Monday, April 30, 2018

Demi tanahmu sejengkal

Gambar: http://www.google.com

Demi tanahmu sejengkal,
peluru meluncur tanpa akal,
memaksa nyawa ke alam kekal.
Walau kauhidup, barangkali dicekal.

(Buat korban kasus tanah di Sumba Barat)

Atu moris bele buras

Imajen: www.google.com

Atu ó-nia moris bele buras,
ó-nia kakutak tenke dulas.
Selae, ó-nia ulun sei moras
no karik ó sei bele lakon ilas.

Autór: Yohanes Manhitu 

Yogyakarta, 17-04-2018

Jika cintamu bukan fiksi

Foto: www.google.com

Pergi ke kampung naik taksi
karena gagal pakai kereta.
Jika cintamu bukan fiksi,
hadirmu harus nyata.

Oleh: Yohanes Manhitu

Yogyakarta, 14-04-2018

Selamat Jalan, Pak Danarto!

Foto: https://metro.sindonews.com

Turut berdukacita atas meninggalnya Pak Danarto, seorang sastrawan dan pelukis Indonesia. Semoga arwahnya menikmati istirahat dan damai di alam surgawi sana. Bacalah profilnya di https://id.wikipedia.org/wiki/Danarto.

Tegalyoso, Yogyakarta, 11 April 2018

Kelor dan Kampanye

Foto: kaltim.tribunnews.com

Jalan-jalan ke Pulau Solor,
lautnya biru, bukan oranye.
Dulu pun orang tanam kelor,
jauh sebelum ada kampanye.

(Sekadar pantun pagi progizi)

SEKILAS TENTANG NAMA "DAWAN"

Foto: http://epress.anu.edu.au/oota/ch1.htm

Tadi siang, saya "disenggol" oleh Leko Kupang (maaf, saya tidak tahu nama aslinya!) dan dilibatkan dalam obrolan di dinding Facebooknya tentang nama "Dawan", terutama sebagai nama bahasa. Terima kasih banyak ya atas ajakan untuk berdiskusi. Tetapi maaf ya, saya cuma pengguna bahasa, bukan ahli.

Saya sudah sering ditanya tentang hal ini. Setahu saya dan berdasarkan pengalaman nyata (baik sebagai penutur maupun penulis aktif bahasa Dawan), nama "Dawan" sudah lama sekali dipakai---di samping nama "Metô" (tulisan menurut ejaan yang saya pakai secara opsional) untuk merujuk kepada baik orang maupun bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, nama "Dawan" lebih banyak dipakai dalam bahasa Indonesia, sedangkan nama "Metô" digunakan dalam bahasa Dawan (ketika berbicara bahasa Timor terbesar ini).

Perhatikanlah contoh-contoh kalimat berikut:

1. Hit ka kase kit fa, Aokbian. Hit Metô kit. = Kita bukan orang asing, Kawan. Kita orang Dawan.
2. In ka namolok fa Metô, alakun Labit. = Ia tidak berbahasa Dawan, hanya bahasa Indonesia.

Dalam buku Di Bawah Naungan Gunung Mutis karya P. Andreas Tefa Sa’u, SVD, disebutkan bahwa secara ilmiah, nama "Dawan" untuk pertama kalinya muncul dalam artikel yang berjudul "Die Landschaft Dawan oder West-Timor" karangan J.G.F. Riedel yang diterbitkan dalam "Deutsche Geographische Blätter (DGB) pada tahun 1887. Artikel tersebut memuat informasi tentang manusia dan kebudayaan Dawan, meliputi aspek fisik dan sosial budayanya.

Satu hal yang perlu diingat adalah konsistensi dalam bersikap dan berprinsip. Jadi, kalau merasa keberatan atau berniat untuk menolak nama "Dawan" karena dianggap sebagai nama dari luar (bukan nama asli), tolong merasa keberatan juga dengan atau menolak nama "Timor" dan "Indonesia" karena kedua-duanya ini berasal dari atau diberikan orang luar. Bagaimana?

Oh ya, mempersoalkan nama "Dawan" itu mungkin penting, tetapi saya kira jauh lebih penting kita tetap aktif menggunakan bahasa Dawan dengan elok (baik secara lisan maupun tertulis) supaya bahasa ini---bersama-sama dengan bahasa Nusantara lainnya---tetap subur dan lestari. Ini lebih urgen daripada urusan nama. Semoga bahasa kita lestari sehingga tidak tinggal nama!

Kalau sempat, silakan baca tulisan-tulisan Dawan saya di blog bahasa dan sastra Dawan saya dengan alamat http://uabmeto.blogspot.com.

Salam mesra bahasa dan sastra ke segala penjuru!  

Tegalyoso, Yogyakarta, Indonesia, 6 April 2018

Yesus dari Nazaret, Raja Orang Yahudi

Foto: www.google.com

Penulisan "Yesus dari Nazaret, Raja Orang Yahudi" oleh Pontius Pilatus dalam bahasa Ibrani, Latin, dan Yunani menolong kita untuk tahu Sprachenkarte (Jerman, peta kebahasaan) di Israel pada saat Yesus disalibkan. Tentu orang yang kritis akan bertanya, "Mengapa keterangan penting itu harus ditulis dalam ketiga bahasa tersebut?" Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui bersama, di atas salib (terutama dengan krusifiks [patung Kristus]), yang paling populer dari ketiganya adalah versi Latinnya, yaitu Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum (INRI). Mengapa pula? Ketika orang sungguh-sungguh belajar bahasa, ia sungguh-sungguh pula belajar sejarah (Sine lingua, historia non est). Tentu, tiada sejarah tanpa bahasa, 'kan? Dan Yesus Kristus nyata dalam sejarah. (Yogyakarta, 2 April 2018)