Oleh: Yohanes Manhitu
WALAUPUN Eliezer Ben-Yehuda adalah salah seorang aktivis Zionisme yang gigih dan berani, artikel singkat ini sama sekali tidak bermaksud untuk membahas gerakan tersebut, karena yang menjadi fokus tulisan ini adalah upaya pelestarian bahasa suatu bangsa. Di sini saya ingin menggambarkan bagaimana seseorang yang amat mencintai bahasa dan kebudayaannya berupaya sedemikian rupa dan dengan segenap hati untuk membangkitkan kembali bahasanya, yang karena kehendak sejarah, telah perlahan namun pasti tereduksi menjadi sebatas simbol-simbol dan nyaris menghuni lembar-lembar kitab bisu untuk selama-lamanya.
Nama Eliezer Ben-Yehuda seakan tak terpisahkan dari bahasa Ibrani modern karena dialah tokoh yang bekerja mati-matian dan berjuang di garis terdepan untuk mempersatukan kembali orang-orang Israel Dispora dengan bahasa yang satu, yaitu bahasa Ibrani. Perjalanan hidup Ben-Yehuda dapat dibaca pada situs History of Eliezer Ben-Yehuda. Gagasannya untuk mempersatukan bangsa Yahudi dengan satu bahasa saja muncul ketika Perang Russia-Turki sedang berkecambuk. Konsep tersebut lebih diperdalam ketika ia sedang belajar pada fakultas kedokteran di Paris pada tahun 1870-an. Ia ingin mengubah bahasa Ibrani yang ketika itu hanya menjadi bahasa para Rabbi dan kaum intelek Yahudi menjadi bahasa yang juga digunakan ibu-ibu yang berbelanja di pasar. Membaca tentang hal ini kita mungkin segera teringat akan Martin Luther yang ingin agar Alkitab terjemahannya dapat dibaca para petani dan kaum buruh dalam bahasa Jerman yang dimengerti. Terdorong oleh konsep di atas, Ben-Yehuda aktif menulis artikel-artikel tentang tanah air Yahudi dengan satu bahasa untuk semua orang. Namun penyakit TBC yang dideritanya kadang menghambat usaha kerasnya. Ia kemudian pindah ke Aljazair, dan di sanalah ia memiliki kontak dengan para penutur Ibrani Sefardik sehingga, karena tertarik, ia memutuskan untuk mengadopsi pengucapan Ibrani Sefardik untuk bahasa Ibrani modern.
Setelah kembali ke Paris ia memutuskan untuk pergi ke Israel karena ingin berjuang langsung di lapangan. Dan di sanalah ia mulai berusaha secara aktif untuk mewujudkan cita-cita besarnya. Ia bahkan bersepakat dengan istri pertamanya, Deborah, untuk mendidik anak pertama mereka, Ittamar Ben-Avi, hanya dalam bahasa Ibrani, sehingga anak mereka menjadi penutur asli pertama bahasa Ibrani modern. Ketika tiba di “Tanah Terjanji”, ia berjumpa dengan begitu banyak orang Yahudi yang baru kembali dari pengasingan. Dan setiap orang menggunakan bahasa-bahasa tempat kelahiran mereka. Misalnya yang dahulu tinggal di Prancis menggunakan bahasa Prancis dan yang di Rusia menggunakan bahasa Rusia.
Eliezer melanjutkan penelitiannya terhadap bahasa Ibrani di Israel. Dan untuk memperkaya bahasa itu dengan konsep-konsep modern, ia mengusulkan kata-kata baru yang diambil dan dibentuk dari kitab-kitab agama Yahudi. Menurut beberapa sumber, ia meminjam juga dari bahasa serumpun, seperti bahasa Arab. Lebih lanjut ia menerbitkan sebuah surat kabar yang ia sunting sendiri dan menjadi media yang efektif bagi penyebarluasan pemikirannya. Upaya Ben-Yehuda ini tidak bebas dari kecaman; ia dituding sebagai pengkhianat karena menggunakan bahasa yang dianggap suci (ketika itu bahasa Ibrani dianggap sebagai bahasa yang pantas hanya untuk tulisan-tulisan keagamaan) untuk menuliskan pikiran-pikiran sekuler. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena semakin banyak orang menyadari betapa pentingnya bahasa yang sama untuk mempersatukan orang-orang Yahudi yang baru kembali dari pengasingan dan menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda-beda. Suasana ini mungkin kurang-lebih mirip dengan suasana di Indonesia menjelang Sumpah Pemuda 1928. Usaha Ben-Yehuda tidak sia-sia karena para penguasa Inggris di Palestina pada tanggal 29 November 1922 mengakui bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi orang-orang Yahudi di Palestina.
Sebuah kamus yang kadang-kadang ia susun selama 18 jam sehari untuk membantu para pembaca surat kabarnya akhirnya selesai dan mencapai 17 volume. Sepeninggalnya kamus yang berjudul “Kamus Lengkap Bahasa Ibrani Kuno dan Modern” itu dilanjutkan oleh istrinya yang kedua, Hamda, dan anaknya. Pada bulan Desember 1890, Eliezer mendirikan sebuah lembaga yang bernama Dewan Bahasa Ibrani untuk membantunya dalam penyusunan kamus tersebut. Dewan itu menjadi cikal-bakal Akademi Bahasa Ibrani yang menjadi kebanggaan Israel dewasa ini. Lembaga ini kira-kira setaraf dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia di Jakarta. Walaupun mungkin setaraf dalam status, saya belum tahu pasti apakah lembaga kebahasaan nasional kita ini cukup giat menghimpun kata-kata baru, terlebih yang berhubungan dengan temuan teknologis yang baru. Buktinya setelah lama kita terbiasa dengan istilah “download” dan “upload” barulah muncul padanan kata “unduh” dan “unggah”.
Berkat segala usahanya dalam membangkitkan kembali bahasa Ibrani, Ben-Yehuda dianggap sebagai ‘nabi’ dan propagandis terbesar sekaligus simbol bagi kelahiran kembali bahasa bangsa Yahudi itu. Memang benar bahwa dibutuhkan tangan-tangan terampil dan otak yang tak jenuh berpikir demi kemajuan dan pelestarian sebuah bahasa, terlebih bagi bahasa yang nyaris mati, karena jika sudah telanjur mati maka akan lebih sulit untuk dihidupkan kembali. Tentang hal ini, seseorang pernah menulis bahwa kita harus menjadi martir untuk bangsa kita sendiri. Sehubungan dengan ini, Ben-Yehuda sendiri menulis dengan nada yang kurang-lebih sama pada tahun 1908 dalam surat kabarnya Hatzvi, "Untuk segala sesuatu diperlukan seseorang yang bijaksana, cerdas dan aktif, dengan inisiatif untuk mencurahkan segala tenaganya demi maksud itu, dan tugas itu akan berkembang, sekalipun banyak rintangan mengadang. Pada setiap peristiwa, setiap langkah, bahkan yang terkecil sekalipun dalam proses, perlu ada seorang perintis yang akan memandu dan pantang mundur."
Hal yang justru menarik bagi saya secara pribadi adalah keunikan orientasi perjuangan Ben-Yehuda. Umumnya orang-orang berjuang untuk mendokumentasikan bahasa lisan menjadi bahasa tulis. Misalnya suatu bahasa yang belum memiliki aksara dan karya sastra diusahakan untuk memiliki alfabet sendiri dan mempunyai karya-karya sastra yang memadai dalam bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada perjuangan dua bersaudara Santo Sirilius dan Metodius di antara bangsa-bangsa Slavik yang kemudian menghasilkan huruf Siril (yang sering dikenal sebagai aksara Rusia walaupun penggunaannya tidak terbatas pada Rusia saja) dan terjemahan Alkitab dalam bahasa Slav. Ben-Yehuda justru berangkat dari suatu bahasa yang berlabel suci dan memiliki kanon Kitab Suci yang mapan dan begitu berwibawa. Ia, dalam perjuangannya, menjadikan kitab-kitab itu sebagai tumpuan dan titik totak untuk menghidupkan kembali bahasa lisan yang nyaris dilupakan karena Diaspora yang berlangsung selama berabad-abad. Karena usahanya yang sedemikian hebat, bahasa Ibrani kini hidup lagi dan terus berkembang dari kitab-kitab yang terpelihara dengan cinta dan kebanggaan. Saya pikir, kita dapat memetik pelajaran berharga dari pengalaman bangsa Yahudi yang nyaris kehilangan identitas mereka agar bahasa-bahasa kita yang bertaburan bagai ratna mutu manikam di seluruh persada Nusantara tidak sampai menghuni bilik-bilik kenangan yang makin sempit dan berdebu karena jarang ditengok.
Yogyakarta, 7 Agustus 2008
Nama Eliezer Ben-Yehuda seakan tak terpisahkan dari bahasa Ibrani modern karena dialah tokoh yang bekerja mati-matian dan berjuang di garis terdepan untuk mempersatukan kembali orang-orang Israel Dispora dengan bahasa yang satu, yaitu bahasa Ibrani. Perjalanan hidup Ben-Yehuda dapat dibaca pada situs History of Eliezer Ben-Yehuda. Gagasannya untuk mempersatukan bangsa Yahudi dengan satu bahasa saja muncul ketika Perang Russia-Turki sedang berkecambuk. Konsep tersebut lebih diperdalam ketika ia sedang belajar pada fakultas kedokteran di Paris pada tahun 1870-an. Ia ingin mengubah bahasa Ibrani yang ketika itu hanya menjadi bahasa para Rabbi dan kaum intelek Yahudi menjadi bahasa yang juga digunakan ibu-ibu yang berbelanja di pasar. Membaca tentang hal ini kita mungkin segera teringat akan Martin Luther yang ingin agar Alkitab terjemahannya dapat dibaca para petani dan kaum buruh dalam bahasa Jerman yang dimengerti. Terdorong oleh konsep di atas, Ben-Yehuda aktif menulis artikel-artikel tentang tanah air Yahudi dengan satu bahasa untuk semua orang. Namun penyakit TBC yang dideritanya kadang menghambat usaha kerasnya. Ia kemudian pindah ke Aljazair, dan di sanalah ia memiliki kontak dengan para penutur Ibrani Sefardik sehingga, karena tertarik, ia memutuskan untuk mengadopsi pengucapan Ibrani Sefardik untuk bahasa Ibrani modern.
Setelah kembali ke Paris ia memutuskan untuk pergi ke Israel karena ingin berjuang langsung di lapangan. Dan di sanalah ia mulai berusaha secara aktif untuk mewujudkan cita-cita besarnya. Ia bahkan bersepakat dengan istri pertamanya, Deborah, untuk mendidik anak pertama mereka, Ittamar Ben-Avi, hanya dalam bahasa Ibrani, sehingga anak mereka menjadi penutur asli pertama bahasa Ibrani modern. Ketika tiba di “Tanah Terjanji”, ia berjumpa dengan begitu banyak orang Yahudi yang baru kembali dari pengasingan. Dan setiap orang menggunakan bahasa-bahasa tempat kelahiran mereka. Misalnya yang dahulu tinggal di Prancis menggunakan bahasa Prancis dan yang di Rusia menggunakan bahasa Rusia.
Eliezer melanjutkan penelitiannya terhadap bahasa Ibrani di Israel. Dan untuk memperkaya bahasa itu dengan konsep-konsep modern, ia mengusulkan kata-kata baru yang diambil dan dibentuk dari kitab-kitab agama Yahudi. Menurut beberapa sumber, ia meminjam juga dari bahasa serumpun, seperti bahasa Arab. Lebih lanjut ia menerbitkan sebuah surat kabar yang ia sunting sendiri dan menjadi media yang efektif bagi penyebarluasan pemikirannya. Upaya Ben-Yehuda ini tidak bebas dari kecaman; ia dituding sebagai pengkhianat karena menggunakan bahasa yang dianggap suci (ketika itu bahasa Ibrani dianggap sebagai bahasa yang pantas hanya untuk tulisan-tulisan keagamaan) untuk menuliskan pikiran-pikiran sekuler. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena semakin banyak orang menyadari betapa pentingnya bahasa yang sama untuk mempersatukan orang-orang Yahudi yang baru kembali dari pengasingan dan menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda-beda. Suasana ini mungkin kurang-lebih mirip dengan suasana di Indonesia menjelang Sumpah Pemuda 1928. Usaha Ben-Yehuda tidak sia-sia karena para penguasa Inggris di Palestina pada tanggal 29 November 1922 mengakui bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi orang-orang Yahudi di Palestina.
Sebuah kamus yang kadang-kadang ia susun selama 18 jam sehari untuk membantu para pembaca surat kabarnya akhirnya selesai dan mencapai 17 volume. Sepeninggalnya kamus yang berjudul “Kamus Lengkap Bahasa Ibrani Kuno dan Modern” itu dilanjutkan oleh istrinya yang kedua, Hamda, dan anaknya. Pada bulan Desember 1890, Eliezer mendirikan sebuah lembaga yang bernama Dewan Bahasa Ibrani untuk membantunya dalam penyusunan kamus tersebut. Dewan itu menjadi cikal-bakal Akademi Bahasa Ibrani yang menjadi kebanggaan Israel dewasa ini. Lembaga ini kira-kira setaraf dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia di Jakarta. Walaupun mungkin setaraf dalam status, saya belum tahu pasti apakah lembaga kebahasaan nasional kita ini cukup giat menghimpun kata-kata baru, terlebih yang berhubungan dengan temuan teknologis yang baru. Buktinya setelah lama kita terbiasa dengan istilah “download” dan “upload” barulah muncul padanan kata “unduh” dan “unggah”.
Berkat segala usahanya dalam membangkitkan kembali bahasa Ibrani, Ben-Yehuda dianggap sebagai ‘nabi’ dan propagandis terbesar sekaligus simbol bagi kelahiran kembali bahasa bangsa Yahudi itu. Memang benar bahwa dibutuhkan tangan-tangan terampil dan otak yang tak jenuh berpikir demi kemajuan dan pelestarian sebuah bahasa, terlebih bagi bahasa yang nyaris mati, karena jika sudah telanjur mati maka akan lebih sulit untuk dihidupkan kembali. Tentang hal ini, seseorang pernah menulis bahwa kita harus menjadi martir untuk bangsa kita sendiri. Sehubungan dengan ini, Ben-Yehuda sendiri menulis dengan nada yang kurang-lebih sama pada tahun 1908 dalam surat kabarnya Hatzvi, "Untuk segala sesuatu diperlukan seseorang yang bijaksana, cerdas dan aktif, dengan inisiatif untuk mencurahkan segala tenaganya demi maksud itu, dan tugas itu akan berkembang, sekalipun banyak rintangan mengadang. Pada setiap peristiwa, setiap langkah, bahkan yang terkecil sekalipun dalam proses, perlu ada seorang perintis yang akan memandu dan pantang mundur."
Hal yang justru menarik bagi saya secara pribadi adalah keunikan orientasi perjuangan Ben-Yehuda. Umumnya orang-orang berjuang untuk mendokumentasikan bahasa lisan menjadi bahasa tulis. Misalnya suatu bahasa yang belum memiliki aksara dan karya sastra diusahakan untuk memiliki alfabet sendiri dan mempunyai karya-karya sastra yang memadai dalam bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada perjuangan dua bersaudara Santo Sirilius dan Metodius di antara bangsa-bangsa Slavik yang kemudian menghasilkan huruf Siril (yang sering dikenal sebagai aksara Rusia walaupun penggunaannya tidak terbatas pada Rusia saja) dan terjemahan Alkitab dalam bahasa Slav. Ben-Yehuda justru berangkat dari suatu bahasa yang berlabel suci dan memiliki kanon Kitab Suci yang mapan dan begitu berwibawa. Ia, dalam perjuangannya, menjadikan kitab-kitab itu sebagai tumpuan dan titik totak untuk menghidupkan kembali bahasa lisan yang nyaris dilupakan karena Diaspora yang berlangsung selama berabad-abad. Karena usahanya yang sedemikian hebat, bahasa Ibrani kini hidup lagi dan terus berkembang dari kitab-kitab yang terpelihara dengan cinta dan kebanggaan. Saya pikir, kita dapat memetik pelajaran berharga dari pengalaman bangsa Yahudi yang nyaris kehilangan identitas mereka agar bahasa-bahasa kita yang bertaburan bagai ratna mutu manikam di seluruh persada Nusantara tidak sampai menghuni bilik-bilik kenangan yang makin sempit dan berdebu karena jarang ditengok.
Yogyakarta, 7 Agustus 2008
Referensi:
http://www.jafi.org.il/education/100/people/BIOS/beliezer.html
http://www.jewishmag.com/43mag/ben-yehuda/ben-yehuda.htm
http://www.mfa.gov.il/MFA/MFAArchive/1990_1999/1998/7/Eliezer%20Ben-Yehuda-%20A%20Language%20
No comments:
Post a Comment