DISADARI ataupun tidak, ternyata tradisi keluarga ikut memegang peranan penting dalam pembentukan watak anak. Bila tradisi itu dapat memberi pengaruh positif terhadap perkembangan mental seorang anak, maka hasil perkembangan itu akan bersifat positif. Tetapi sebaliknya, bila negatif, maka hasilnya pun negatif.
Ada anak yang mampu melepaskan segala pengaruh negatif dari lingkungan keluarga, tempat ia dibesarkan, setelah menjadi dewasa. Si anak, setelah dewasa, sadar bahwa ia harus berubah. Karena itu, ia terus belajar untuk berubah walaupun itu seringkali sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan perasaan yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula yang terus terbelenggu olehnya dan membutuhkan waktu yang sangat lama dan bahkan seringkali gagal dalam usahanya untuk berubah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan keluarga, tempat ia tumbuh sebelumnya dan kurangnya motivasi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya untuk berubah.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi sedikit “kesaksian” tentang betapa sulitnya seorang anak yang dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga yang “menyakralkan” kebiasaan-kebiasaan tertentu demi alasan sopan santun. Tetapi justru kebiasaan-kebiasaan itu sangat merugikan si anak di masa depannya. Kebiasaan-kebiasaan, misalnya, makan bersama pada saat ada tamu, mengungkapkan pendapat dengan sopan dalam pertemuan keluarga, dan tampil di depan banyak orang pada acara keluarga seringkali tidak mendapat perhatian serius dalam keluarga, terlebih bagi keluarga yang berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan itu bertentangan dengan sopan-santun atau nilai-nilai yang diyakini benar tanpa reserve dalam masyarakatnya. Umumnya, kenyataan di atas dapat kita temukan di keluarga bertradisi ketimuran yang terlalu kaku dan enggan menyesuaikan diri dengan perubahan nilai-nilai sosial universal.
Sebut saja Ricky. Pada masa kecil dan remajanya, ia tidak pernah diajak makan bersama bila ada tamu yang berkunjung di rumah mereka. Alasannya, anak-anak kecil harus makan di belakang, karena makan bersama tamu dinilai tidak sopan. Hanya orang-orang dewasa yang dipandang layak untuk itu. Setelah dewasa, Ricky harus berusaha sekeras mungkin untuk mencoba makan bersama dengan orang lain―makan semeja. Memang ia akhirnya berhasil setelah melalui usaha yang tidak sedikit. Awalnya, pada saat makan bersama, tangannya gemetar, sehingga untuk memegang senduk dan garpu saja ia seperti tidak sanggup, apalagi untuk menatap mata orang lain dan bercakap-cakap dengan mereka. Akibatnya, saat makan bersama tidak menjadi saat yang menyenangkan, tetapi justru sangat menyiksa bagi dirinya. Andaikan saja ia sudah terbiasa makan bersama dalam keluarga sejak kecil, ia tidak akan menderita karena keadaan seperti ini. Dan seandainya ia perlu menyesuaikan diri, maka hal itu bisa bersifat sangat minor.
Lain lagi dengan Andre. Ia, dalam setiap rapat apa pun di kampusnya, tak pernah menyampaikan pendapatnya. Kalaupun dipaksa-paksa, ia hanya akan mengatakan, “Untuk sementara saya belum punya pendapat.” Ia sebenarnya cukup cerdas, tetapi karena tidak dibiasakan berpendapat sejak kecil, maka ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasannya secara bebas, lancar dan sopan. Ia bahkan seringkali dianggap telmi alias telat mikir (terlambat berpikir) oleh teman-temannya. Betapa sakit hatinya karena kenyataan yang pahit ini. Mengapa ia tidak diperbolehkan mengungkapkan idenya secara bebas waktu kecil? Karena di dalam keluarga dan masyarakatnya, anak kecil yang suka berbicara banyak dianggap lancang, suka menggurui, dan tak tahu sopan santun.
Karla, seorang mahasiswi, pada saat awal kuliahnya ia selalu merasa sangat tersiksa bila diminta untuk tampil di depan umum, entah itu untuk membaca, berbicara, ataupun bernyanyi. Penyebabnya adalah tidak pernah terbiasa tampil di depan umum. Dalam keluarganya yang dipimpin oleh seorang ayah yang sok kuat memegang adat, tampil di depan umum dianggap tidak sopan. Menurut sang ayah, dengan cara itu orang bersikap sombong dan tunjuk diri. Akibatnya, belum pernah ada salah satu dari anggota keluarganya yang terbiasa tampil di depan umum. Untung saja, Karla, setelah menjadi mahasiswa, sadar bahwa ia harus mengubah dan memperbaiki dirinya. Dengan aktif berorganisasi, ikut latihan teater dan pembacaan puisi, lama-kelamaan ia menjadi berani tampil di depan umum dengan penuh rasa percaya diri. Tetapi apakah semua anak dari latar belakang keluarga yang sama seperti keluarga Karla sadar akan kelemahan mereka dan kemudian sukses dalam mengubah diri secara mandiri?
Tentu saja masih banyak hal yang disebabkan oleh “salah didik” dalam keluarga, yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila para orang tua dapat memilah dengan tepat mana yang dianggap sopan, dan mana yang tidak. Ini juga bisa menjadi koreksi terhadap tradisi yang justru membawa kerugian dan hambatan psikologis bagi orang yang mematuhinya. Tradisi, baik itu tradisi keluarga maupun tradisi masyarakat yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman-lah yang akan mampu bertahan hidup selamanya. Pada era globalisasi yang sangat memungkinkan silang budaya di mana-mana melalui berbagai macam media publik, khususnya televisi dan internet, segala tradisi yang tidak adaptif akan sirna, baik secara cepat maupun lambat. Jadi, sebenarnya sedang terjadi seleksi alam terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Yang merugikan akan dibuang, dan yang dirasa menguntungkan akan terus dipelihara.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, para orang tua diharapkan untuk bersikap lebih fleksibel dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka juga diharapkan untuk bersikap lebih selektif dan bijaksana dalam memilih nilai-nilai yang berguna bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Ini tidak berarti mereka lalu terus meninggalkan segala nilai dalam masyarakat yang telah diwariskan dan dihormati secara turun-temurun. Yang lebih penting adalah memilih dan menyesuaikan nilai-nilai itu dengan perkembangan zaman. Dan para orang tua pun sebaiknya suka dan membiasakan diri mencari informasi yang mendukung dalam mendidik anak-anak mereka, misalnya dengan membaca sumber-sumber tulisan, baik itu di buku maupun di internet yang membahas tentang pendidikan watak anak. Di samping itu, mereka pun dapat mengikuti acara televisi atau radio yang membahas hal yang sama secara teratur. Hanya orang tua yang bersikap proaktif yang dapat memahami perkembangan dunia anak-anak seiring dengan perjalanan waktu. Singkatnya, orang tua harus suka “menjemput bola” daripada “menanti bola”.
Secara umum, paralel dengan peribahasa “bahasa menunjukkan bangsa”, kita dapat mengatakan bahwa anak menunjukkan keluarga (dan masyarakat) tempat ia berasal. Seorang anak yang berprestasi dan bertingkah laku baik akan menunjukkan hasil didikan keluarga. Sebaliknya, anak yang gagal dan berperilaku buruk akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakatnya. Karena itu, pendidikan keluarga, yang merupakan pendidikan awal dari segala tahap pendidikan, harus mendapat perhatian yang serius sedini mungkin, sehingga setiap anak akan berkembang sesuai dengan harapan keluarga dan masyarakat. Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menekankan bahwa tidak semua nilai dalam masyarakat itu buruk dan harus ditinggalkan, apalagi dimusnahkan dengan alasan “kampungan” atau “ketinggalan kereta”. Kita, khususnya para orang tua, dalam mendidik anak-anak mereka, perlu membuat interpretasi yang lebih arif-bijaksana―jangan serta-merta menganggap semua perbuatan anak lancang dan tidak sopan hanya karena kita terlalu kaku mempertahankan nilai-nilai yang ditafsirkan secara keliru. Karena sekali para orang tua mengajarkan yang salah, kesalahan itu akan berlanjut untuk waktu yang sangat lama bahkan seumur hidup, dan untuk memperbaiki sikap yang telah memfosil dan telanjur diyakini benar, diperlukan waktu yang tidak singkat, belum ditambah dengan korban perasaan dari si anak yang merasa telah, secara tidak langsung, menjadi korban diterapkannya nilai-nilai yang keliru.
Ada anak yang mampu melepaskan segala pengaruh negatif dari lingkungan keluarga, tempat ia dibesarkan, setelah menjadi dewasa. Si anak, setelah dewasa, sadar bahwa ia harus berubah. Karena itu, ia terus belajar untuk berubah walaupun itu seringkali sulit dan memerlukan pengorbanan waktu dan perasaan yang tidak sedikit. Tidak sedikit pula yang terus terbelenggu olehnya dan membutuhkan waktu yang sangat lama dan bahkan seringkali gagal dalam usahanya untuk berubah. Hal ini disebabkan oleh pengaruh yang sangat kuat dari lingkungan keluarga, tempat ia tumbuh sebelumnya dan kurangnya motivasi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya untuk berubah.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi sedikit “kesaksian” tentang betapa sulitnya seorang anak yang dibesarkan dalam suatu lingkungan keluarga yang “menyakralkan” kebiasaan-kebiasaan tertentu demi alasan sopan santun. Tetapi justru kebiasaan-kebiasaan itu sangat merugikan si anak di masa depannya. Kebiasaan-kebiasaan, misalnya, makan bersama pada saat ada tamu, mengungkapkan pendapat dengan sopan dalam pertemuan keluarga, dan tampil di depan banyak orang pada acara keluarga seringkali tidak mendapat perhatian serius dalam keluarga, terlebih bagi keluarga yang berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan itu bertentangan dengan sopan-santun atau nilai-nilai yang diyakini benar tanpa reserve dalam masyarakatnya. Umumnya, kenyataan di atas dapat kita temukan di keluarga bertradisi ketimuran yang terlalu kaku dan enggan menyesuaikan diri dengan perubahan nilai-nilai sosial universal.
Sebut saja Ricky. Pada masa kecil dan remajanya, ia tidak pernah diajak makan bersama bila ada tamu yang berkunjung di rumah mereka. Alasannya, anak-anak kecil harus makan di belakang, karena makan bersama tamu dinilai tidak sopan. Hanya orang-orang dewasa yang dipandang layak untuk itu. Setelah dewasa, Ricky harus berusaha sekeras mungkin untuk mencoba makan bersama dengan orang lain―makan semeja. Memang ia akhirnya berhasil setelah melalui usaha yang tidak sedikit. Awalnya, pada saat makan bersama, tangannya gemetar, sehingga untuk memegang senduk dan garpu saja ia seperti tidak sanggup, apalagi untuk menatap mata orang lain dan bercakap-cakap dengan mereka. Akibatnya, saat makan bersama tidak menjadi saat yang menyenangkan, tetapi justru sangat menyiksa bagi dirinya. Andaikan saja ia sudah terbiasa makan bersama dalam keluarga sejak kecil, ia tidak akan menderita karena keadaan seperti ini. Dan seandainya ia perlu menyesuaikan diri, maka hal itu bisa bersifat sangat minor.
Lain lagi dengan Andre. Ia, dalam setiap rapat apa pun di kampusnya, tak pernah menyampaikan pendapatnya. Kalaupun dipaksa-paksa, ia hanya akan mengatakan, “Untuk sementara saya belum punya pendapat.” Ia sebenarnya cukup cerdas, tetapi karena tidak dibiasakan berpendapat sejak kecil, maka ia mengalami kesulitan untuk menyampaikan gagasannya secara bebas, lancar dan sopan. Ia bahkan seringkali dianggap telmi alias telat mikir (terlambat berpikir) oleh teman-temannya. Betapa sakit hatinya karena kenyataan yang pahit ini. Mengapa ia tidak diperbolehkan mengungkapkan idenya secara bebas waktu kecil? Karena di dalam keluarga dan masyarakatnya, anak kecil yang suka berbicara banyak dianggap lancang, suka menggurui, dan tak tahu sopan santun.
Karla, seorang mahasiswi, pada saat awal kuliahnya ia selalu merasa sangat tersiksa bila diminta untuk tampil di depan umum, entah itu untuk membaca, berbicara, ataupun bernyanyi. Penyebabnya adalah tidak pernah terbiasa tampil di depan umum. Dalam keluarganya yang dipimpin oleh seorang ayah yang sok kuat memegang adat, tampil di depan umum dianggap tidak sopan. Menurut sang ayah, dengan cara itu orang bersikap sombong dan tunjuk diri. Akibatnya, belum pernah ada salah satu dari anggota keluarganya yang terbiasa tampil di depan umum. Untung saja, Karla, setelah menjadi mahasiswa, sadar bahwa ia harus mengubah dan memperbaiki dirinya. Dengan aktif berorganisasi, ikut latihan teater dan pembacaan puisi, lama-kelamaan ia menjadi berani tampil di depan umum dengan penuh rasa percaya diri. Tetapi apakah semua anak dari latar belakang keluarga yang sama seperti keluarga Karla sadar akan kelemahan mereka dan kemudian sukses dalam mengubah diri secara mandiri?
Tentu saja masih banyak hal yang disebabkan oleh “salah didik” dalam keluarga, yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila para orang tua dapat memilah dengan tepat mana yang dianggap sopan, dan mana yang tidak. Ini juga bisa menjadi koreksi terhadap tradisi yang justru membawa kerugian dan hambatan psikologis bagi orang yang mematuhinya. Tradisi, baik itu tradisi keluarga maupun tradisi masyarakat yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman-lah yang akan mampu bertahan hidup selamanya. Pada era globalisasi yang sangat memungkinkan silang budaya di mana-mana melalui berbagai macam media publik, khususnya televisi dan internet, segala tradisi yang tidak adaptif akan sirna, baik secara cepat maupun lambat. Jadi, sebenarnya sedang terjadi seleksi alam terhadap nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Yang merugikan akan dibuang, dan yang dirasa menguntungkan akan terus dipelihara.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, para orang tua diharapkan untuk bersikap lebih fleksibel dalam mendidik anak-anak mereka. Mereka juga diharapkan untuk bersikap lebih selektif dan bijaksana dalam memilih nilai-nilai yang berguna bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Ini tidak berarti mereka lalu terus meninggalkan segala nilai dalam masyarakat yang telah diwariskan dan dihormati secara turun-temurun. Yang lebih penting adalah memilih dan menyesuaikan nilai-nilai itu dengan perkembangan zaman. Dan para orang tua pun sebaiknya suka dan membiasakan diri mencari informasi yang mendukung dalam mendidik anak-anak mereka, misalnya dengan membaca sumber-sumber tulisan, baik itu di buku maupun di internet yang membahas tentang pendidikan watak anak. Di samping itu, mereka pun dapat mengikuti acara televisi atau radio yang membahas hal yang sama secara teratur. Hanya orang tua yang bersikap proaktif yang dapat memahami perkembangan dunia anak-anak seiring dengan perjalanan waktu. Singkatnya, orang tua harus suka “menjemput bola” daripada “menanti bola”.
Secara umum, paralel dengan peribahasa “bahasa menunjukkan bangsa”, kita dapat mengatakan bahwa anak menunjukkan keluarga (dan masyarakat) tempat ia berasal. Seorang anak yang berprestasi dan bertingkah laku baik akan menunjukkan hasil didikan keluarga. Sebaliknya, anak yang gagal dan berperilaku buruk akan menjadi aib bagi keluarga dan masyarakatnya. Karena itu, pendidikan keluarga, yang merupakan pendidikan awal dari segala tahap pendidikan, harus mendapat perhatian yang serius sedini mungkin, sehingga setiap anak akan berkembang sesuai dengan harapan keluarga dan masyarakat. Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin menekankan bahwa tidak semua nilai dalam masyarakat itu buruk dan harus ditinggalkan, apalagi dimusnahkan dengan alasan “kampungan” atau “ketinggalan kereta”. Kita, khususnya para orang tua, dalam mendidik anak-anak mereka, perlu membuat interpretasi yang lebih arif-bijaksana―jangan serta-merta menganggap semua perbuatan anak lancang dan tidak sopan hanya karena kita terlalu kaku mempertahankan nilai-nilai yang ditafsirkan secara keliru. Karena sekali para orang tua mengajarkan yang salah, kesalahan itu akan berlanjut untuk waktu yang sangat lama bahkan seumur hidup, dan untuk memperbaiki sikap yang telah memfosil dan telanjur diyakini benar, diperlukan waktu yang tidak singkat, belum ditambah dengan korban perasaan dari si anak yang merasa telah, secara tidak langsung, menjadi korban diterapkannya nilai-nilai yang keliru.
Yogyakarta, 29 September 2003
--------------------------
*) Yohanes Manhitu adalah penulis, penerjemah, pengajar lepas bahasa Tetun Resmi (Timor-Leste) dan
Spanyol. Tinggal di Sendangtirto,
Berbah, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment