Butuh
waktu bertahun-tahun untuk bisa "melampaui" bahasa turunan Latin ini,
yang lahir di Provinsi Lusitania--provinsi Romawi yang kini bernama
Portugal. Bila orang sudah pernah belajar bahasa Spanyol, Italia,
Prancis, dan Rumania (saudara-saudara bahasa Portugis), upaya
"melampaui" ini akan sedikit lebih mudah. Hingga kini pun, saya mencoba
terus mengakrabi bahasa yang satu ini dan jujur saja, masih begitu
banyak hal yang saya belum mengerti. (Yogyakarta, 8 Oktober 2015)
Saturday, October 10, 2015
Melanesian Roots Festival (Rabu, 7 Oktober 2015)
Menyenangkan! Atas undangan panitia penyelenggara, tadi malam, Rabu, 7
Oktober 2015, bertepatan dengan HUT ke-259 Kota Yogyakarta, saya sempat
hadir dan turut berbagi secara interaktif dalam acara "Melanesian Roots
Festival" di Arcaf (Kafe Seniman), Babarsari, Yogyakarta. Saya
membacakan dua puisi Indonesia saya (berjudul "Jogja, Kota Kenangan"
[2003] dan "Kisah Musisi Malam" [2004]) dan berbicara sepintas tentang
bahasa, sastra, dan eksistensi insan-insan dari kawasan timur Indonesia
(KTI) di Yogyakarta. Semoga semakin banyak acara positif yang dapat
mendukung kreativitas insan-insan dari KTI di rantau, terutama di
Yogyakarta. Salam budaya,
(Yogyakarta, 8 Oktober 2015)
Bulan Bahasa (di) Indonesia
Foto: http://www.timurjawa.com |
Oktober adalah Bulan Bahasa Nasional di Indonesia, mengingat pada bulan
inilah, bahasa Indonesia lahir dalam Sumpah Pemuda. Oktober juga adalah
bulan Rosario bagi pemeluk Katolik sedunia. Bagi saya, di lingkungan
Katolik di tempat tinggal saya, Oktober pun merupakan "bulan bahasa
Jawa" karena setiap malam, secara bergiliran, doa dan kidung pujian
dilantunkan dengan indah dalam dialek sosial Jawa yang tertinggi: Kromo
Inggil. Syukurlah, saya berkesempatan untuk mengenal budaya dan bahasa
lain di negara tercinta, surga para linguis ini. Terlepas dari hal baik
yang disyukuri ini, saya tetaplah orang Indonesia dari Timor-Dawan yang
tinggal di Jawa. Salam budaya! (Yogyakarta, 7 Oktober 2015)
Tetap setia berproses kreatif
Foto: https://backpackerjakarta.com |
Soal penyair atau bukan, pujangga atau bukan, sastrawan atau bukan, yang penting tetap setia berproses kreatif dan menikmati proses itu sebagai upaya penempaan atau pembebasan diri, kalau boleh disebut begitu. Predikat apa pun itu hanyalah konsekuensi logis dari tindakan. Tiada reaksi tanpa aksi. (Yogyakarta, 5 Oktober 2015)
"Ratapan Laut Sawu: Antologi Puisi Penyair NTT" (Sekilas info)
Puji Tuhan! Antologi Puisi Penyair NTT "Ratapan Laut Sawu" telah
diterbitkan Penerbit Universitas Sanata Dharma. Lima puisi saya yang
masing-masing berjudul "Mawar Kota Karang", "Bukan Sebuah Arca", "Pohon Para Pendoa", "Suara Tuhan di Radio", dan "Hari Berwajah Debu" terbit di
antologi bersama ini. Yang berminat bisa segera mendapatkan buku ini di
Toko Buku Universitas Sanata Dharma Yogyakarta di Mrican. Terima kasih
kepada Bpk. Yoseph Yapi Taum yang telah mengupayakan terbitnya antologi ini. Salam sastra,
Subscribe to:
Posts (Atom)