|
Foto: https://crownsofvirtue.com |
Tanggal 9 Juni adalah hari yang bersejarah bagi saya secara pribadi. Setidaknya saya menganggapnya begitu. Sembilan belas tahun silam, tepatnya tanggal 9 Juni 2002, di Jln. Pugeran Timur, Yogyakarta, saya berusaha menerjemahkan puisi "LA PUERTA" karya Alfredo García Valdez, seorang penyair Meksiko, yang saya baca dengan asyik dan kagum di majalah "Biblioteca de México", nomor 40, Juli-Agustus 1997, hlm. 18. Inilah penerjemahan puisi pertama kali dalam hidup saya. Penerjemahan puisi berbahasa Spanyol ke bahasa Indonesia dengan judul "PINTU" tersebut telah membawa saya memasuki dunia penulisan dan penerjemahan puisi. Oleh karena itu, secara pribadi, saya berutang budi kepada sastra berbahasa Spanyol, terutama kepada Valdez, yang membukakan pintu elok menuju lautan puisi.
Tentu saja, saya, seperti teman-teman lain, sudah mengenal puisi Indonesia (pantun, gurindam, dll.) sejak di bangku sekolah. Dan di bangku kuliah pun, saya sempat berjumpa dengan puisi berbahasa Inggris. Akan tetapi, puisi Valdez yang saya terjemahkan dari versi asli ke bahasa Indonesia sebagai terjemahan puisi pertama itulah yang kuat mendorong saya ke alam kata. Sebenarnya, pengalaman seperti ini bukan hal baru. Insan-insan sastra lain pun pernah mengalaminya. Sitor Situmorang, misalnya, mengawali kepenyairannya setelah ia berhasil menerjemahkan sebuah puisi Belanda ke bahasa Batak.
Tiada yang lebih istimewa daripada rasa syukur saya kepada Sang Pujangga Mahaagung, Sang Khalik Mahapuitis, bahwa hingga hari ini, saya masih diberi-Nya kesehatan dan kesempatan yang baik untuk terus mengarungi lautan puisi yang tiada bertepi. Mohammad Ali Sepanlou (1940–2015), seorang penyair Iran termasyhur, pernah menulis begini, "Puisi berawal dari impian dan berakhir dengan pembebasan." Ini sungguh tepat! Salam mesra sastra,
----------------------------------------------------
PINTU
Oleh: Alfredo García Valdez*
Di mana pun kau berada: di dasar laut, di pucuk bintang, di rongga pepohonan, di dasar batu prasasti, pun di bola mata perempuan, pintu terbuka dan tertutup. Hujan kerinduan atau tegangan hasrat sanggup membukanya. Pasir mimpi menumpuk di ambangnya. Dan di atas pintu, nama sejatimu terukir dengan garam. Di baliknya, ‘kan kaujumpai ia yang lain, sosok sejati, yang pergi berkeluyuran selagi kau menangis, tidur atau bercinta.
Pintu melambangkan perjanjian yang mengikatmu dengan dunia kematian, pun dengan alam kehidupan. Di baliknya, tiada selir ataupun perpustakaan: ini bukan ilmu tentang aksara atau daging. Pintulah engsel yang satukan surga dan neraka; pintulah piston yang pompakan lautan teduh, jua berbadai; dan pintulah rongga pengatur alur napasmu sebagai orang mati, pun sebagai orang hidup.
Oh harapan, kaulah kepolosan bocah yang langkahi ambang pintu sambil melanjutkan permainan mengasyikkan. Sang kekasih simak cakapmu penuh sabar dan mencari jejak-jejak kata wasiat, mengelusmu di tidurmu dan temukan kunci di antara tulang-belulangmu. Bila ia sanggup lewati pintu itu, ia bakal menjelma jadi sosok utuh, yang berjalan-jalan selagi kau menderita, bekerja atau tertawa.
Oh harapan, kaulah kepolosan bocah yang nekat mengusik si macan diam.
Diterjemahkan oleh Yohanes Manhitu
Yogyakarta, 9 Juni 2002
-----------------------------
LA PUERTA
Por: Alfredo García Valdez
Donde quiera que estés, la puerta se abre y se cierra: en el fondo del mar, en la punta de una estrella, adentro de un árbol, bajo una lápida, o en las pupilas de una mujer. Puede abrirla la lluvia de la nostalgia o la electricidad del deseo. La arena del sueño se acumula en el umbral. Sobre la puerta está escrito con sal tu verdadero nombre. Detrás de ella está el otro, la persona auténtica, que sale a deambular mientras lloras, duermes o amas.
La puerta simboliza el pacto que te liga al pueblo de los muertos y al pueblo de los vivos. Tras de ella no hay un harén ni una biblioteca: este saber no tiene conexión con la letra ni con la carne. Es el quicio que une al cielo y al contracielo, el émbolo que bombea las aguas dormidas y las aguas de la tormenta, el diafragma que regula tu respiración como hombre muerto y como hombre vivo.
Oh esperanza, eres la inocencia del niño que traspone el umbral siguiendo un juego ensimismado. La amada escucha pacientemente tu conversación, buscando los rastros de la palabra mágica; te acaricia mientras duermes, buscando entre tus huesos la clave. Si logra trasponer la puerta, regresará convertida en la auténtica persona, la que deambula mientras sufres, trabajas o ríes.
Oh esperanza, eres la inocencia del niño empeñado en zaherir al leopardo del silencio.
-------------------
*) Alfredo García Valdez lahir di Cedros, Zacatecas, Meksiko tengah, 1964, belajar Sastra Spanyol di Universidad de Coahuila. Ia adalah mantan penerima beasiswa INBA dalam genre esai dan telah menerbitkan puisi dan ulasan di Tierra Adentro, Sábado de Unomásuno, La Jornada Semanal, Los Universitarios, Casa del Tiempo y La Gaceta del Fondo de Cultura Económica. Ia juga pengarang buku kumpulan esai yang berjudul “Máscaras” (Topeng-topeng).