar yang patut disambut dengan gembira dan dapat dibaca sebagai kitab suci sekaligus referensi sastra tulis bahasa Kupang.

Sehubungan dengan apa yang telah disinggung di atas bahwa bahasa Kupang berbeda dari bahasa Indonesia dan secara historis sudah ada di Kupang dan sekitarnya sebelum bahasa Indonesia yang kita cintai ini lahir, baik de facto maupun de jure, saya ingin mengutip secara langsung beberapa baris kalimat dari buku Malay, World Language: a short history (Bahasa Melayu, Bahasa Dunia: Sejarah Singkat) karya James T. Collins yang diterjemahkan oleh Alma Evita Almanar dan diterbitkan Penerbit Obor (2005:89). Kutipan tersebut adalah sebagai berikut, “Pada tahun 1857, Alfred R. Wallace yang terkenal sebagai pemula life science dan teori evolusi terlibat dalam suatu percakapan ilmiah dengan menggunakan bahasa Melayu. Di tempat terpencil di Kupang, Timor, dia dan seorang pejabat kesehatan Jerman, Dr. Arndt. Pada mulanya (mereka) mengadakan pembicaraan dalam bahasa Prancis, namun tidak lama kemudian segera beralih memakai bahasa Melayu dan berbincang-bincang lama serta berdiskusi tentang sastra dan pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filsafat.” Berdasarkan kutipan langsung ini, hampir dapat dipastikan bahwa dialek Melayu yang digunakan Wallace dan Arndt adalah dialek Melayu Kupang, atau setidak-tidaknya bercampur dengan dialek ini walaupun mungkin yang digunakan adalah bahasa Melayu Tinggi (moyang bahasa Indonesia). Sayangnya tidak tersedia salinan percakapan yang dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran hal ini. Namun terlepas dari benar atau tidaknya kedua ahli di atas menggunakan dialek Melayu Kupang dalam diskusi mereka, bahasa Kupang sudah lama memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Kupang dan sekitarnya, dan rubrik “Tapaleuk” serta tulisan-tulisan lain, baik yang sudah ada sebelumnya maupun yang akan datang, yang bersifat religius dan sekuler, melanjutkan suatu tradisi yang tak bisa dipandang remeh.

Akhirnya, saya berharap agar rublik kecil ini bisa tetap hadir dan senantiasa menjadi oasis yang tak kunjung kering bagi gagasan-gagasan dalam bahasa Kupang yang kental. Soal ukuran tidaklah serius asal tetap bermanfaat (biar sadiki sayur marungga, bisa babagi deng tatangga). Adalah penting untuk banyak menulis dalam bahasa lain tentang suatu bahasa, tetapi kiranya jauh lebih penting untuk kemudian menulis dalam bahasa itu sendiri agar ia tetap lestari dalam kata-kata yang menari. Dan semoga rubrik “Tapaleuk” yang saat ini sudah hadir secara aktif di dunia maya bisa tetap mempertahankan hal ini..

-------------------------------------------
* Penulis adalah peminat dan pegiat bahasa dan sastra, tinggal di Yogyakarta

Friday, February 1, 2008

A língua representa um país

Por: YOHANES MANHITU (A versão inglesa)

CADA ano, em outubro, o povo indonésio tem o que é chamado "bulan bahasa" (o mês de língua), durante o qual um número de actividades relacionadas à língua são executadas para apreciar a bahasa Indonesia, a língua nacional e official do país. O mês de outubro foi escolhido porque era no dia de 28 de outubro de 1928 que a Promessa de Juventude foi proclamada. E um de seus pontos era ter uma língua unificadora, a língua indonésia - uma língua esperada para unificar a nação inteira e tencionada ser identidade nacional. A língua é meio de comunicação e símbolo de uma nação ou de um grupo de comunidade. Cada país no mundo necessita uma língua, normalmente uma língua nacional, ou oficial, com qual forma sua unidade nacional através da comunicação. Portanto, uma língua joga papéis cruciais em todos os aspectos da vida. Um pode imaginar um país sem língua oficial. Muitos países no mundo politicamente escolheram uma língua para transferir todas suas políticas e para ganhar orgulho nacional. Normalmente, padronizar uma língua que era previamente língua de comércio ou língua franca regional é comum. Neste caso, uma língua funciona como ponte entre as pessoas que falam vernáculos diferentes. A língua indonésia - o foco principal deste pedaço de escrito - era previamente língua malaia alta que mais tarde emprestou muitas palavras de muitas línguas diferentes introduzidas ao arquipélago: sânscrito, persa, arábico, português, holandês, inglês, e javanês, antes e depois do seu "baptismo" como língua nacional e oficial da República de Indonésia. Tendo esta posição, a língua torna-se língua lutadora única em quase todos os aspectos da vida política e social do país. É verdadeiro que há milhares de vernáculos que se espalham por todo o arquipélago, mas seu papel é relativamente limitado - eles principalmente são usados nos domínios culturais. Muitos deles ainda são usados em cerimônias tradicionais. No entanto, muitas cerimônias agora são executadas na língua nacional devido a uma razão muito prática: é muito mais fácil entender e usar comparada às línguas étnicas. A língua nacional sofreu um processo longo de padronização desde o seu reconhecimento como a língua nacional e oficial única do país em 1945. O centro para pesquisas e desenvolvimento da língua indonésia tem feito o melhor que se pode para tornar a língua fácil de usar. Muitos dicionários e livros foram publicados e republicados para introduzir a língua à sociedade e ao mundo. Além disso, muitos seminários de língua e programas de televisão (na TVRI- Televisão da República de Indonésia) foi executados para disseminar muitas informações sobre a língua. Isto pode ser considerado como uma campanha imensa de língua. Naturalmente, muito orçamento foi necessitado para fazer esta campanha bem sucedido em alcançar seus objetivos. Isto é um trabalho muito impressionante e merece muita apreciação. Hoje em dia, com muitos meios de comunicação visuais disponíveis, a língua espalha-se muito rapidamente a quase todas partes do país, atravessando limites regionais. Mas isto sempre quer dizer que a extensão da língua indonésia é boa e correcta? A resposta é "não"! Apenas algumas notícias, especialmente os programas formales de televisão e de rádio, transmitem-se com bom e correcto indonésio. Muitos programas de TV são transmitidos no indonésio coloquial que é facilmente imitado por um grande número de pessoas como língua na berra ou de cidade. Para ser honesto, muitas pessoas indonésias tendem a usar a língua indonésia com palavras estrangeiras “virjens” cujos os equivalentes estão disponíveis por muito tempo na língua. Isto pode ser um precedente assustador para a sobrevivência e desenvolvimento rápido da língua que esta a crescer. Não devo contar as razões para que eles fizeram tal escolha. Todo o mundo tem os seus próprios direitos de proferir uma palavra. Não obstante, é de facto sábio pensar em quaisquer conseqüências que a expressão vocal talvez traga à sociedade e ao desenvolvimento da língua unificadora. Há uma suposição forte que o fracasso de um país de construir uma unidade forte e uma única percepção está devido ao fracasso de usar um meio bom e correcto de comunicação. Um pode imaginar como uma pessoa sem boa educação que reside numa região remota pode entender uma fala decorada por demais palavras estrangeiras foneticamente originais. Mesmo os com boa educação mas sem conhecimento de língua estrangeira, neste caso o inglês, pensarão duas vezes para reivindicar que compreendem o que já foi proferido. Portanto, é sugerido que tivemos melhor usar a língua normal quando falar publicamente para evitar quaisquer mal-entendidos que talvez levem a uma manifestação fatal. Isto talvez pareça fácil mas, na realidade, é uma bomba de relógio para o desenvolvimento do país e às políticas que se espalham. É importante saber que a sobrevivência e o desenvolvimento bem sucedido da língua de um país não necessariamente dependem de nenhumas instituições de governo tendo sido designado para trabalhar no campo de desenvolvimento da língua. Na realidade, o povo de um país é também responsável pelo desenvolvimento da sua própria língua, o seu próprio veículo de comunicação. O mais amam sua língua, o mais estão dispostos a defendê-la e a preocupar-se com sua sobrevivência. Assim, em breve, tanto o governo como o povo são responsáveis pela sua língua. Com respeito aos esforços de conservar a língua de um país, a história já provou que há muitos anos muitas escolas de gramática tinham sido estabelecidas em Europa para ensinar o melhor e a língua mais correcta. Muitas academias de língua, por exemplo L’Académie française (mais tarde sucedida pelo L’Institute de France), Academia de la lengua española, etc., foram estabelecidas para ensinar e manter as línguas. É inegável que tantas vezes uma língua nacional poderosa torne-se assassino das línguas nativas. No entanto, é de facto importante formar unidade nacional e uma única mente. No contexto da Indonésia, a língua indonésia é muita forte. E, como todos sabemos, é a língua única no país com aproximadamente 13,700 ilhas. Devido ao vasto âmbito de variedade da língua, a língua indonésia é ainda usada em muitos lugares somente como segunda língua. Só nas escolas e nos escritórios é usado formalmente como língua oficial. No entanto, muitas vezes, a linguagem informal ou coloquial é usada principalmente nos dias de expediente. O uso da língua padrão é principalmente encontrado nos livros e nas literaturas publicadas. Todos os indonésios ou qualquer pessoa que têm aprendido uns provérbios indonésios devem ter conhecido um deles que indica a função de uma língua: "bahasa menunjukkan bangsa", que literalmente significa "língua indica a nação". Baseado nisto, talvez duvidemos que usar a nossa língua nacional sem qualquer atenção à situação e às regras de língua reflete a mentalidade do nosso amado país - não é disposto a obedecer regras sociais e falta dignidade nacional. Um país que mantem um vínculo nacional forte com o seu povo é o que respeita uma língua por a qual mantem a transferência facil e transparentes das idéias. Os mal-entendidos que ocontecem entre o governo e o povo são um jogo de bombas de relógio que esperam o seu tempo precioso para explodir. Para antecipá-lo, é melhor respeitar a nossa língua, a língua indonésia, obedecendo as regras de língua e evitar o uso de palavras estrangeiras brutas em quaisquer meios de comunicação públicos, tanto eletrônico como imprimido. Desde que o nosso povo em geral tende a imitar o estilo de língua de quaisquer pessoas respeitadas em nossa comunidade, é sugerido que estas pessoas respeitadas ou personalidades públicas devam estar cuidadosas com a sua linguagem pública. No entanto, não é somente o governo que deve ocupar-se da língua. Nós, falantes da língua, também devemos construir em nós um desejo forte para respeitar o próprio veículo nacional de comunicação. Viva a língua indonésia! Yogyakarta, outubro 2004

Monday, January 28, 2008

Ita Sei Haksolok


Hosi: Yohanes Manhitu

Osamean, ha’u la kaer iha liman
Maibé domin, ha’u bali iha laran.
Se ó hakarak ha’u lahó kondisaun
No nafatin lahó aljemas,
O feto, loroloron ha’u sei hadomi ó.
No tuir destinu, mai ita la’o;
Livru lulik mós, mai ita sani
Tanba hosi nia ita kuru soin.
Iha rai, doben, mai ita hadomi.
No ho Maromak ita sei haksolok.

Yogyakarta, Dezembru 2007


==========

We Shall Be Happy

By: Yohanes Manhitu

Gold in hand I have not
But love in the heart I keep.
If you love me unconditionally
And forever without shackles,
O woman, everyday I shall love you.
And according to destiny, let us walk;
The holy book, let us read
Because from it we take riches.
On earth, darling, let us love
And with God we shall be happy.

Yogyakarta, December2007

Friday, January 25, 2008

C’est que nous enseignent les proverbes

Image: unsplash.com/s/photos/honey

Par: Yohanes Manhitu
.
Je commence cet article en donnant la définition du mot proverbe. Selon l’Oxford Advanced Learner’s Dictionary, un proverbe, en traduction libre, c’est une expression ou une phrase très connue qui donne des conseils ou dit quelque chose qui est vraie généralement. On trouve les proverbes dans toutes les langues. Même une langue construite comme l’Esperanto a aussi des proverbes. Ou avez-vous déjà trouvé une langue sans proverbes? C’est quoi alors? Et qu’est qu’on peut apprendre d’un proverbe? 

Quand j’étais petit, je ne comprenais pas pourquoi on devait apprendre les proverbes à côté de la grammaire et de la littérature indonésienne à l’école. Je ne suis pas sûr si mon professeur d’indonésie nous avait dit cela. Je me souviens qu’il y avait un livre s’intitule Peribahasa Indonesia (Proverbes indonésiens). Dans ce livre-ci, se trouvent prèsque 1000 proverbes, et les étudiants à ce moment-là devaient apprendre par cœur autant de proverbes qu’il pouvaient pour être capable de répondre aux questions posées par les professeurs. 

Bienque les langues soient différentes, on trouve très souvent les proverbes ayant le même sens. Par exemple en français il y a le proverbe faire d’une pierre deux coups qui signifie plus ou moins atteindre deux objectifs avec un seul effort, et en indonésien il y a son equivalent: sambil menyelam minum air (boire de l’eau pendant qu’on plonge). En observant ces proverbes-ci, on peut dire qu’il y a des valeurs universels qui se trouvent dans le monde entier et traversent les limites de l’état. C’est-à-dire très souvent on partage les mêmes valeurs bienqu’on vive dans un monde plurilingue. 

A mon avis, les proverbes sont le miroir de pensée d’un peuple, aussi bien moderne que traditionnel, et ils contienent les valeurs morals des groupes parlant la langue. Et souvent un proverbe aussi devient la devise d’une communauté. En l’île de Timor, dans la région où le dawan(ais) (l’uab meto) se parle comme langue maternelle, on trouve le proverbe tmeup onlê ate henait tah onlê usif (travaillons comme un esclave pour que nous puissions manger comme un roi). Je crois que personne ne peut refuser la vérité universelle de ce proverbe. On respecte beaucoup quelqu’un qui vit dans l’aisance parce qu’il a beaucoup travaillé pour cela. Dans l’enseignement du christianisme, par exemple, Saint Paul dit que pour manger, on doit travailler. Et puis d’un monastère bénédictine vint la phrase jusqu’à aujourd’hui très connue: ora et labora (prie et travaille!). Peut-être vous savez prèsque la même formulation dans les autres religions. On déteste et condamne quelqu’un qui, en utilisant une manière malhonnête, possède une vie stable sur le plan économique. Si chaque timorais en particulier et le monde en général assimilent et mettent en pratique le proverbe susmentionné, on peut être optimiste et commencer à espérer que vivre dans la prospérité et la justice social dans le monde n’est pas une utopie. De nous jours, on voit que le matérialisme devient une force sans sommeil et notre étroitesse d’esprit nous trompe jour après jour. Étant en contradiction avec l’esprit du proverbe susdit, nous, à cause de la tentation du démon de matérialisme, avons tendance à prendre un raccourci. Concernant cela, il y a un autre proverbe “preventive” en dawan: kiskase neno-tunan, lal’opâ aineraka (les épines sont sur la rue au paradis, mais la route nationale nous conduit au feu de l’enfer). En introduisant ces proverbes dawanais, je vous invite à prendre conscience que dans des proverbes on trouve toujours l’enseignement de grande valeur. Les mots qui forment un proverbe ne sont pas compliqués à comprendre parce qu’ils sont normalement utilisés pour faire une conversation simple. A cause de cette réalité-ci, il est facile à les apprendre par cœur. Et quelquefois les proverbes devient les paroles d’une chanson. 

Finisant cet article je conclus que les proverbes nous offrent un grenier plein de sagesse, ou un puits plein de miel. Si on s’avance trop rapide et se trouve au bord de l’incertitude, il est peut-être utile que’on cherche des phrases de renforcement. Quelquefois avec la complexité des mots on se vante, comme un philosophe prématuré, mais grâce à leur simplicité on a la vie sauve; et les mots des proverbes ne sont pas très compliqués à comprendre pourvu qu’on soit prêt à ouvrir notre cœur. Dictum sapienti sat est.

Yogyakarta, le 25 janvier 2008

Los idiomas también pueden morir


Por: Yohanes Manhitu

IGUAL que los seres humanos o a los otros seres vivientes, como por ejemplo las plantas o los animales, los idiomas pueden morir. En otras palabras, un idioma no es inmortal. Pero un idioma puede existir dinamicamente durante un período indeterminado, y eso depende de sus hablantes y también del ambiente politico y económico donde vive. Pero, ¿cuándo puede morir un idioma? Un idioma se considera muerto cuando no se habla más, aunque haya escrituras preservadas (libros, gramáticas, diccionarios, manuscritos, etc.) y documentos escritos en él. Nos dicen los expertos en el campo lingüístico que cada año hay idiomas que desaparecen del mundo; es una desaparición eternal. Y según el conocimiento general, cuando desaparece un idioma, desaperece también la cultura que se expresa en él. Con respecto a este caso, parece importante distinguir estos tres términos: idioma moribundo, idioma muerto, y idioma extinto. Como indican sus nombres, un idioma moribundo es uno que está a punto de morir, un idioma muerto es uno que no se utiliza más en comunicación oral, pero todavía tiene existencia como lengua escrita y aún se enseña en algunas escuelas o algunos institutos como lengua de civilización antigua. El buen ejemplo de este tipo sea el latin o bien el griego clásico. Y el tercero es uno que ha desaparecido totalmente y para siempre. Es decir, no se utiliza más tanto para hablar como para escribir. Se puede imaginar la gran candidad de idiomas indígenas que, a causa de la desaparición total de sus hablantes, muere sin haber sido documentado. 

En un artículo titulado Speaking with A Single Tongue (Hablar con Una Sola Lengua) publicado en Discover Magazine (febrero, 1993), Jared Diamond opina que cada idioma es vehículo por una manera única de pensar, una literatura única, y también una mirada única del mundo. Basarse en su opinión, se puede decir que un idioma es parte integral de la cultura. Sin idioma no hay cultura (sine lingua cultura non est). Solo por medio del idioma se puede expresar pensamientos que luego forman miradas únicas de una gente. Por lo tanto, cuando un idioma desaparece, vendrá la desaparición de un cuerpo completo de cultura y de civilización humana. Diamond nos avisa que los 6,000 idiomas que tenemos hoy en día, se podrán reducidos dentro de un século o más. Ahora, ¿qué podemos hacer para anticipar esta visible pérdida? Lo que más importante es darse cuenta de la existencia de los idiomas, sobre todo de los que necesitan mucha más atención. Teniendo plena conciencia del papel de un idioma, sería urgente dar libertad a una gente para promover su idioma por medio de educación pública, actividades culturales, etc. Normalmente un gobierno que valora idiomas, por ejemplo como identidad nacional, produce regulaciones para los fines de su desarollo y conservación. Tomemos como ejemplo el gobierno de Timor este (Timor-Leste) que ha decidido claramente en la constitución del nuevo país el papel definido del tétun y del portugués como lenguas oficiales y su compromiso para mantener y promover los demás idiomas nativos (el dawan, el macasae, etc.), designados “lenguas nacionales”. Sin reparar en su realización, ha sido ya per se un paso positivo. 

La muerte y la extinción de los idiomas ya han sido una realidad y están en medio de nosotros, supiéramos o no. Si hacemos un censo de idiomas moribundos, muertos, y desaparecidos, produceremos una larga lista de ellos. Por supuesto la tarea de conservar idiomas no es totalmente la de los lingüistas. Siendo hablantes, podemos dar nuestra propia contribución. Por lo menos siguimos hablando y enseñando los idiomas que están al borde de la muerte o de la extinción. Pero si no tenemos la oportunidad de hacerlo, sería aconsejable apoyar los esfuerzos que hace el gobierno o una organización. 

Siendo hablante de dawan (el idioma más comúnmente hablado en la parte occidental de Timor), no creo que nuestra querida lengua va a morir o desaparecer mañana, como los idiomas que menciona Diamond en su susodicho artículo. Pero, como aconsejan los médicos, evitar es mejor que curar. Dicen que hay idiomas en algunas partes de Indonesia que van a morir o desaparecer dentro de diez años porque hoy no tienen más de quince hablantes. En Timor oeste esta tragedia no va a suceder tan pronto porque los idiomas (el dawan, el tétun belu, el bunaq, el kemac, y malaiu-kupang) que se hablan en la parte occidental de la isla tienen relativamente muchos hablantes. A pesar de esta “buena noticia”, tanto el gobierno como el público tienen que trabajar juntos en los esfuerzos de conservar y promover los idiomas indígenas. En términos practicales, el gobierno tiene que establecer institutos específicos que trabaja a favor de estos idiomas. La gente, sobre todo los padres, tienen que presentar su lengua materna a sus hijos, porque son el futuro de la cultura y del idioma. Entonces, prohibir el uso de un idioma es el comienzo de su fin. 

Ya que los idiomas pueden morir, es sabio darse cuenta de la importancia de medidas preventivas en todos los niveles de la vida social. En el caso de Indonesia, siempre creo que cada indonesio/a en general tiene que dominar tres idiomas para expresarse bien local, nacional, y internacionalmente. Es decir, uno tiene que dominar por ejemplo el dawan o el tétun belu para hablar bien con la comunidad de su pueblo natal, el indonesio para comunicarse bien con sus compatriotas (la gente de Indonesia), y el inglés–que hoy en día considerado como lengua internacional más hablado del mundo–para ser un miembro virtual de la comunidad mundial. Y si le gusta, puede aprender un otro más, por ejemplo el español (el castellano), para comunicarse mejor con el mundo. De esta manera, uno puede participar directamente en el movimento de conservar más de un idioma. Para los indonesios en general, no creo que es una tarea muy dificil, porque normalmente se hablan por lo menos dos idiomas en casa, y en la escuela o la universidad se hablan tres o aún más. Dicen que los indonesios son muy buenos estudiantes de idiomas extranjeros.

Yogyakarta, 23 de enero de 2008

Monday, January 14, 2008

Ĉu oni parolas Esperanton en Indonezio?

Bildo: https://eo.wikipedia.org/wiki/Borobuduro

De: Yohanes Manhitu
.
La difinita respondo por tiu demando estas “jes”. Sed, laŭ mia scio, ankoraŭ ne estas multaj personoj kiuj parolas tiun ĉi internacian lingvon, kiu estas majstroverko de logiko kaj simpleco de Doktoro Zamenhof. Certe oni bezonas multe da tempo por enkonduki kaj disvastigi ĝin ĉi tie. Plue, oni bezonas ankaŭ paciencon por atingi sukceson en nia agado de paco kaj amikeco. Estas grave memori la latinan proverbon “labor omnia vincit improbus” (persista laboro venkas tuton).
.
Indonezio estas tropika lando kun tre multaj lingvoj. Laŭ Ethnologue.com, estas 700 lingvoj en Indonezio, signifante ke 10% el la mondaj lingvoj troviĝas ĉi tie. Imaginu ĝin! Do, vi miros, ke nur en unu insuleto troviĝas almenaŭ kvar aŭ kvin apartaj lingvoj. La plejparto de la lingvoj estas precipe regionaj, aŭ indiĝenaj, nomataj “bahasa daerah” (regionaj lingvoj). La movado de elekti solan lingvon, kiel nacia lingvo, komencis je la 28a de Oktobro, 1928a en Ĝakarto, kie junulaj riprezentantoj el tutaj partoj de la lando, tiam kolonita de la nederlandaj, venis al la ĉefurbo por deklari ĵuron, nomata “Sumpah Pemuda” (Junula Ĵuro), emfazigante la unueco de patrolando, nacio, kaj lingvo. De 1945 la indonezia estas la nacia kaj oficiala lingvo parolata de la plejparto de la popolo. Ĝi estas ankaŭ la lingvo de administrado, de instruo, ktp. Per la tre multaj lingvoj troviĝas ĉi tie, oni ofte nomas la landon “paradizo de lingvistoj”. Efektive, tiuj ĉi lingvoj havas specialan lokon en la konstitucio.
.
Koncerne la disvastigo de Esperanto en la Arkipelago, oni povas diri kun optimismo, ke estas ebla, ĉar oni konsideras ke Esperanto estas tipa semo preparita por kreski en ciuj specoj de kampo. Mi jam respondis, ke estas Esperantistoj en tiu ĉi lando, sed ili, laŭ mi scio, estas plejmulte sendependaj, aŭ sen instruisto, kiel mi kaj la aliaj. Por atingi bonan rezultadon en la disvastigado, mi opinias, ke estas tre grave bone kaj rekte klarigi le posicion kaj la rolon de Esperanto al la lernantoj ankaŭ al la popolo. Ekzistas tiu ĉi fama indonezia esprimo “kalau tak kenal maka tak sayang”, kiu signifas “se oni ne konas, oni ne amas”. Ĉar la angla estas la fremda lingvo tre parolata kaj instruata en Indonezio, estus saĝe konsideri lingvon diplomation por eviti ĝenon inter fremdaj lingvoj. Sed ne gravas! Esperanto ne estis farita je unu tago.
.
Aparte de esperanta afero en Indonezio, mi volas inviti vin por rigardi tre generale pri la nuna lingva situacio de la lando. La nacia registraro, depost la fruaj tagoj de sendependeco, estas tre okupita disvastigi la elektitan oficialan lingvon. Dume, ĝi devas esti priresponda pri la estonteco de la tre multaj regionaj lingvoj, kiuj bezonas kontinuan atencion kaj konservadon. Krome, la registraro devas ankaŭ kontroli la tre fortan fremda lingvon, la anglan, por ke ĝi ne minacu la nacian lingvon. Oni esperas ke neniu pliiĝo de la uzo de fremdaj lingvoj resultiĝos en la perdo de nacia identenco. Ĝis nun mi scias nenion pri la oficiala reakcio de la registraro de la Respubliko de Indonezio pri Esperanto. Eble ĝi ankoraŭ ne scias, ke ĉi tiu lingvo troviĝas kaj kreskas ankaŭ en la lando. Estas grave informi al ĝi pri tio? Eble vi havas la respondon.
..
Finante tiun ĉi mallongan skribaĵon, mi esperas ke Esperanto disvastiĝos pace kaj amike en “la paradizo de lingvistoj” kaj helpos nin konservi niajn netakseblajn kulturajn heredaĵojn. Se vi volas paroli pri tiu ĉi afero, parolu kun ni ĉe http://www.groups.yahoo.com. Bonvenon!

Friday, December 21, 2007

Merry Christmas and Happy New Year!


Selamat Natal dan Bahagia Tahun Baru!
Tabê Natal ma Mlilê Ton Feü!
Bosfesta Natál no Tinan Foun Kmanek!
Salamat Natal dan Bahagia Taon Baru!
Sugeng Natal lan Sugeng Warsa Enggal!
Merry Christmas and Happy New Year!
Joyeux Noël et bonne année!
¡Feliz Navidad y próspero año nuevo!
Feliz Natal e Feliz Ano Novo!
Buon Natale e felice anno nuovo!
Fröhliche Weihnachten und ein gutes neues Jahr!
Natale hilare et annum faustum!
Bonan Kristnaskon kaj feliĉan novan jaron!
.
Yogyakarta, 22-12-2007

Sunday, December 16, 2007

Picture in Memory

Image: www.freenaturepictures.com


By: Yohanes Manhitu

In this garden I walk among roses
With a picture of face in my memory
And I wish to ask the world
Why your shadow lives in me.

Not all of a sudden I declare the truth to you;
I clearly say it without delay.
Yes, I used to love you with all my heart.
Now I do ask you: please leave me!

Leave me in peace, o shadow!
Look, in the garden my sense of smell
Is taking me to the rose of all hopes.
Before her, my spirit dances.

Yogyakarta, December 2007

Friday, December 14, 2007

Dans l'ombre elle se promene

Par: Yohanes Manhitu

J’aime vraiment une déesse
Et je l’aime de tout mon cœur
Mais dans l’ombre elle se promene.
Mes yeux ne peuvent point
Attraper la flamme d’amour.

C’est triste attendre toute la nuit
Sans lune, sans étoiles.
Car elle est toujours dans l’ombre,
Je veux lui montrer le chemin
À la ville de lumière.

Yogyakarta, décembre 2007

Di sini Kita Bermain

Oleh: Yohanes Manhitu

Ya, di sini kita bermain bersama
menurut aturan yang lumrah.
Namun sering kali, bagai bajak laut,
kejayaan kita rampas dengan pedang.

Tak mudah bermain tanpa rintangan dan gangguan
di medan luas yang tak bersahabat ini.
Tapi tiada medan yang terlalu buruk
untuk ditumbuhi bunga-bunga.


Yogyakarta, Desember 2007

Wednesday, December 12, 2007

Texto de Álvaro Cunqueiro: Dawan, Tetum, and Kupang-Malay Versions


Texto de Álvaro Cunqueiro

Eu quixen e quero que a fala galega durase e continuase, porque a duración da fala é a única posibilidade de que nós duremos como pobo. Eu quixen que Galicia continuase e, ao lado da patria terrenal, da patria que son a terra e os mortos, haxa estoutra patria que é a fala nosa. Se de min algún día, despois de morto, se quixese facer un eloxio, e eu estivese dando herba na terra nosa, podería dicir a miña lápida: "aquí xace alguén que coa súa obra fixo que Galicia durase mil primaveras máis".
===============================================

Traduccións ó dawan (uab meto/baikenu)

Au nâko unû ‘loim ma fê ‘loim he uab Galisia nabala ma nmoin piuta, fun hit uab in monit abalbalat es lalan mesleko neu kit he tmoin tabala on to(b). Nâko unû au ‘loim piuta he Pah Galisia nmoin nabala ma, nabua nok hit pah-mahonit, pah-mahonit abít pah-pinan ma amaetsin sini, musti nmuî pah-mahonit bian, eslê hit molok. Kalu nbi neno mesê, oras au ‘maet ulail, atoin-amfaut he npules kau, oras au umliab hun a-nbi hit pah, au niutnatê nabè' matuï nak: “Nbi bale i nabelkon tuafes lê natuin in mepu, nmoê Pah Galisia nmoin nabala talantea tabu haunasuin haef niufnes a-ntèn”.

*****

Traduccións ó tetun

Ha’u hakarak beibeik no sei hakarak atu lia-galegu tahan no kontinua moris, tanba ita-nia lian nia moris rohan-laek maka dalan ida de’it ba ita hodi tahan nu’udar povu. Ha’u sempre hakarak atu rai-Galiza kontinua moris no, hamutuk ho ita-nia pátria, pátria ba raiklaran no ba mate-na’in sira, tenke iha pátria seluk, ne’e maka ita-nia lian. Se loron ida, depois ha’u-nia mate, povu hakarak hahi’i ha’u, bainhira ha’u sei haburas hela du’ut iha ita-nia rai, bele hakerek iha ha’u-nia fatuk-rate katak: “Iha-ne’e toba ema ida ne’ebé tanba ninia knaar, halo rai-Galiza tahan to’o primavera rihun ida tan”.

*****

Traduccións ó malaiu-kupang (bahasa kupang)

Beta dari dolu su mau dan tetap mau ko bahasa Galisia tahan dan idop tarús, karna katóng-pung bahasa pung idop tarús, itu sá yang bisa buat katóng tetap tahan jadi bangsa. Beta selalu mau ko Tana Galisia idop tarús dan, sama-sama deng katóng-pung tana-aer, tana-aer di bumi dan dong yang Tuhan su pangge pung, musti ada tana-aer laen, itu yang katóng-pung bahasa. Kalu satu hari nanti, beta su mati, dan orang dong mau angka be-pung nama, waktu beta ada bekin subur katóng-pung tana, be-pung batu kuburan bisa ditulis bagini: “Di sini tidor satu orang yang karna dia-pung kerja, bekin Tana Galisia tahan idop sampe musim semi saribu taon lebe”.

*****  
Translations into Dawan, Tetum, and Kupang-Malay are made by Yohanes Manhitu